Menuntut Transparansi dan Keterlibatan Penuh Publik atas RUU tentang Air

 width= Surat terbuka Kepada Yth Ketua Panja RUU Tentang Air, DPR RI Di tempat Tembusan:

  1. Ketua Komisi V DPR RI
  2. Pimpinan DPR RI

Kami, masyarakat sipil Indonesia yang memperjuangkan hak atas air dan keadilan bagi masyarakat marjinal, baik perempuan maupun laki-laki, menyatakan keprihatinan dan keberatan kami atas ketidakterbukaan proses penyusunan Rancangan Undang-undang yang mengatur mengenai air. Sejak dibatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air pada 18 Februari 2015 dan memberlakukan kembali UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, hingga kini belum ada kebijakan yang mampu mengembalikan norma pengelolaan air sesuai amanat konstitusi dan putusan MK. Permasalahannya adalah UU 11/74 Pengairan tidak mengatur tentang penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak rakyat atas air, serta tidak mengatur prinsip pembatasan pengusahaan air, padahal klausul tersebut adalah alasan Mahkamah Konsitusi menyatakan UU SDA Konstitusional, karena pengusahaan air di dalam UU SDA melanggar hak rakyat atas air yang dilindungi oleh UUD 1945, sehingga diperlukan adanya Undang-undang baru. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 85/PUU-XI/2013 yang membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KeMenPUPR) justru merespon dengan menerbitkan 18 Peraturan Menteri (PerMen) untuk mengganti Permen lama yang tidak lagi berlaku. Selain itu, pemerintah telah menerbitkan Surat Edaran Menteri PUPR N0.04/SE/M/2015 tentang Izin Penggunaan Sumberdaya Air dan Kontrak Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Sistem Penyediaan Air Minum Perpipaan yang menyatakan bahwa izin serta kontrak kerjasama dengan swasta yang telah ada sebelum putusan MK tetap berlaku dan akan dievaluasi. Presiden sendiri juga telah menerbitkan sejumlah kebijakan terkait pengelolaan air paska keluarnya putusan-putusan pengadilan tersebut. Beberapa diantaranya adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, termasuk membangun infrastruktur air minum.

Berikutnya Presiden juga menerbitkan kebijakan pengelolaan air dalam Paket Ekonomi ke VI atau Paket Deregulasi VI, yang pada intinya pemerintah masih mengijinkan pengelolaan dan pengusahaan air oleh swasta serta memperbolehkan badan usaha swasta melakukan penyediaan air minum untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Perpres tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh PUPR dengan menerbitkan PP tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan Pengusahaan Air. Kebijakan-kebijakan tersebut tentu mengingkari semangat mengembalikan norma pengelolaan air sesuai amanat konstitusi dan putusan MK. Selain itu, KeMenPUPR juga telah menyusun Naskah akademik dan RUU Sumber Daya  Air yang baru pengganti UU no 11/1974 tentang pengairan, namun prosesnya pun tidak terbuka bagi adanya keterlibatan publik. Kemudian, berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dengan Komisi V DPR-RI, bahwa Rancangan Undang – Undang Air akan diproses sebagai inisiatif DPR RI. RUU tentang Air tersebut kemudian masuk sebagai Prolegnas prioritas sejak tahun 2017 lalu, dan kembali masuk Prolegnas tahun 2018. Kami melihat dan mencatat bahwa, Draft RUU tentang Air yang telah atau sedang digodok oleh pemerintah dan DPR selama ini dikonsultasikan secara terbatas. Padahal RUU tentang Air yang kembali masuk sebagai prolegnas tahun 2018 telah berada pada titik yang paling krusial. Kuatnya lobby dari badan usaha dan asosiasi pengusaha air dan kukuhnya pemerintah mengabaikan norma-norma pengelolaan air yang telah ditetapkan MK menjadikan RUU tentang Air yang baru akan tetap bermuatan sama dengan UU No. 7 tahun 2004. Selain itu, kami melihat bahwa proses perumusan RUU tetntang Air belum mengedepankan nilai-nilai transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.

