Nelayan Pulau Pari Bebas ( LAGI ) Kriminalisasi Harus di Hentikan, Polisi dan Jaksa Harus di Hukum

Koalisi Selamatkan Pulau Pari meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk memeriksa bawahannya di Kepolisian Resor Kepulauan Seribu yang diduga telah melakukan serangkaian kriminalisasi terhadap aktor-aktor yang vokal menentang perampasan tanah warga Pulau Pari. Hal ini harus segera dilakukan setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara membebaskan Sulaiman bin Hanafi alias Katur pada 13 November 2018 tempo hari. Pengadilan telah dua kali memenangkan nelayan Pulau Pari, setelah sebelumnya 3 orang nelayan yang mengelola pariwisata swakelola diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Sebelumnya, ketiga orang tersebut dinyatakan bersalah dan harus mendekam selama 5 (lima) bulan di penjara. Selasa kemarin (13/11), Sulaiman diputus “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” melakukan tindak pidana menyewakan tanah (Pasal 385 ke-4 KUHP) atau memasuki pekarangan (Pasal 167 ayat (1) ke-1 KUHP) milik Pintarso Adijanto. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menilai unsur melawan hukum tidak terbukti. Bulan lalu, Mustaghfirin alias Boby, Mastono alias Baok, dan Bahrudin alias Edo juga diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi Jakarta karena tidak terbukti melakukan pemerasan sebesar Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) karena mengutip kontribusi masuk pantai pasir perawan di Pulau Pari. Vonis bebas tersebut merupakan angin segar bagi perjuangan warga Pulau Pari yang terancam terusir dari tanah kelahirannya karena tiba-tiba muncul sertifikat-sertifikat atas nama perorangan maupun korporasi pada 2014-2015. Warga kemudian melakukan penolakan-penolakan hingga terjadilah kriminalisasi terhadap aktor-aktor vokal di level warga seperti Sulaiman, dkk. Kriminalisasi terhadap Sulaiman sendiri merupakan kriminalisasi jilid III setelah sebelumnya Boby, dkk. (kriminalisasi jilid II), dan Edi Priadi (kriminalisasi jilid I) yang mendekam di penjara karena dituduh menyerobot tanah milik PT. Bumi Pari Asri, padahal ia telah tinggal sejak tahun 1999 dan sertifikat baru keluar tahun 2015. Namun, kriminalisasi “belum selesai”. Diperkirakan masih akan ada ancaman kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan kepada warga. Sahrul Ketua Forum Perduli Pulau Pari (FP3) masih diperiksa dan statusnya “mengambang” sebagai saksi. Di sisi lain, perempuan juga mendapat ancaman, intimidasi dan dituduh menyerobot tanah serta disomasi dengan ancaman pidana oleh perusahaan. Semua pemeriksaan maupun somasi didasarkan pada sertifikat-sertifikat yang muncul tiba-tiba tahun 2014-2015 yang mencapai 90 persen dari luas Pulau Pari. Sertifikat-sertifikat tersebut telah dimentahkan oleh Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI yang telah menyatakan 62 (enam puluh dua) Sertifikat Hak Milik (SHM) dan 14 (empat belas) SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) di Pulau Pari maladministrasi. Semua sertifikat muncul tanpa adanya pengukuran tanah sebagaimana wajib berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Padahal, secara nyata tanah tersebut sudah lama dimiliki dan ditempati secara efektif oleh warga Pulau Pari. Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan juga perlu melakukan langkah menyelesaikan permasalahan warga Pulau Pari dengan salah satunya memberikan pengakuan dan perlindungan atas pengelolaan pariwisata pantai oleh masyarakat. Sulaiman akan melaporkan polisi-polisi dari Kepolisian Resor Kepulauan Seribu karena menghilangkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi yang meringankan dari berkas perkara. Saksi tersebut hadir ketika dipanggil dan sudah menandatangani BAP namun hilang dari berkas perkara. Jaksa dalam yang menuntutnya juga akan dilaporkan ke Komisi Kejaksaan karena menghilangkan fakta persidangan yang meringankan Sulaiman dan menyeludupkan fakta persidangan dalam surat tuntutan. Oleh karena itu, Koalisi Selamatkan Pulau Pari mendesak: 1. Kapolri untuk menertibkan dan memberikan sanksi tegas kepada bawahannya di Kepolisian Resor Kepulauan Seribu yang melakukan kriminalisasi terhadap warga Pulau Pari; 2. Jaksa Agung untuk menghukum jaksa dalam kasus Sulaiman karena tidak mencantumkan fakta persidangan dan memanipulasi fakta persidangan dalam surat tuntutan; 3. Gubernur DKI Jakarta mengambil tindakan untuk mengatasi perampasan tanah berkedok kriminalisasi ini serta mengakui dan melindungi pengelolaan pariwisata pantai oleh masyarakat; 4. Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk mencabut sertifikat-sertifikat milik perorangan maupun korporasi di Pulau Pari yang terbit pada 2014-2015. Jakarta, 18 November 2018 Koalisi Selamatkan Pulau Pari Narahubung: Sulaiman: 083819382770 Sahrul: 081284449546 (FP3) Nelson: 081396820400 (LBH Jakarta) Fatilda: 081260767526 (Walhi Eknas) Marthin Hadiwinata: 081286030453 (DPP KNTI) Aliza: 081294189573 (Solidaritas Perempuan) Tubagus: 085693277933 (Walhi Jakarta) Fikerman Saragih: 082365967999 (KIARA)