Majelis Hakim PTUN Jakarta Gagal Memahami Urgensi Perlindungan Lingkungan Hidup dan Keselamatan Rakyat

Siaran Pers Putusan Pengadilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atas Gugatan WALHI terhadap Menteri ESDM Jakarta- Kemarin, Selasa 4 September 2018, Majelis Hakim PTUN Jakarta memutuskan perkara No 45/G/LH/2018/PTUN-JKT, gugatan WALHI terhadap Menteri ESDM atas penerbitan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) PT. Citra Palu Mineral di Poboya Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam pembacaan putusan, Majelis Hakim menyatakan Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO). Gugatan WALHI terhadap SK Menteri ESDM tidak dapat diterima karena Menurut Majelis Hakim objek sengketa yang diajukan oleh WALHI sebagai penggugat bukan menjadi kewenangan PTUN untuk mengadili, memeriksa dan memutus. Menurut Majelis Hakim, objek sengketa masih dalam rangkaian menjalankan Kontrak Karya. Objek sengketa merupakan perbuatan hukum perdata berdasarkan pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagai penggugat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyesalkan putusan ini. Putusan ini sangat bertentangan dengan proses persidangan selama hampir 6 bulan lamanya dengan menghadirkan saksi, bukti dan ahli dalam proses sidang yang berjalan selama kurang lebih 16 kali. Harusnya dalam proses dismissal sudah lebih dulu Hakim menilai perkara ini apakah layak disidangkan atau ditolak (NO). Kami menilai putusan ini sangat aneh, karena menggunakan pertimbangan Kompetensi Absolute dalam keputusannya, atau ini bisa menjadi putusan pada putusan sela. Kami juga menyesalkan Majelis Hakim yang mengabaikan fakta persidangan yang telah menyampaikan pokok perkara dan substansi gugatan, yang sesungguhnya jauh melampaui dari penerbitan izin semata. Bahwa SK Menteri ESDM yang memberikan izin operasi produksi kepada PT. Citra Palu Mineral (anak usaha Bumi Resources Tbk) berdampak pada nasib lingkungan hidup dan keselamatan hidup rakyat di kota Palu. Majelis Hakim harusnya menggunakan dasar putusannya pada UU Minerba No. 4 Tahun 2009, dimana semua rezim Kontrak Karya telah berakhir. Menteri ESDM dan PT. CPM harusnya tunduk pada UU Minerba, bukan justru melanggengkan rezim Kontrak Karya yang telah merugikan negara”, tegas Abdul Haris, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah. Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI menambahkan, bahwa “dengan putusan ini, sesungguhnya telah terjadi pelegalan atas praktik perampasan ruang hidup rakyat, pencemaran lingkungan hidup dan bencana ekologis yang dilakukan oleh perusahaan. Atas pertimbangan hukum yang lebih tinggi untuk menilai putusan ini, WALHI akan mengajukan banding dengan harapan ada putusan yang berkeadilan berpihak pada lingkungan hidup dan rakyat”. Di tengah pengadilan umum yang menemui berbagai tantangan dan acap kali gagal paham dalam memahami urgensi perlindungan lingkungan hidup dan keselamatan rakyat dari ancaman kejahatan korporasi, WALHI memandang dibutuhkan pengadilan lingkungan hidup yang memiliki kemampuan memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup yang sebagian besar aktornya adalah korporasi yang berlindung melalui rezim perizinan, ujar Khalisah, menutup siaran pers ini. (selesai)   Kontak Person:

  1. Abdul Haris, Direktur WALHI Sulawesi Tengah, di 082191952025
  2. Dwi Sawung, Manajer Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, di +639994120029

Narahubung:

  1. Malik Diadzin, Staf Media Komunikasi WALHI, di 081808131090

  Catatan untuk Editor

  1. Pada awal proses sidang, Hakim bertanya kepada tergugat (yang mewakili Menteri ESDM), apakah perkara ini obyek TUN dan disampaikan bahwa benar objek tersebut adalah objek TUN. Pertimbangan lain diajukannya gugatan ini di PTUN karena yang digugat dalam perkara ini adalah Keputusan Menteri tentang IUP Operasi Produksi, dimana rezim tersebut adalah rezim perizinan yang diatur dalam Undang-undang Minerba No. 04 Tahun 2009.
  2. Fakta-fakta persidangan yang WALHI hadirkan, menjadi tidak layak dinilai. Padahal sejumlah bukti terkait tindak kejahatan PT. Citra Palu Mineral sedang diselidiki oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seperti bukti yang dihadirkan KLHK dalam persidangan. Selain itu, Bahwa PDAM kota Palu sangat mengandalkan sungai Poboya, PDAM kota palu memiliki pelanggan sebanyak 7000 sampai hari ini dimana 5000nya dilayani oleh sumber air sungai Poboya; dimana saksi WALHI menunjukkan peta As Built Drawing PDAM Kota Palu Sumber PDAM Kota Palu dari hulu sampai ke hilir karena Lokasi tambang ada di sekitar sungai, dan kebetulan di sekitar sungai ada kondominium dari PDAM jadi tempat istirahat. Dan pembebasan lahan sudah mendekati kondominium dari PDAM.
  3. Bahwa Ahli secara tegas menyatakan untuk menegakkan UU No 4 Tahun 2009 (UU Minerba) semestinya unutk menjadi pilihan hukum ialah konsistensi Pemerintah terhadap hukum yang ada, dan pemerintah taat terhadap UU Minerba sehingga kedaulatan hukum terjaga;
  4. Bahwa Menurut Ahli Objek Sengketa, SK Menteri ESDM yang WALHI gugat jelas tidak sesuai dengan Undang-undang nomor 4 tahun 2009 Tentang Mineral dan batubara. Pertama karena isinya terkait luas wilayah pertambngan. Kalau dalam UU Minerba luas maksimal 25.000 Hektar, sedangkan dalam objek sengketa seluas 80 ribuan Hektar. Kedua, terkait jangka waktu dalam UU Minerba itukan jangka waktu 20 tahun (dalam UU Minerba no 4 tahun 2009), sedangkan dalam Objek Sengketa ini berjangka waktu 30 tahun. Ketiga, pejabat yang menerbitkan izin. Menurut UU nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, harusnya yang memberikan izin itu adalah Menteri ESDM, bukan Dirjen Minerba. Kewenangan atribusi kalau mau didelegasikan harus melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, tidak ada yang mendelegasikan kewenangan Menteri ESDM kepada Dirjen minerba. Jadi Objek Sengketa tersebut cacat secara administrasi pemerintahan dan UU Minerba;