Putusan PTUN Jakarta Tidak Memberikan Keadilan

[WALHI] Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Menyikapi Putusan PTUN Jakarta Jakarta-Sesudah bersidang lebih dari 8 (delapan) bulan semenjak WALHI memasukan gugatan pada tanggal 28 Februari 2018, hari ini Pengadilan TUN Jakarta memutuskan perkara No 47/G/LH/2018/PTUN-JKT pada tanggal 22 Oktober 2018. WALHI mengajukan gugatan terhadap Menteri ESDM dan PT. Mantimin Coal Mining atas terbitnya Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PT. Mantimin Coal Mining Menjadi Tahap Kegiatan Operasi Produksi di kabupaten Balangan, Tabalong dan Hulu Sungai Tengah, Propinsi Kalimantan Selatan. Majelis Hakim PTUN Jakarta yang terdiri dari Hakim Ketua, Sutiyono, SH, MH. dan Hakim Anggota (1) Joko Setiono, SH, MH dan (2) Dr. Nasrifal, SH. MH, memutuskan gugatan WALHI tidak diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard (NO). Majelis Hakim menilai bahwa PTUN Jakarta tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara ini. Majelis Hakim berargumen bahwa Kontrak Karya terkait dengan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan PT. Mantimin Coal Mining (PT. MCM) berada dalam ranah hukum perdata. Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI, Khalisah Khalid mengatakan, “atas putusan Majelis Hakim ini, WALHI akan melakukan banding. Upaya banding yang akan ditempuh oleh WALHI untuk membuktikan bahwa penilaian PTUN Jakarta terkait dengan kewenangannya tersebut adalah keliru”. “WALHI berpandangan terkait dengan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka menjadi kewenangan bagi PTUN untuk mengadili, memeriksa dan memutuskan perkara ini. Kami juga menyesalkan dasar pertimbangan Majelis Hakim yang meletakkan entitas negara setara dengan entitas korporasi”, tegasnya. Putusan perkara ini copy paste dengan perkara No. 45/G/LH/2018/PTUN-JKT. Dari sini kami melihat Majelis Hakim mengulangi kekeliruan Majelis Hakim pada perkara WALHI Melawan menteri ESDM dan PT. Citra Palu Mineral. “Kami sangat menyesalkan putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta, terlebih setelah melalui proses persidangan lebih dari 8 bulan. Putusan ini menciderai masyarakat Kalimantan Selatan yang mayoritas menolak izin tambang batubara, dan sekaligus menciderai upaya penegakan hukum lingkungan di Indonesia”, tegas Kisworo Dwi Cahyono, Direktur WALHI Kalimantan Selatan. Hal yang sama ditegaskan oleh Ketua Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (GEMBUK), pak Rumli. “Kami sangat kecewa dengan putusan ini dan akan tetap berjuang untuk penyelamatan meratus dengan semboyan rakyat Kalimantan Selatan Waja sampai Kaputing, tetap bersemangat dan kuat bagaikan baja dari awal sampai akhir’. Majelis Hakim mengabaikan fakta persidangan yang telah disampaikan oleh penggugat baik di PTUN maupun pemeriksaan setempat (PS) yang dilaksanakan di desa Nateh Kabupaten Hulu Sungai Tengah Propinsi Kalimantan Selatan. Selama sidang setempat, penggugat dan masyarakat bisa memperlihatkan kondisi lingkungan dan masyarakat yang hidup di daerah yang akan terkena dampak pertambangan. Masyarakat bisa hidup tanpa ada pertambangan dan alam terjaga dengan baik yang terancam apabila dilakukan penambangan batubara. Daerah pertambangan juga bagian dari DAS Batang Alai yang sedang dibangun daerah irigasi batang alai merupakan salah satu proyek nasional ketahanan pangan. Terlebih desa Nateh juga mendapatkan SK Hutan Desa dari Presiden langsung. Izin yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM bertentangan dengan semangat Presiden untuk mengakui dan melindungi pengelolaan hutan oleh masyarakat. Dan kabupaten Hulu Sungai Tengah merupakan benteng terakhir atau rimba terakhir Kalimantan Selatan yang harus diselematkan dari ancaman daya rusak industri tambang batubara. Jika Majelis Hakim sudah menilai mengenai kewenangan absolut, maka seharusnya pengadilan dalam tahap pemeriksaan awal menetapkan bahwa gugatan bukan kewenangan TUN. Proses pembuktian materiil menjadi sia-sia, jika akhirnya Majelis Hakim memutus NO, yang dalam hal ini bertentangan dengan asas peradilan mudah, cepat dan murah. Mengingat semakin massifnya kerusakan ekologis akibat kejahatan korporasi melalui perizinan di satu sisi, dan di sisi yang lain pengadilan umum gagal melihat perkara kejahatan lingkungan sebagai kejahatan luar biasa, maka WALHI mendorong dibentuknya pengadilan lingkungan hidup, yang diharapkan mampu menyelesaikan perkara lingkungan hidup secara berkeadilan, baik bagi rakyat maupun bagi lingkungan hidup. Jakarta, 22 Oktober 2018 Kontak: 1. Kisworo Dwi Cahyono, Direktur WALHI Kalimantan Selatan di 081348551100 2. Dwi Sawung, Pengkampanye Energi dan Urban Eksekutif Nasional WALHI di 08156104606