HENTIKAN KRIMINALISASI WARGA SEPAT SURABAYA

PRESS RELEASE 11 Maret 2019 Bagian Pertama: Awal Mula Peristiwa Rabu 6 Juni 2018, warga Dukuh Sepat RW III dan RW V, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya mendengarkan aliran air yang cukup deras. Saat peristiwa itu terjadi, beberapa warga sedang menunaikan sholat tarawih, di area dekat waduk Sepat sekitar pukul 19.00 WIB. Beberapa warga curiga jika air tersebut berasal dari waduk Sepat. Karena curiga, maka setelah shalat tarawih beberapa warga mencoba menelusurinya. Ternyata suara deras air yang didengarkan benar berasal dari waduk Sepat. Lalu, karena melihat volumenya terus tinggi, pada pukul 20.30 WIB, warga memutuskan untuk memasuki area waduk Sepat. Kurang lebih ada sekitar 100 orang warga yang berbondong-bondong masuk area waduk Sepat tersebut. Setelah melewati pintu sebelah timur yang dibuat oleh pihak Ciputra, warga menuju ke pintu atas yang merupakan akses utama menuju waduk Sepat. Pintu di atas tersebut telah terbuka sebelum warga memasuki area waduk Sepat. Menurut keterangan beberapa warga, terbukanya pintu tersebut karena ada penjaga waduk Sepat yang memasuki area tersebut. Pada pukul 21.00 WIB, warga menemukan ternyata keberadaan suara air tersebut berasal dari pintu air waduk, yang setelah dilihat ternyata plat penahan air atau yang berfungsi sebagai pintu air, terpotong secara misterius. Hal tersebut tentunya menimbulkan kecurigaan warga, bahwa ada upaya pengeringan waduk Sepat secara paksa. Kondisi tersebut memunculkan inisiatif dari warga untuk menutup pintu air secepatnya, agar waduk Sepat tidak mengering. Sebelum memasuki lokasi waduk Sepat, beberapa warga terlebih dahulu berkoordinasi dengan LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Lidah Kulon, sekitar pukul 21.00 WIB. Saat itu, setelah mendengarkan aduan warga RW III dan RW V, Ketua LPMK Lidah Kulon justru menyarankan untuk bertemu di lokasi waduk Sepat secara langsung. Atas dasar inilah, warga akhirnya berbondong-bondong memasuki waduk Sepat melalui pintu utama waduk. Setelah di dalam waduk, warga lalu menghubungi Polsek Lakasantri dan Camat Lakasantri untuk datang ke lokasi, guna koordinasi lebih lanjut. Tidak lama kemudian dari arah utara, petugas Kepolisian Polsek Lakasantri, LPMK dan pihak kecamatan tiba di lokasi, tepatnya pada pukul 21.30 WIB. Sesaat memasuki dan mengecek pintu air waduk Sepat, warga menemukan bahwa pintu penutup air di bagian bawah ternyata sengaja dipotong, sehingga tidak bisa ditutup kembali. Melihat kondisi tersebut, warga lalu berkordinasi dengan Polsek Lakasantri, Camat Lakasantri dan pihak Ciputra yang diwakili oleh pihak keamanannya.

Pihak keamanan Ciputra, LPMK dan perwakilan kecamatan, kemudian berdialog dengan warga. Terjadi perdebatan yang cukup alot, karena pihak keamanan Ciputra dan aparat terkait, menjanjikan akan menutupnya pada keesokan harinya. Dalih yang dipakai oleh pihak terkait ialah harusnya mencari plat pengganti, untuk menutup pintu air yang rusak tersebut. Namun warga menolak, mereka berargumen jika dibiarkan terbuka terus, melihat debit air yang cukup deras, waduk Sepat akan mengering, sehingga mereka tetap pada pilihan yaitu pintu utama harus ditutup secepatnya. Kurang lebih pada pukul 22.00 WIB, kemudian pihak kemanan Ciputra sepakat untuk membuatkan penutup pintu air yang sudah dipotong. Akan tetapi, setelah menunggu hampir tiga jam, penutup pintu air tersebut tidak kunjung datang. Agar air di waduk Sepat tidak keluar terus menerus, pada pukul 24.00 WIB, warga berinisiatif menutup sementara pintu air tersebut dengan tanah sampai pintu air tertutup. Setelah berselang satu jam, tepatnya pada pukul 01.00 WIB, warga meninggalkan lokasi kejadian, karena pintu air yang semua terbuka sudah tertutup. Perlu dicatat tidak ada perusakan apapun yang dilakukan oleh warga saat berada di lokasi Waduk Sepat Bagian Kedua: Peristiwa Kriminalisasi Tanpa terduga sebelumnya, pada tanggal 27 Juli 2018 dan 3 Agustus 2018, empat warga waduk Sepat yaitu Rokhim, Darno, Suherna dan Dian Purnomo, diperiksa oleh Polda Jatim sebagai saksi atas laporan dugaan telah memasuki pekarangan milik PT. Ciputra tanpa ijin yang berhak dan melakukan perusakan barang milik orang lain secara bersama-sama. Dugaan tersebut jika terbukti, maka Darno dkk akan dijerat pasal 167 dan 170 KUHP . Pasca pemeriksaan tersebut, tepatnya pada tanggal 7 November 2018, Dian Purnomo dan Darno ditetapkan sebagai tersangka, atas delik tuduhan melakukan perusakan properti Ciputra di waduk Sepat berupa pintu.

