Kontradiksi Kebijakan Lingkungan Hidup; Masa Konflik dan Pasca Damai

Oleh Muhammad Nur Direktur WALHI Aceh Paling tidak publik masih ingat bahwa sudah tiga masa pergantian orang nomor satu di Aceh. periode Abdullah Puteh, Irwandi Yusuf, dan Dr. Zaini, tanpa membahas masa Pjs Gubernur maupun Gubernur sebelum Abdullah Puteh, so!  apa yang sudah berubah pada setiap periode gubernur Aceh. Tulisan ini hanya memberikan pendapat dalam konteks pengelolaan lingkungan saja. Di masa Abdullah Puteh, keberhasilan yang bisa dilihat publik adalah mega proyek yang dikenal Ladia Galaska; dimana proyek ini tidak sesuai dengan hukum lingkungan hidup sehingga ditentang WALHI Aceh. Gugatan WALHI Aceh saat itu menguras banyak energi bagi SKPA menjawab tuntutan hukum di pengadilan, sekalipun WALHI Aceh kalah dalam gugatan ini, bukan berarti kita menerima putusan pengadilan begitu saja. Kerjaan WALHI Aceh di masa konflik tidaklah mudah untuk memenangkan sebuah mega proyek yang diusung Abdullah Puteh kala itu. Di masa Irwandi Yusuf, publik tentu dekat dengan konsep moratorium logging, dan meningkatnya IUP sektor pertambangan yang bergerak di Aceh serta terbitnya berbagai HGU di Aceh. Terlepas dari berbagai masalah yang sangat besar dikerjakan pada masa Irwandi, misalkan menyelesaikan berbagai agenda rehab-rekon dan isu perdamaian Aceh. Dibawah kontrol berbagai lembaga donor dan intervensi berbagai negara atas nama rehab-rekon dan perdamaian tentu memberikan peluang bagi periode Irwandi Yusuf memimpin Aceh mendapatkan pendanan yang cukup besar kala itu.

Akan tetapi republik tidak boleh lupa akan kasus yang muncul ketika Izin perluasan perkebunan kelapa sawit  PT Kalista Alam dan tukar guling kawasan hutan Aceh selatan dengan luas 11 ribu hektar juga tidak luput dari kekurangan sang pemimpin dalam konteks lemahnya pengelolaan sumberdaya alam hutan Aceh. Lalu pada masa Dr.Zaini dikeluarkan kebijakan moratorium pertambangan, dan sejumlah kebijakan yang kontroversi; misalkan persoalan RTRW Aceh yang disahkan pada akhir tahun 2013 lalu membuat Aceh gaduh karena Judicial Review yang dilakukan WALHI Aceh bersama LSM lainya di Aceh. Sekalipun WALHI Aceh kalah di Mahkamah Agung tahun 2014 lalu karena satu dan lain hal. Namun, ada kesimpulan bahwa RTRW Aceh juga bermasalah. Lalu di masa yang sama pemerintah Aceh melobi pemerintah pusat melakukan tukar menukar kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dengan pengubahan status peruntukan kawasan dan sebagainya yang jika dianalisis pengubahan hutan lindung menjadi areal penggunaan lain mencapai hingga 80 ribu hektar lebih yang tertuang dalam SK Menhut No 941 tahun 2013 yang disahkan pada 23 Desember 2013; di sisi yang lain pemerintah Zaini juga mengeluarkan kebijakan mempercepat pembangunan jalan dalam kawasan hutan, paling tidak ada 40 ruas jalan yang akan diselesaikan pada periode  Dr. Zaini, artinya saat Gubernur Aceh jangan lagi mengatakan bencana alam yang disebabkan oleh illegal loging atau dikenal perambahan hutan Aceh, jangan lupa yang menciptakan kasus illegal logging meningkat juga ada kontribusi pembangunan yang didorong pemerintah saat ini dalam kawasan hutan.

Pembukaan hutan untuk berbagai kegiatan pembangunan, pertambangan maupun perkebunan menjadi ancaman serius bagi pelestarian kawasan hutan Aceh. Status kawasan hutan Aceh berdampak signifikan pada kondisi lingkungan hidup. Sepanjang tahun 2014, Aceh ternyata masih belum lepas dari bencana ekologi, mulai dari banjir, longsor, kebakaran hutan, konflik satwa, abrasi, erosi, angin kencang, hingga kekeringan. Bencana ekologi Aceh tersebar di 12 Kabupaten/Kota, dengan catatan banjir sebanyak 31 kasus, longsor 15 kasus, kebakaran hutan 20 kasus, abrasi 9 kasus, erosi 7 kasus, angin kencang 14 kasus, dan kekeringan 20 kasus serta konflik satwa-manusia yang hampir di setiap bulan dalam tahun 2014 tercatat kasusnya. Semua bencana tersebut merugikan masyarakat dari segi kemanusiaan (kematiaan, cacat, penyakit) serta kerugian materi yang besar dan berdampak. Catatan bencana ini menyisakan pertanyaan besar bagi pemerintah Aceh, apakah semangat pembangunan  yang digadang-gadang pemerintah telah berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat? Publik tidak boleh melupakan sejarah setiap periode telah membuat dampak positif maupun negatif dalam agenda pengelolaan sumberdaya alam di Aceh, toh pada akhirnya menciptakan mega proyek, hadirnya IUP pertambangan, HGU dan berbagai agenda rakusnya ruang telah ikut berkontribusi pada kerugian Aceh mencapai 18 trilyun lebih atas berbagai kejadian bencana alam di Aceh, sehingga tidak bisa serta merta bencana alam yang sering terjadi saat ini hanya dikatakan penyebabnya karena illegal logging saja, sehingga lupa menyebutkan kebijakan pemerintah sendiri telah berkontribusi menciptkan bencana diberbagai daerah.

