Defisit adalah Penyakit APBN – Obatnya adalah UTANG

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)  Jakarta, 18 Mei 2018 - Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati memberikan respon atas tanggapan politisi dan beberapa ekonom terkait Utang Indonesia yang Bikin Heboh. Tepatnya pada tanggal 23 Maret 2018, Sri Mulyani mengeluarkan keterangan resmi yang memuat ada 12 poin “pembelaan” pemerintah atas tanggapan yang dilontarkan oleh berbagai pihak. Respon-respon Menteri Keuangan RI antara lain soal kekhawatiran krisis utang, kenaikan kekayaan negara harus dilihat sebagai pelengkap masalah utang, meningkatnya transfer ke daerah, selain menambal defisit juga sebagai alternatif instrumen investasi, kehati-hatian pengelolaan keuangan negara, reformasi perpajakan dan memerangi korupsi, pajak sebagai tulang punggung negara, dan terakhir ditutup dengan seruan agar semua pihak harus menjaga keuangan negara secara konstruktif dan berkeadilan untuk kemakmuran rakyat, karena APBN adalah uang kita semua. WALHI menilai bahwa utang bukan hanya sekedar bikin heboh tetapi sudah dianggap sebagai “obat” untuk mengobati penyakit defisit keuangan negara setiap tahunnya. Bahkan dalam APBN Tahun Anggaran 2018 sebagaimana tertuang dalam UU No. 15 Tahun 2017 juga telah direncanakan untuk defisit yang diperkirakan sebesar minus 325,93 Triliun dengan defisit keseimbangan primer sebesar minus 87,33 Triliun dan persentasi defisit anggaran terhadap PDB 2,19%. Defisit disebabkan karena perkiraan Pendapatan Negara sebesar 1.894,72 Triliun sedangkan Belanja Negara diperkirakan sebesar 2.220,65 Triliun. Angka perkiraan defisit diperoleh ketika Pendapatan Negara dikurangi Belanja Negara, dan jika memperhatikan postur anggaran dalam APBN 2018, angka perkiraan defisit sama persis dengan angka Pembiayaan Anggaran yang teridiri dari Pembiayaan Utang, Pembiayaan Investasi, Pemberian Pinjaman, Kewajiban Penjaminan dan Pembiyaan Lainnya. Sebuah kewajaran jika publik semakin mempertanyakan kondisi negara yang semakin tergantung dengan utang, khususnya Utang Luar Negeri (ULN). Bahkan tidak tanggung-tanggung pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dengan total nilai 414,5 Triliun.

Bank Indonesia telah merilis Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) per Maret 2018 dengan total ULN Indonesia sebesar 357,545 Juta USD yang jika dibagi berdasarkan kelompok peminjam maka ULN Pemerintah sebesar 183,390 Juta USD dan Swasta sebesar 174,155 Juta USD. Didalam komponen ULN Swasta ada utang BUMN dengan rincian BUMN non lembaga keuangan 24.730 juta USD, BUMN lembaga keuangan non bank 4.004 juta USD dan bank BUMN 4.845 juta USD, utang ini walau tergolong utang swasta tetapi jika BUMN tersebut default tetap akan ditanggung oleh Negara. Jika dikonversi ke rupiah dengan kurs 13.500 maka total ULN sebesar Rp 4.826.857.500.000.000 (empat kuadriliun delapan ratus dua puluh enam triliun delapan ratus lima puluh tujuh miliar lima ratus juta rupiah) (1 kuadriliun = 1.000 triliun). Dalam APBN 2018, pemerintah menganggarkan untuk Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Luar Negeri sebesar Rp 69.785.172.000.000 (enam puluh sembilan triliun tujuh ratus delapan puluh lima miliar sertaus tujuh puluh dua juta rupiah), hampir mencapai 70 Triliun. Dari hitung-hitungan di atas, jika memposisikan jumlah ULN Indonesia saat ini dengan kemampuan membayar cicilan pokok sebesar 70 Triliun pertahun, maka butuh waktu selama 69 tahun untuk melunasi ULN, tapi dengan catatan tidak ada penambahan utang baru oleh pemerintah dan swasta. Inipun kemungkinan sangat berat dilakukan karena hampir mustahil untuk tidak ber-UTANG bagi pemerintah, karena belanja pemerintah pun saat ini bergantung dengan utang.

