Mendudukkan Kepentingan Pilihan Strategi Critical Engagement

Oleh: Khalisah Khalid Tulisan ini terinspirasi dari obrolan malam dengan beberapa orang yang gundah. Sebagai obrolan lepas, tentulah tidak sistematis, terstruktur, terlebih massif. Tulisan ini mencoba mengrekonstruksinya secara lebih sistematis, dengan tetap memuat unsur opini pribadi penulis, meski tentunya tidak keberatan jika organisasi menjadikannya sebagai salah satu referensi. Namun setidaknya diharapkan dapat menjadi sebuah bahan diskusi lanjutan untuk mempertajam diskursus, tentu bukan hanya menjadi debat kusir memenuhi birahi intelektual, namun bagaimana ini bisa berguna bagi kepentingan pembelaan terhadap perjuangan lingkungan hidup dan pengelolaan kekayaan alam yang berkeadilan. Dialektika sebuah pengetahuan konon mestinya lahir dari proses advokasi itu sendiri dan memperkuatnya dalam sebuah langgam yang bernama gerakan rakyat. Bagi saya, kemiskinan mendebatkan sebuah diskursus dengan kekhawatiran memunculkan fragmentasi, justru akan menumpulkan gerakan itu sendiri.   Kembali pada diskusi malam sembari menikmati tahu dan tempe goreng, bergeliat pada kata-kata critical engagement. Setidaknya dalam diskusi tersebut, muncul 10 kali kata critical engagament. Yang jadi pertanyaan pertama, apa arti dari kata critical engagament. Jika diartikan sederhana, critical engagament berarti sebuah keterikatan/hubungan atau keterlibatan yang tetap mengedepankan daya kritis kita. Kemudian bagaimana mendudukkan strategi critical engagement secara tepat sesuai dengan kepentingan yang ingin kita capai?   Paska reformasi, critical engagement banyak dipilih sebagai sebuah strategi mempengaruhi pengurus negara agar dapat berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Sehingga kita familiar dengan istilah pembagian peran main di dalam (critical engagament) dan ada yang bermain di luar sebagai penekan. Sampai di sini, meskipun tak lepas dari evaluasi atau kritik oto kritik, menjadi sebuah pilihan strategi yang diamini berbagai kelompok gerakan sosial dimanapun. Basis argumentasi jelas, ruang demokrasinya terbuka, jadi harus digunakan. Agak mustahil jika pilihan critical engagement berjalan pada rezim otoritarian. Belakangan seiring dengan semakin menguatnya sistem ekonomi kapitalisme yang meskipun telah terbukti gagal, namun kegagalannya bukan memperbesar gerakan untuk merubah ideologi ekonomi tersebut.