Meskipun September 2017 lalu, Komisi V DPR RI telah mengundang beberapa lembaga masyarakat sipil dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), namun belum melibatkan berbagai pemangku kepentingan, khususnya masyarakat marjinal, termasuk perempuan. Pasca kegiatan tersebut pun tidak ada perkembangan informasi terbaru apapun terkait substansi dan proses perumusan RUU tentang Air tersebut. Selain itu, draf Naskah Akademis dan draf RUU yang utuh tidak dapat diakses secara terbuka. Kami khawatir proses yang terkesan ditutup-tutupi tersebut akan menghasilkan UU tentang Air yang berpretensi hanya untuk melayani kepentingan investor serta lobi swasta, dan bukan atas dasar pemenuhan kebutuhan dasar bagi warganya. Hal tersebut tentu bertentangan dengan putusan MK yang menggaris bawahi kepublikan daripada air itu sendiri.

Terkait substansi, perumusan RUU tentang Air perlu menggaris bawahi mengenai mandat penguasaan negara atas air untuk melindungi tujuan bagi sebesar besar kemakmuran rakyat. Praktek hak menguasai negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air rakyat Indonesia harus secara tegas ditegaskan dalam RUU tentang Air yang baru. Kami perlu memastikan RUU yang dihasilkan mengatur kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari, memenuhi hak pertanian, dan industri, serta untuk memelihara keragaman hayati dan kesinambungan jasa lingkungan sumber-sumber air dengan memastikan pengaturan tentang pengusahaannya serta skala prioritas pemanfataannya yang semuanya harus berpatok kepada kelestarian sumber air, kepentingan bersama dan untuk kemakmuran rakyat yang berperspektif HAM dan berasaskan keadilan, termasuk keadilan gender serta keberlanjutan. Keterlibatan perempuan dalam sistem kelola air, termasuk dalam perumusan kebijakan dan kelembagaan, menjadi penting agar pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan air dapat sesuai sasaran/kebutuhan dan berkelanjutan.

Undang-undang dan kebijakan turunannya harus secara tegas menjelaskan aspek persoalan bagaimana mencapai hal tersebut baik dari segi keuangan, penegakan aturan, maupun institusi pelaksananya. Putusan MK yang menyatakan air sebagai kebutuhan bersama dan milik bersama patut untuk digaris bawahi. Pendapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan bahwa res commune adalah hak yang dimiliki oleh masyarakat secara bersama-sama, yang juga diakui dalam hukum internasional. Konsep dasar res commune amat terkait dengan hajat hidup orang banyak. Selanjutnya, masyarakat yang menjadi anggota dari masyarakat air”itu perlu mewujudkan suatu proses pengambilan keputusan yang mencerminkan kesetaraan (equitable acess) dan pengunaan yang lestari. Hal ini dikenal dengan konsep the commons. Jadi air diakui bukan hanya sebagai hajat hidup orang banyak, melainkan sebagai proses tata kelola dalam hal pengambilan keputusan masyarakat anggotanya. Maka, dalam konteks tersebut, Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dan masyarakat adat penting diperhatikan dalam hak atas air, karena air sebagai kehidupan selain mengandung nilai dan fungsi sosial juga ada nilai dan fungsi spiritual serta tata penggunaan air berdasarkan identitas budaya, nilai-nilai tradisional dan hukum masyarakat adat. Oleh karenanya nilai-nilai transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat wajib dikedepankan dalam perumusan RUU tentang Air maupun kebijakan pengelolaan air lainnya. Untuk itu, proses pembuatan UU tentang air yang baru, serta kebijakan lainnya yang mengatur air harus mengutamakan transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Pemerintah dan DPR harus memberlakukan kepublikan daripada pengelolaan air mulai dari perencanaan dan pembuatan Undang-Undang dan kebijakan turunannya. Oleh karenanya Kami mendesak kepada Komisi V DPR RI agar segera membuka proses penyusunan dan pembahasan RUU tentang Air ini, serta memberikan akses seluas mungkin atas dokumen-dokumen yang sedang disusun ataupun dibahas dan melakukan konsultasi publik, dengan memastikan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat, kelompok perempuan, kelompok rentan, serta masyarakat marjinal lainnya. Hormat Kami, Yang Bertanda tangan,

  1. Muhammad Reza, KRuHA
  2. Nur Hidayati, WALHI
  3. Puspa Dewy, Solidaritas Perempuan
  4. Arimbi Heroepoetri, Debtwatch Indonesia
  5. Susan Herawati, KIARA
  6. Merah Johansyah, JATAM
  7. Daru Setyorini, ECOTON