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa pemerintah terus melakukan penyesuaian untuk mencapai tujuan pembangunan dan terus menjaga APBN agar tetap sehat, kredibel dan berkelanjutan, justru terindikasi hanya sebagai lips service saja agar masyarakat tidak bereaksi lebih terhadap posisi ULN. Mau dilihat dari sudut mana APBN Indonesia dikatakan sehat, dengan merencanakan defisit setiap tahun dan setiap tahun melakukan perubahan. Mungkin sebaiknya pemerintah melakukan perbaikan  atas UU Keuangan Negara dan menghilangkan pasal yang membenarkan keuangan negara boleh defisit. Meski nilai asset tahun 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp 5.456,88 Triliun dan hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40% aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239% dari 781 Triliun menjadi 2.648 Triliun, tetapi setiap tahunnya defisit keuangan negara ditutup dengan penambahan utang dan hal semacam ini tidak bisa dikatakan kredibel dan berkelanjutan, mungkin lebih tepatnya disebut Penyakit Defisit yang harus diobati dengan utang. Seharusnya pemerintah Indonesia berupaya untuk keluar dari jebakan utang yang selalu menjadi resep di era orde baru dan belajar pengalaman proyek-proyek utang di era orde baru, banyak yang gagal dan pada akhirnya publik yang harus menanggungnya, baik beban utang maupun dampak ekologis, sosial dan budaya. Pemerintah harus membangun keberanian untuk bernegosiasi dengan seluruh pihak yang memberikan pinjaman ke Indonesia, khususnya World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB).

Misalnya meminta agar menghapuskan utang-utang yang memberikan dampak kerusakan ekologis di Indonesia atau menghapuskan utang-utang yang membuat rakyat Indonesia dibeberapa wilayah harus kehilangan sumber penghidupannya dan tergusur dari lahan-lahan produktif mereka akibat dari proyek utang tersebut. Atau pemerintah bisa memikirkan dan memasang target beberapa tahun kedepan APBN tidak lagi menjadi defisit. Misalnya dengan mengambil kebijakan untuk sementara tidak melakukan pembayaran cicilan pokok pinjaman (moratorium bayar utang) beberapa tahun kedepan hingga pada posisi keuangan negara menjadi surplus. Atau kalau berani, pemerintah tidak memasukkan item Pembiayaan Utang dalam postur APBN untuk beberapa tahun kedepan. Kalau Menteri Keuangan menghimbau untuk mendudukkan masalah utang dalam konteks seluruh kebijakan ekonomi dan keuangan negara, maka bukan sebuah kesalahan juga jika masyarakat meminta pemerintah untuk lebih transparan dan lebih berhati-hati dalam mengelola dan mendistribusikan peruntukan utang tersebut. Pembangunan infrastruktur ataupun program pemerintah yang menggunakan utang, seharusnya tidak menimbulkan konflik di tingkat masyarakat, seharusnya tidak menghilangkan hak-hak masyarakat, seharusnya tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, dan seharusnya tidak mengabaikan fungsi dan kelestarian ekosistem serta lingkungan hidup. Selain mengingatkan pemerintah, masyarakat pun berhak untuk mengingatkan para kreditur-kreditur bilateral maupun multilateral yang memberikan pinjaman ke pemerintah Indonesia untuk tidak membiayai proyek-proyek pembangunan yang perencanaannya tidak melibatkan masyarakat. Atau menghentikan pembiayaan sebuah proyek yang mengakibatkan penggusuran paksa, kerusakan lingkungan, pencemaran, melahirkan konflik ditingkat masyarakat, dan menghilangkan wilayah kelola rakyat sebagai sumber penghidupan masyarakat.  

Nara Hubung WALHI Edo Rakhman     : 081356208763 atau 087788401305