Di tengah Keterancaman dari Kejahatan Korporasi,  WALHI Desak Negara Menyelamatkan Hutan Terakhir

 width=

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada Peringatan hari Hutan Sedunia, 21 Maret 20 Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah luar biasa. Negeri ini menduduki urutan kedua, negara yang memiliki hutan tropis dengan keanekaragaman hayatinya, setelah Brazil. Hutan bukan hanya menjadi rumah bagi berbagai spesies keanekaragaman hayati, khususnya yang endemik. Di hutan tropis ini, berbagai bahan obat-obatan tersedia, hutan juga sebagai apotik hidup. Beraneka rupa pepohonan yang berada di hutan, mampu menyerap oksigen dan air yang dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup. Hutan, tempat bersandar hidup bagi masyarakat adat, dengan segala pengetahuan dan kearifan lokal yang melekat dan menjadi kebudayaan tersendiri. Melimpahnya kekayaan alam Indonesia justru seperti kutukan, akibat salahnya cara pandang dalam melihat hutan.

Pemerintah menganggap hutan dan pepohonan adalah komoditas dan menjadi tulang punggung ekonomi melalui berbagai kebijakan, dan mendelegasikan pengelolaan hutan kepada korporasi skala besar. Paska logging melampaui masa keemasannya di era orde baru, berganti dengan sawit, kebun kayu untuk industri pulp and paper dan tambang, nasib hutan semakin memprihatinkan. Keanekaragaman hayati diubah menjadi tanaman monokultur. Bahkan yang bahaya, perkebunan monokultur dikampanyekan oleh korporasi seperti HTI (baca; kebun kayu) dan sawit sebagai hutan, merupakan pengacauan dan penyesatan sistematis terhadap paradigma dan pengetahuan. Bukan hanya bencana ekologis yang terjadi, tetapi juga konflik tenurial dengan masyarakat adat/masyarakat lokal, kriminalisasi terus terjadi terhadap masyarakat yang memperjuangkan penyelamatan hutan dan wilayah kelolanya dari ancaman industri, dan kemiskinan karena ketimpangan penguasaan dan pengelolaan hutan yang sebagian besar dikuasai oleh korporasi, akibat dari paradigma penguasaan hutan oleh negara atau rezim hak menguasai negara (HMN). Putusan MK tahun 2012 menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan hak, bukan hutan negara. Putusan MK harusnya menjadi pegangan bagi semua pihak, khususnya negara sebagai pemegang mandat Konstitusi. Bukannya menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, masyarakat adat/masyarakat lokal justru dikriminalisasi dengan menggunakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), sementara kejahatan korporasi tidak tersentuh dengan UU ini.

WALHI mencatat, sampai tahun 2014 monopoli kawasan hutan dari 4 (empat) sektor saja telah mencapai 57 juta hektar, dari total 132 juta hektar kawasan hutan Indonesia. Sektor HPH (logging) menguasai 25 juta hektar, perkebunan sawit mencapai 12,35 juta hektar, tambang 3,2 juta hektar. Tahun 2001, luas area HTI mencapai 5,043,772 hektar. Meningkat pada tahun 2005 menjadi 5,734,980 hektar dan hingga tahun 2015, luas area hutan tanaman industri semakin meluas menjadi 10,700,842 hektar, dan sebagian besar dikuasai oleh Asia Pulp and Paper dan APRIL. Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI menyatakan, di tengah carut marutnya tata kelola sumber daya alam, khususnya di sektor kehutanan telah melahirkan begitu banyak masalah, antara lain deforestasi, kebakaran hutan dan lahan dan konflik tenurial yang begitu tinggi di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sehingga kebijakan moratorium berbasis capaian dengan indikator yang terukur sekali lagi menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan, jeda memberikan izin dalam kurun waktu minimal 25 tahun, sembari secara bersamaan melakukan review perizinan, penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi, mengembalikan dan melindungi wilayah kelola rakyat. Memastikan negara melakukan upaya pemulihan dan penyelamatan hutan terakhir yang tersisa, demi generasi hari ini dan generasi yang akan datang. (selesai) Akhirnya, Selamat Hari Hutan Sedunia!!! JagaHutanJagaKehidupan