Konsolidasi lebih cepat dilakukan oleh kekuatan modal ini, dibandingkan dengan konsolidasi masyarakat sipil. Critical engagement kemudian menyasar kepada korporasi skala raksasa yang memiliki sumberdaya begitu melimpah, mulai dari sumberdaya pendanaan yang “tidak berseri”, hingga dukungan penuh keamanan investasi dari yang “negeri” sampai pengamanan swasta. Biasanya alias kebanyakan, engagement antara korporasi dengan organisasi masyarakat sipil itu berbaju “penyelesaian konflik” antara perusahaan dengan rakyat melalui pendekatan mediasi. Juga hampir biasanya, perusahaan menggunakan tangan kedua ketiga dan seterusnya sebagai perpanjangannya lewat badan-badan yang bernama konsultan yang juga bisa dibagi-bagi lagi sesuai kebutuhan  si “ownernya”. Namun ternyata, pada kelompok lain, ada yang percaya bahwa critical engagement ke korporasi raksasa dapat merubah dari bad practice menjadi good practice atau bahkan kelas yg lebih tinggi good corporate governance. Dan kepercayaan itu biasanya digunakan melalui desakan konsumen. Beberapa pernyataan dari korporasi, yang sering disebut sebagai sebuah komitmen dipercaya atas desakan konsumen. Namun desakan komitmen tidak mempengaruhi watak mereka, dan sebagian besar konsumen merupakan kelas menengah ke atas yang juga tidak mau kenyamanannya terganggu. Bahkan seringkali komitmen “green”nya, kembali dibiayai oleh konsumen itu sendiri. Pasar bahkan dapat mendesain isu lingkungan hidup sebagai kesempatan untuk memperluas jangkauan ekspansi dan mengakumulasi keuntungan dengan berbagai label dan standar hijau yang ditentukan pasar, termasuk label mereka sebagai korporasi yang "baik". Ingat rumus dasar ekonomi neoliberal, untung sebesar-besarnya dan menekan biaya sekecil-kecilnya. Saya ingin menarik perdebatan pilihan mempengaruhi pasar dengan strategi critical engagement pada sebuah konteks berbangsa dan bernegara yang landasan utamanya adalah Konstitusi dan penegakan hak asasi manusia sebagai nilai universal kemanusiaan, dan dimana posisi kita sebagai organisasi masyarakat sipil mestinya bisa ditempatkan. Pasar global menghendaki dimana tak ada sekat atau pembatas, dan negara dianggap oleh rezim neoliberal sebagai pembatas itu sendiri. Kontrak sosial kita bernegara, ada pada Konstitusi yang didalamnya memuat pasal-pasal yang bicara tentang hak dasar warga negara sebagai hak asasi manusia. Penting untuk meletakkan basis ini sebagai landasan pergerakan Indonesia, kecuali jika kita tidak lagi percaya pada negara dan menghendaki negara ini bubar. Dan sesungguhnya inilah yang dimaui kuat oleh rezim neoliberal. Jika melihat pada mandat organisasi, yang memiliki perjuangan mewujudkan tatanan dunia baru yang berkeadilan baik secara sosial, ekonomi, budaya terlebih keadilan ekologis. Setidaknya mandat besarnya menyebutkan bahwa advokasi harus menyasar pada mengembalikan kembali fungsi dan peran negara untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Tidak dipungkiri, negara kita sampai hari ini masih korup dan belum berpihak kepada rakyat dan lingkungan hidup, namun bukan berarti kita menjadi tidak percaya pada negara. “Lusuhnya kain bendera di halaman rumah kita, bukan satu alasan untuk kita tinggalkan”.... begitu Iwan Fals mengingatkan kita, pada mandat organisasi yang satu ini. Dan saya ingin menggaris bawahi, pada konteks inilah strategi dan pilihan untuk critical engagement menemui relevansinya. Pilihan strategi ini tidak perlu dikhawatirkan akan memoderasi gerakan. Justru pada situasi dan kondisi yang sama, kita tetap menjalankan peran kita sebagai kelompok penekan. Asal jelas dimana benang merah antara kita dengan negara, dan basisnya jelas kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Pada mandat yang lain adalah menggugat kejahatan korporasi. Kalimat ini ingin menegaskan bahwa sebagai sebuah kejahatan korporasi begitu besar dan kuat, dan bukan hanya tindakan kriminal biasa sebagaimana halnya korporasi sering melakukan kriminalisasi terhadap rakyat yang berjuang. Saya menafsirkan kejahatan korporasi adalah kejahatah luar biasa, sehingga tidak ada ruang untuk bisa mengkompromikan kejahatannya. Mana mungkin perampas tanah rakyat bilang-bilang alias ijin ketika mau merampas tanah rakyat. Omong besar!! Kejahatan korporasi ini satu paket dengan yang namanya watak kapitalisme yakni kapitalistik (termasuk monopoli didalamnya), eksploitatif dan militeristik. Rakus alias serakah dan merusak, termasuk merusak sumber-sumber kehidupan rakyat, hingga tidak segan-segan dengan menghilangkan nyawa manusia adalah praktek riilnya di lapangan. Jika ada korporasi yang mengatakan, "oh ya kami sudah cukup kuasai 500 ribu hektar saja, tidak akan ekspansi”, maka itu hanya ada dalam dongeng-dongeng tidur. Seorang teman tadi malam juga bilang, tidak mungkin sistem ekonomi memperbaharui wataknya menjadi baik, karena kodrat pelanggengan akumulasi kapitalisme justru dari watak yang buruk tersebut. Merampas tanah rakyat, suap dan korupsi, hingga tidak segan-segan melalui jalan peperangan, atau dalam skala nasional dengan mendesign konflik politik  pada suatu wilayah seperti Papua, Aceh dan Poso dan kemudian memasang status darurat militer. Yang patut diingat dalam semua peristiwa konflik bersenjata, korban terbesarnya adalah sipil. Sampai saat ini, UN sendiri berpegang pada Ruggie Principle dalam panduan Bisnis dan Hak Asasi Manusia, yang meletakkan kewajiban penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia pada aktor lain selain negara (non state actor), dalam hal ini pelaku bisnis. Panduan ini disusun sebagai sebuah keprihatinan terhadap praktik bisnis yang makin meluas dan berpotensi memperburuk kondisi masyarakat dan lingkungan.

Di sisi lain, negara makin terlihat lemah membangun perlindungan bagi masyarakat di hadapan ancaman ekspansi bisnis. Sialnya, dalam rezim hukum Hak Asasi Manusia, tanggungjawab bisnis dalam hak asasi manusia-pun masih bersifat voluntary, belum legally binding. Kita tahu, PBB pun tidak berada di ruang kosong dan bebas dari intervensi kongsi modal global. Sehingga dalam konteks ini pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aktor di luar Negara, bisnis sebagai salah satu aktornya. Negara harus tetap mengambil peran aktif untuk menuntut tanggungjawab atas kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh aktor di luar Negara, sebagai bagian dari tanggungjawab negara untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfil) dan melindungi (to protect) hak asasi manusia baik generasi hari ini maupun generasi yang akan datang. Peran aktif yang dimaksud termasuk didalamnya mengatur regulasi atau kebijakan yang dapat memastikan berkurangnya daya rusak yang akan mengancam lingkungan hidup dan kehidupan warga negaranya, khususnya terkait dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Peran negara dan fungsi negara justru yang harus didorong.

Sampai di sini, tulisan ini secara sungguh-sungguh sudah mengambil posisi politik bahwa strategi critical engagement harusnya menyasar pengurus negara, bukan korporasi. Tulisan ini tentu bisa didebat, dan atau diperkuat basis argumentasinya, namun yang ingin saya dapatkan jawaban dari kelompok yang percaya bahwa crititical engagement kepada korporasi raksasa, apakah strategi yang dipilih tersebut bisa merubah watak korporasi yang kapitalistik, eksploitatif dan militeristik? Atau apakah critical engagement dengan korporasi bisa menyelesaikan problem struktural agraria dan sumberdaya alam, yang salah satunya adalah ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria. Apakah nyawa manusia yang hilang bisa dimediasi? Apakah kerusakan lingkungan hidup bisa dimediasi? Seluruh peserta ngobrol santai malam itu sepakat, bahwa nyawa tidak bisa dimediasi, kerusakan lingkungan juga tidak bisa dimediasi atau dikompensasi. Hak untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian harta-pun, tidak menurunkan hak rakyat yang lain atas hidup dan kehidupannya. (selesai)