Cirebon Power Meneken Perjanjian Pendanaan di Tengah Ketidakpastian Putusan Hukum

Pada hari Selasa, 18 April 2017, Konsorsium Multinasional Cirebon Power telah menandatangani perjanjian pendanaan (loan agreement) dengan tiga lembaga keuangan, yakni Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Korea Eximbank (KEXIM) dan Nippon Export and Investment Insurance(NEXI) senilai US$ 1.74 miliar atau lebih dari Rp 23 triliun untuk proyek PLTU Cirebon 2 kapasitas 1x1.000 MW. Kabarnya, penandatanganan perjanjian pendanaan ini juga akan segera diikuti dengan diselesaikannya proses pembiayaan pembangunan (financial closing) PLTU Cirebon 2 pada 8 Mei 2017 yang akan datang. Di sisi lain, penandatanganan perjanjian pendanaan tersebut dilakukan satu hari sebelum agenda pembacaan putusan perkara gugatan Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2, yakni pada hari Rabu, 19 April 2017 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Perkara gugatan Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 tersebut merupakan perkara antara enam warga Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, yakni Dusmad, dkk. sebagai para Penggugat melawan Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Jawa Barat (BPMP Provinsi Jawa Barat) sebagai Tergugat. Perkara gugatan Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 ini telah berjalan sejak bulan Desember 2016 dan akan mencapai tahap akhirnya, yakni pembacaan putusan pada hari Rabu, 19 April 2017. Para Penggugat memiliki empat alasan utama dalam gugatan terhadap Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2, yakni:

  1. Pemberian Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 yang meliputi daerah Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun 2011 – 2031. RTRW Kabupaten Cirebon Tahun 2011 – 2031 mengatur bahwa pembangunan PLTU direncanakan hanya di Kecamatan Astanajapura saja;
  2. Pemberian Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat khususnya para Penggugat. Kewajiban konsultasi mengenai Kerangka Acuan Amdal, pengumuman permohonan Izin Lingkungan, pembahasan Andal, dan juga pengumuman penerbitan Izin Lingkungan tidak dilakukan oleh Tergugat.
  3. Pemberian Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 didasarkan pada dokumen Amdal yang cacat substantif. Cacatnya substansi Amdal PLTU Cirebon 2 ini meliputi tiga hal utama, yakni:
  4. Rona awal lingkungan hidup tidak valid dan representatif. Hal ini terlihat dari metode pengujian kualitas udara ambien yang dilakukan oleh penyusun Amdal. Penyusun Amdal hanya melakukan pengujian kualitas udara ambien di lokasi direncanakannya PLTU Cirebon 2 dalam periode satu minggu saja, padahal untuk memperoleh data yang valid dan representatif penyusun Amdal harus melakukan pengujian kualitas udara setidaknya selama satu tahun;
  5. Prakiraan besaran dan sifat penting dampak tidak valid dan representatif. Penyusun Amdal tidak mempertimbangkan kontribusi particulate matter 2.5 (PM 2.5) terhadap dampak penurunan kualitas udara ambien. Padahal parameter ini erat kaitannya dengan dampak penurunan kesehatan masyarakat;
  6. Bagian evaluasi secara holistik dalam Amdal disusun tidak berdasarkan standar yang ada. Bagian evaluasi secara holistik dalam Amdal PLTU Cirebon 2 tidak menjelaskan bentuk hubungan keterkaitan dan interaksi dampak penting hipotetik beserta karakteristiknya, sebagaimana diharuskan oleh peraturan.
  7. Pemberian Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Tergugat tidak mempertimbangkan kualitas udara ambien yang sudah buruk di area PLTU Cirebon 2 akan dibangun. Selain itu, Tergugat juga tidak mempertimbangkan adanya PLTU Tanjung Jati A dengan kapasitas 2x660 MW yang jaraknya hanya 2 km dari area PLTU Cirebon 2. Pemberian Izin Lingkungan oleh Tergugat kepada PLTu Cirebon 2 tentu berpotensi mengakibatkan terlampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Para Penggugat berdasarkan pada empat dalil utama tersebut memohon PTUN Bandung untuk menyatakan Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 batal atau tidak sah sekaligus memerintahkan Kepala BPMP Provinsi Jawa Barat untuk mencabut Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2. Di tengah-tengah gugatan tersebut, Konsorsium Multinasional Cirebon Power tentu menghadapi resiko pencabutan Izin LIngkungan untuk proyek PLTU Cirebon 2. Jika permohonan pencabutan Izin Lingkungan PLTU Cirebon 2 tersebut dikabulkan oleh PTUN Bandung, maka Konsorsium Multinasional Cirebon Power menghadapi resiko-resiko, di antaranya:

  1. Berhentinya proses usaha dan/atau kegiatan PLTU Cirebon 2 yang kini sedang dalam tahap pematangan lahan untuk konstruksi. Jika PLTU Cirebon 2 tetap melakukan usaha dan/atau kegiatan, termasuk di antaranya adalah pelaksanaan konstruksi, dengan keadaan Izin Lingkungan sudah dicabut, maka PLTU Cirebon 2 terancam dikenakan sanksi pidana karena melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa Izin Lingkungan sebagaimana diatur Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH);
  2. Penerbitan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL) untuk PLTU Cirebon 2 tidak bisa dilakukan karena penerbitan IUPTL tersebut dipersyaratkan harus memiliki Izin Lingkungan telebih dahulu. Penerbitan IUPTL tanpa disertai Izin Lingkungan diancam pula dengan sanksi pidana sebagaimana diatur pada Pasal 111 Ayat (2) UU PPLH.

Selain dua resiko di atas, Konsorsium Multinasional Cirebon Power juga dapat terkena resiko kegagalan pendanaan akibat berhentinya pembangunan PLTU Cirebon 2. Resiko kegagalan pendanaan ini lebih jauh lagi mungkin berakibat pada timbulnya kerugian bagi pemberi dana akibat tidak berjalannya pembangunan PLTU Cirebon 2.