Lalu dimana letak kontradiksi kebijakan pemerintah pada setiap periode kepemimpinan pada agenda lingkungan hidup? Tentu bukanlah rahasia umum lagi bahwa republik ini sudah memiliki sejumlah regulasi berkaitan kebijakan pembangunan, misalkan UU 32 tahun 2009 tentang pengelolaan pengendalian lingkungan hidup atau dikenal UU-PPLH, UU 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, dan berbagai regulasi lainnya jauh hari sudah ada sebelum tiga pemimpin memimpin Aceh, lalu! apa yang salah sehingga menimbulkan gejolak di berbagai wilayah. Pertama, partisipasi warga tidak dijadikan hal yang cukup mendasar atau dikatakan penting dalam setiap pembangunan, sehingga informasi secara utuh tidak didapatkan warga, kedua izin lingkungan dikenal satu izin yang paling lama terbit karena berbagai alasan yang cukup bijaksana, sehingga cenderung dipersingkat oleh pemrakarsa proyek yang juga melibatkan pejabat diberbagai bidang kerja, pada akhirnya regulasi tidak lagi menjadi pedoman atau satu perintah hukum yang dipegang teguh, hanya sekedar dipakai dalam diskusi saja. Lihat saja sejumlah pembangunan tanpa izin lingkungan tetap dikerjakan, tanpa partisipasi warga, dan pembiaran berbagai kasus lingkungan hidup tak kunjung usai hingga tahun 2015. Kondisi Lingkungan hidup Aceh pun semakin mengkhawatirkan. Berbagai kepentingan politik dan ekonomi kini semakin menjadi motif utama pengambilan kebijakan oleh Pemerintah Aceh yang sarat abaikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan menekankan pentingnya harmonisasi antara aspek ekonomi, aspek sosial politik dan budaya, serta aspek lingkungan.

Ketiganya harus bersinergi optimal guna mencapai kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan dengan terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup. Pada akhirnya masyarakat harus sadar sekalipun ilmu ekonomi tidak ada kaitannya dengan bicara lingkungan hidup. Tapi berbicara lingkungan hidup adalah berbicara tentang hak setiap orang untuk mendapatkan kenyamanan menempati bumi yang satu ini sebagai anugerah dari Tuhan untuk semua makhlukNya. Sejatinya kelestarian lingkungan hidup menjadi landasan penting yang membawa kesejahteraan ekonomi untuk semua masyarakat. Kehidupan perekonomian sangat dipengaruhi oleh kestabilan iklim dan kondisi lingkungan. Sumber daya alam (hutan) melalui semua fungsi yang dimilikinya adalah sebagai sumber penghidupan untuk seluruh makhluk dan menjadi kewajiban manusia untuk mengelolanya dengan bijak. Namun, kini kekayaan sumberdaya alam Aceh justru menjadi mainan pada setiap periode kepemimpinan Aceh maupun secara nasional. Baik kebijakan mega proyek fisik pembangunan yang merusak keseimbangan ekosistem seperti (waduk, embung, jalan dan berbagai bentuk lainnya), kehadiran sektor pertambangan yang menciptakan sejumlah lubang-lubang besar, perkebunan sawit sebagai ekonomi sesaat telah mengubah fungsi hutan dan masalah limbah tanpa terkelola dengan baik dan berbagai masalah lain bermunculan di tengah masyarakat Aceh pasca damai.

Pendekatan pengelolaan SDA yang dianggap keliru, seharusnya pemerintah di periode sekarang dan akan datang idealnya tidak perlu dilanjutkan lagi. Karena pengelolaan SDA saat ini lebih mengedepan aspek ekonomi atau mengutamakan pendapatan daerah, dan kurang bahkan tidak mempertimbangkan aspek sosial dan keberlangsungan lingkungan hidup. Dampak yang terjadi kemudian munculnya sejumlah persoalan ditengah masyarakat, sengketa lahan, konflik horizontal, hilangnya lahan pertanian,  dan berbagai bentuk kerugian ekologi lainnya. Seharusnya pemerintah memiliki proteksi dan lebih selektif dalam mengeluarkan kebijakan pembangunan, termasuk pemberian izin pengelolaan SDA kepada swasta. Melakukan proteksi terhadap kawasan – kawasan yang bernilai konservasi, rawan bencana, atau kawasan ekonomi warga. Juga hal yang sama berlaku pada pemerintah itu sendiri dalam mencanangkan rencana pembangunan kawasan, sehingga mampu meminimalisir kerusakan lingkungan di masa depan. Di sisi lain, masyarakat juga dituntut proaktif melakukan pengawasan terhadap lingkungan hidup, dan pemerintah harus memperhitungkan beban ini. Dari setiap bencana yang diakibatkan oleh pengelolaan lingkungan yang kurang tepat, masyarakatlah yang mendapatkan dampak kerugian besar. Oleh karenanya, masyarakat perlu sensitif terhadap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, terlebih dalam kawasan hutan atau kawasan rawan bencana. Untuk menghindari kerugian dan dampak yang lebih besar, pemerintah sudah saatnya melakukan review semua izin lingkungan di Aceh. Baik untuk izin perkebunan, pertambangan, maupun izin pemanfataan SDA lainnya. Hal ini dianggap penting, untuk melihat sejauh mana komitmen dan kepatuhan pemegang izin terhadap upaya menjaga keselamatan lingkungan hidup. Tentu! Patut diberikan apresiasi juga menjadi sebuah prestasi jika pemerintah berani mencabut izin terhadap perusahaan yang melanggar. Dengan demikian, sejumlah kasus lingkungan hidup termasuk sengketa lahan warga dengan perkebunan akan terselesaikan.