Penyelesaian konflik, SDA dan lingkungan hidup

Meskipun berbagai ajakan cinta lingkungan menjamur melalui ruang edukasi, namun permasalahan lingkungan belum juga tampak berujung sampai hari ini. Banyaknya ajakan menanam sejuta pohon ternyata tak dapat memulihkan lahan-lahan gambut yang masih terus dirusak dan digantikan oleh sawit. Begitu juga dengan kawasan karst yang terancam pabrik semen, tak akan pulih hanya dengan ajakan untuk membuang sampah pada tempatnya. Beraneka permasalahan serta konflik lingkungan yang terjadi kerap berupa konflik struktural.
Penyelesaian konflik secara struktural diawali dengan memahami bahwa akar utama konflik adalah kebijakan negara.
Kebijakan negara yang melegitimasi perusakan lingkungan, mulai dalam bentuk undang-undang,  peraturan pemerintah (PP), keputusan menteri (Kepmen), peraturan daerah (Perda), sampai surat keputusan gubernur. Sejumlah kebijakan tersebut contohnya melegitimasi perampasan tanah rakyat, penanaman monokultur seperti sawit, dan perizinan-perizinan (konsesi) bagi tambang dan sebagainya.    width= Konflik struktural maka penyelesaiannya pun harus struktural. Ini mengapa kerja-kerja WALHI juga menyasar pada kebijakan negara, berupa advokasi dan keterlibatan secara politik. Tujuannya jelas, agar kebijakan negara berpihak pada masyarakat dan lingkungan hidup. Salah satu contohnya adalah dengan mendorong pergantian Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
UU No. 32 tahun 2009 lebih melindungi lingkungan karena menerapkan prinsip pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan dalam perumusannya.
Selain itu, UU tersebut juga mewajibkan penanggulanan serta penegakkan hukum dengan aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Undang-undang bermasalah lainnya di antaranya undang-undang yang mengatur perkebunan, kehutanan, mineral, pesisir, pertanian, dan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, serta yang sedang dikerjakan dan perlu diperangi adalah rancangan undang-undang kelapa sawit. Dua lingkup kerja dalam penyelesaian konflik struktural adalah penegakan hukum dan pembenahan tata kelola. Penegakan hukum terdiri dari review kebijakan dan pencabutan izin. Dalam kerja, kami menggunakan paradigma ecopopulism yang memandang manusia dan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang sama-sama perlu dipertimbangkan dalam membuat kebijakan. Dengan paradigma ini, konservasi harus berbasis masyarakat sehingga tidak terjadi lagi konservasi yang akan menyisihkan masyarakat yang hidup di dalamnya (RUU Keanekaragaman Hayati).