Senin, 11 Maret 2019, selepas dilakukan pemeriksaan di Kejaksaan Negeri Surabaya, Dian Purnomo dan Darno langsung ditahan. Bagian Ketiga: Perampasan Ruang Hidup Warga Perkotaan Lahan Waduk Sepat pada mulanya adalah merupakan Tanah Kas Desa TKD, yang berbentuk lahan waduk, dengan luas sekitar 6,675 Hektar dan terletak di wilayah RW 03 dan RW 05 Dukuh Sepat. Lahan tersebut merupakan hak kolektif masyarakat Dukuh Sepat yang telah dikelola secara turun temurun. Menurut warga, Waduk Sepat memiliki hubungan yang kuat dengan jati diri warga sekitar. Selain memiliki sisi inheren dengan nilai kultural, ekonomi dan sosial, Waduk Sepat juga merupakan benteng pertahanan ekologis urban, yang semakin tersisih dari ekosistem perkotaan di tengah laju industri properti yang semakin brutal. Selain sebagai ruang sosial, dan memiliki nilai sejarah yang tinggi, waduk ini juga punya fungsi lain, yakni sebagai tempat bersinggahnya burung-burung dan beberapa jenis habitat liar lain. Akan tetapi, dalam perjalanannya, sejarah sosial dan keterikatan batin warga terhadap Waduk Sepat harus terputus pasca pemerintah kota Surabaya melepaskan lahan Waduk Sepat tersebut kepada PT Ciputra Surya, Tbk dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008, atas persetujuan DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No. 39 Tahun 2008. Buntutnya, pasca keluarnya surat keputusan tersebut, kini seluruh areal lahan Waduk Sepat dipagar keliling oleh pihak PT. Ciputra. Dan pada 14 April 2015 lalu, bahkan pihak Ciputra dibantu oleh aparat kepolisian melakukan eksekusi atau pengosongan paksa lahan Waduk Sepat tersebut, sehingga beberapa warga mengalami luka-luka dan terdapat barang-barang milik warga di lokasi yang dirusak.

Diduga kuat, oleh WALHI Jatim dan warga Sepat, pelepasan lahan Waduk Sepat tersebut akan mengarah pada alih fungsi Waduk Sepat menjadi kawasan perumahan mewah, seperti dalam kasus-kasus pelepasan waduk lainnya di Surabaya. Akibatnya peyempitan ruang hidup warga perkotaan terus meluas. Menurut WALHI Jatim, persoalan penyempitan ruang hidup warga perkotaan di Surabaya ini, dapat terlihat secara nyata pada pola penguasaan lahan kota yang terus masif berpindah tangan kepada pengusaha properti. Pola yang demikian bahkan terus mendominasi dan merampas beberapa aset milik publik yang selanjutnya memicu konflik sosial dan perlawanan dari warga. Kelompok Ciputra, misalnya, hingga Juni 2015, telah menguasai 5.325 hektar lahan di wilayah perkotaan; lahan-lahan tersebut sebelumnya adalah milik warga. Pakuwon Grup, juga menguasai sekitar 330 hektar untuk pengembangan perumahan Grand Pakuwon Surabaya Barat. Sementara Sinarmas, menguasai 120 hektar dalam pengembangan perumahan Bukit Mas I dan II. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya Tahun 2014-2034 menyebutkan bahwa Waduk/Telaga/Boezem adalah kawasan lindung dan dengan jelas dinyatakan bahwa “Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budi daya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.” (Pasal 37 ayat 1 Keppres 32/1990).

Usaha pengurukan Waduk Sepat, penebangan pohon disekitar waduk serta pemagaran yang dilakukan PT Ciputra Surya saat ini bukan saja menganggu fungsi lindung dari Waduk Sepat, namun juga ditengarai kuat merusak fungsi lindung kawasan tersebut. Sehingga perjanjian tukar guling antara Pemerintah Kota dan PT Ciputra Surya atas lahan waduk sepat merupakan tindakan yang inkonstitusional karena tidak mematuhi Undang-undang serta peraturan yang ada. Selain itu kriminalisasi yang menimpa warga Sepat ini juga menunjukkan sebuah cerita pilu sang pejuang lingkungan di Indonesia. Sekaligus merobek-robek nilai dan semangat yang telah tertuang dalam pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Sebagaimana diketahui bunyi pasal 66 tersebut adalah “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. TUNTUTAN: 1. Hentikan kriminalisasi terhadap warga Sepat. 2. Bebaskan Dian Purnomo dari segala tuntutan hukum demi keadilan. 3. Pertahankan Fungsi Kawasan Lindung Waduk Sepat dan Kembalikan Waduk Sepat kepada warga. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Jawa Timur Narahubung: Rere (Direktur Eksekutif WALHI JATIM) 0838-5764-2883