Praktik Pengelolaan Gambut dengan  Kearifan Lokal di Desa Sungai Enau dan Desa Teluk Bakung[1]

Ekosistem lahan gambut memiliki peran penting dalam keberlanjutan kehidupan makhluk hidup termasuk manusia, flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Selain itu ekosistem lahan gambut mempunyai fungsi krusial karena menyimpan karbon yang jika dirusak akan berpengaruh besar terhadap peningkatan emisi yang akhirnya akan memperburuk kondisi iklim global. Luas gambut di Kalimantan Barat mencapai 1,72 juta Ha atau sekitar 11,8% dari luas wilayah Kalimantan Barat yang mencapai 146.807 km2. Luasan gambut di Kalimantan Barat menyimpan karbon sebesar 3.625,19 juta ton. Untuk menjaga kawasan gambut tersebut peran masyarakat sangat penting, selain karena mereka telah hidup dikawasan tersebut cukup lama, kearifan masyarakat dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menjadi solusi yang bisa didorong sebagai alternatif dalam pengelolaan lahan gambut. Berladang adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat di Kalimantan Barat yang juga merupakan bagian dari indentitas budaya mereka selain tentu saja sebagai upaya untuk mencukupi kebutuhan pangan dan ekonomi keluarga. Kegiatan berladang atau dalam istilah komunitas setempat menyebutnya Bauma Tahutn yang hakikatnya adalah proses pertanian gilir balik. Disebut demikian karena dalam praktiknya kegiatan berladang yang dilakukan komunitas mengikuti siklus rotasi dari pembukaan lahan hingga pemanfaatan kembali lahan setelah dipanen.

Lahan bekas ladang tidak langsung ditinggalkan, tetapi ditanami aneka jenis tanaman sayur dan jenis tanaman keras lainnya seperti karet. Masyarakat di Desa Sungai Enau dan Desa Teluk Bakung dalam melakukan kegiatan perladangan menghindari pembukaan gambut. Umumnya aktifitas berladang dilakukan di areal tanah mineral. Ladang yang dibuka juga dalam skala kecil. Kalaupun dilakukan di kawasan gambut, biasanya pembukaan lahan dilakukan di wilayah bergambut tipis. Ada dua lokasi di kawasan bergambut tipis yang dipilih untuk bercocok tanam, wilayah tersebut berada di dataran rendah yang berair, biasanya digunakan untuk menanam padi. Wilayah ini dalam bahasa lokal dikenal sebagai daerah payak. Sedangkan wilayah di hamparan lahan datar dan berair yang berada di perbukitan atau di daerah pasang surut dikenal dalam bahasa lokal sebagai bancah. Proses berladang masyarakat di dua desa tersebut juga  merupakan upaya mewariskan budaya yang masih ada kepada generasi selanjutnya. Proses ini melalui beberapa tahapan yang semuanya melibatkan komunitas secara gotong-royong. Dari tahapan berladang tersebut dapat ditemukan adanya pengetahuan tradisional, kebersamaan, langkah antisipatif kemungkinan buruk kebakaran lahan dengan kearifan lokal. Untuk memastikan agar tahapan ini berlangsung sebagaimana mestinya, ada seseorang tetua adat yang memiliki peran khusus untuk mengepalai proses perladangan sebagai bagian dari kelembagaan adat yang dikenal sebagai Tuha Tahunt. Tahapan perladangan dimulai dengan musyawarah untuk menentukan lokasi pembukaan ladang. Selanjutnya, tahapan pembukaan ladang dengan cara membakar juga dilakukan dengan sangat hati-hati dan menggunakan petuah leluhur sebagai panduan. Salah satunya adalah menancapkan bambu yang sudah diisi air garam di empat penjuru lahan yang akan dibuka disertai dengan ritual adat. Mereka percaya bahwa api ada rajanya, sehingga untuk mengontrol agar api tidak menyebar kemana-mana maka dilakukan dengan penyampaian doa. Selain itu, bambu yang diisi air garam menjadi simbol bahwa pembukaan lahan dengan cara dibakar harus dengan kehati-hatian dan dibatasi hanya pada wilayah yang ditancapkan bambu di empat penjuru, air garam sebagai simbol pengendali agar api tidak menyebar ke wilayah diluar batas yang ditentukan. Seperti yang telah dipraktikkan oleh masyarakat di Desa Sungai Enau, sebelum melakukan pembakaran, wilayah di sekeliling ladang harus dibersihkan dengan cara membuat sekat pembatas di tepi ladang dengan jarak sekitar satu hingga empat meter agar api tidak menjalar dan memudahkan pengendalian api. Kemudian saat proses pembakaran melibatkan warga lainnya dengan gotong-royong termasuk memberi tahu dan melibatkan pemilik lahan yang berbatasan dengan lahan yang akan dibakar. Tidak hanya itu, disediakan juga sejumlah kelengkapan pemadaman dan pembuatan kolam penampung air, serta memperhatikan kondisi cuaca dan arah angin. Sehinggga peristiwa kebakaran meluas yang bersumber dari kegiatan pengolahan lahan masyarakat hampir tidak pernah terjadi. Kalaupun terjadi, skalanya kecil dan diselesaikan secara adat atau musyawarah mufakat serta  mengganti kerugian. Sedangkan masayarakat di Desa Teluk Bakung, praktik yang sama juga dilakukan oleh mereka, selain menggunakan kelembagaan adat dalam mengatur pembukaan lahan, di Desa Teluk Bakung juga telah dibuat aturan desa tentang pengendalian kebakaran lahan dan hutan, peraturan desa tersebut dituangkan dalam Peraturan Desa No.1 tahun 2003 tentang pengendalian kebakaran lahan dan hutan berbasis desa. Di pasal 8 tentang larangan menyebutkan bahwa pada musim kemarau pembakaran tidak dibenarkan dilakukan pada pada lahan milik orang lain oleh siapapun, pembakaran diperbolehkan dengan skala yang kecil, melibatkan sejumlah orang saat akan melakukan pembakaran dan menyampaikan laporan kepada pihak pemerintah desa hingga RT atau ketua adat. Perdes ini bisa menjadi terobosan dalam pengelolaan gambut secara partisipatif oleh masyarakat. Pemberlakuan kebijakan larangan membakar yang dilakukan tanpa pengecualian dan menempatkan masyarakat masyarakat sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran yang meluas sangat perlu untuk dikoreksi. Usaha untuk melibatkan masyarakat dalam mencegah kebakaran hutan harus dimulai dengan menjadikan praktik kearifan lokal yang sudah dipraktekkan secara turun temurun sebagai model pencegahan kebakaran hutan yang  lebih luas. [1] Disarikan dari Buku Kajian “Kelola Rakyat atas Ekosistem Rawa Gambut: Pelajaran Ragam Potret dan Argumen Tanding” yang diterbitkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tahun 2016.