Pernyataan Sikap Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam Momentum Pilkada, 27 Juni 2018

Pilkada, Momentum Memutus Politik Transaksional, untuk Mewujudkan Keadilan Ekologis Jakarta-Pemilihan Kepala Daerah akan berlangsung tanggal 27 Juni di 171 daerah. 17 daerah akan melakukan pemilihan gubernur dan 154 pilkada di kabupaten/kota. Pemilihan Gubernur menjadi sorotan tersendiri, mengingat kini kewenangan Kabupaten kembali ditarik di tingkat provinsi dan menjadi kewenangan gubernur, sebagaimana yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. 17 provinsi yang menggelar pemilihan gubernur, beberapa wilayah juga memiliki kerentanan, karena bentang alamnya yang masuk kategori kawasan kawasan ekosistem esensial yang selain memiliki fungsi ekologis, antara lain kawasan ekosistem rawa gambut antara lain Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumsel, dan Papua, ekosistem karst yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan dan pesisir laut dan pulau-pulau kecil yang tingkat kerentanan jauh lebih tinggi, dibandingkan dengan kepulauan besar antara lain NTT, Maluku Utara, Maluku dan Bali.

 width=  width=  width=  width=  width=  width=  width=  width=  width=  width=  width=

Jika kita overlay dengan peta konsesi, 17 provinsi yang menggelar pilgub ini sesungguhnya wilayahnya sebagian besar sudah dikuasai oleh investasi, seluas 49.356.713 telah dibebani izin konsesi sektoral. 47 proyek PLTU yang berada di 17 provinsi yang melangsungkan Pilgub. Ini artinya, nasib keselamatan rakyat di wilayah ini terancam dengan dampak buruk PLTU. Selain di tingkat provinsi, ada 1 proyek PLTU di Sawah Lunto Sumatera Barat yang akan melangsungkan pilkada. Terlebih dengan tingkat kerencanan dari ancaman dan dampak perubahan iklim. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh WALHI terkait Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi untuk Gas Rumah Kaca (RAD GRK) dan RPJMD Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa program penurunan emisi yang tidak selaras dengan skema di tingkat nasional. Secara umum belum terlihat inovasi ataupun inisiatif yang lebih maju untuk mendorong pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan, rendah karbon, dan berdaya ekonomi tinggi. Bahkan dalam kajian dokumen menunjukkan rencana aksi daerah, tidak menjawab sumber emisi dari wilayah-wilayah tersebut. Jika tidak ada perubahan kebijakan dalam RPJMD ke depan oleh pemerintahan daerah baru paska pilkada serentak 2018, target penurunan emisi Indonesia tidak akan tercapai. . Ironinya, di tengah situasi Indonesia mengalami darurat ekologis, isu lingkungan hidup yang substansif atau akar masalah lingkungan hidup, masih menjadi isu pinggiran, meskipun berbagai upaya juga telah dilakukan oleh penyelenggara pemilu baik KPU pusat maupu KPUD antara lain melalui debat kandidat yang memasukkan isu lingkungan hidup atau pembangunan berkelanjutan. Selama putaran kampanye pilkada, calon kepala daerah belum menawarkan agenda lingkungan yang substansif. Jikapun ada, masih di kulit atau permukaannya. Pasangan calon di pilkada tidak berani menawarkan agenda moratorium sawit atau tambang, atau review perizinan dan penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi. Maupun kebijakan dan program yang dapat memastikan pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat dari ancaman industri ekstraktive, seperti tambang dan perkebunan monokultur baik sawit, kebun kayu maupun tebu. Para kandidat juga belum berani menunjukkan keinginan lepas dari ketergantungan terhadap energi kotor dan beralih ke energi terbarukan.

Demikian juga pandangan lama terhadap aktor ekonomi, sebagian besar masih melihat investasi dengan aktor besar korporasi dilihat menjadi trickle down effect bagi rakyat kebanyakan dengan menjadi buruh misalnya. Bukan menempatkan rakyat sebagai subjek yang mampu mengelola kekayaan alamnya, dengan kebijakan yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat. Meskipun demikian, di tengah ancaman politik transaksional dimana sumber daya alam digadaikan dengan mengabaikan keselamatan rakyat, dan menguatnya politik identitas yang digunakan oleh elit politik, mengabaikan momentum politik pilkada juga memiliki risiko. WALHI menilai politik elektoral dapat menjadi momentum bagi kekuatan politik rakyat untuk memutus rantai kelindan kekuatan ekonomi dan kekuatan politik yang menyatu dalam oligarki politik. Politik elektoral sekaligus juga menjadi momentum untuk memajukan agenda politik lingkungan hidup dan agenda politik rakyat lainnya. Menggunakan momentum politik elektoral agar tercapai demokrasi subtansif yang dicita-citakan dapat menjadi pilihan bagi gerakan rakyat, termasuk gerakan lingkungan hidup, tentu dengan tetap mengedepankan daya pikir dan tindak kritis. Pemilu hanyalah salah satu bentuk pengejewantahan dari demokrasi. Di luar politik elektoral, menjadi penting bagi warga negara untuk mempraktikkan hak politiknya dalam menentukan nasib dan ruang hidupnya hingga pada unit-unit yang lebih kecil. Kesadaran politik ditingkat demokrasi prosedural harus lebih dimajukan untuk secara bersama-sama membersihkan lembaga negara dari perusak lingkungan hidup dan perampas sumber-sumber kehidupan rakyat. Dalam momentum Pilkada serentak 2018 ini, WALHI mengajak dan menyerukan seluruh kekuatan rakyat untuk pilih politik bersih, pilih keadilan ekologis (selesai) Jakarta, 26 Juni 2018 Narahubung: Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan, Ketua Tim Adhoc Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Email: khalisah@wp_walhi.local