Rancangan RZWP3K Provinsi Bengkulu tidak partisipatif

Siaran pers WALHI Bengkulu Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah pesisir dan wilayah pantai adalah dua hal yang berbeda, wilayah pantai dimulai dari titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah daratan sampai batas tertinggi pasang, dengan demikian wilayah pantai merupakan bagian dari wilayah pesisir. KKP dalam Visinya Mewujudkan SektorKelautandanPerikananIndonesia yang Mandiri, Maju,Kuat,dan Berbasis Kepentingan Nasional. Dalam misinya KKP berkomitmen menjunjung tinggi Kedaulatan, Keberlanjutan, Kesejahteraan, Menuju Penguatan Masyarakat Adat Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir tunduk pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang menyatakan perlunya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana dan program (KRP) yang dapat menimbulkan dampak/resiko lingkungan hidup. Dalam Pasal 60 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 diatur mengenai hak-hak masyarakat lokal dan pesisir, masyarakat hukum adat, dan nelayan tradisional untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam pembentukan rancangan RZWP3K. WALHI Bengkulu menilai Rancangan RZWP3K Provinsi Bengkulu yang dibuat dengan tidak partisipatif karena hampir tidak melibatkan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat lokal dan pesisir, dan Nelayan tradisional.

 Selanjutnya Rancangan RZWP3K cenderung mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan berdampak pada semakin tingginya tingkat kerusakan lingkungan, sehingga pada akhirnya masyarakat sekitar yang merasakan kerugian akibat dampak kerusakan lingkungan yang ada, dan Resiko bencana. Namun kami cukup mengapresiasi langkah DKP yang tidak memasukkan Zona Pertambangan di Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil “Kami cukup mengapresiasi DKP dan Pemerintah Daerah Provinsi terkait penyelamatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan memastikan di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dengan tidak mengakomodir zona pertambangan kedepan, tapi itu harus dipastikan sampai RZWP3K disahkan, untuk yang sudah terlanjur memiliki izin kami minta kepada Dinas ESDM untuk ditinjau ulang bila perlu dicabut  karena mengancam lingkungan hidup, diantaranya aspek biofisik, sosial, ekonomi, budaya masyarakat, sumber daya laut, kawasan konservasi, dan nelayan tradisional yang akan berakibat pada Menurunnya tingkat pendapatan nelayan” tetapi pada konsultasi public yang dilakukan hari ini (Rabu, 27 Desember 2017).

Kami menemukan ancaman serius bagi keberlangsungan ekologis, masyarakat lokal/pesisir, masyarakat hukum adat, dan nelayan tradisional, seperti : 1.Tidak terintegrasi dengan KLHS dan RTRW Provinsi, Karena Proses Pembahasan RTRW dan KLHS sedang berlangsung, seharusnya RZWP3K harus selaras dan terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis yang di atur dalam UUPPLH. 2. Rancangan RZWP3K Tidak mengakomodir Wilayah Masyarakat Hukum Adat, hal ini sangat kontraproduktif dengan Misi KKP dan amanat UUD 1945, UU Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, UU Perikanan dan UU Kelautan yang menjamin Wilayah Masyarakat Hukum adat dan kearifan lokalnya. 3. Kami mendesak DKP dan Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu untuk menghentikan Pembangunan PLTU di Wilayah Pesisir Kota jika melihat acuannya masih Perda RTRW P yang masih berlaku sekarang, jika nanti RTRW direvisi dan dimungkinkan dibangun PLTU harus melihat KLHS, apakah sesuai atau tidak dengan kondisi wilayah Bengkulu, selain itu dari kondisi kelistrikan provinsi apakah Bengkulu butuh PLTU?, karena dampaknya akan menghancurkan ekologi sekitar, meningkatkan emisi karbon global, PLTU itu berada di kawasan resapan air dan sepadan pantai juga berbatasan langsung dengan Kawasan Taman Wisata Alam Pantai Panjang, perlu juga dipertimbangan dampak sosialnya, Tangkapan ikan Nelayan dan Kesehatan masyarakat sekitarnya, selain itu kami melihat revisi RTRW yang sedang berlangsung tampaknya hanya untuk kepentingan investor dan korporasi, pembangunan yang sangat jauh dari kata keberlanjutan, dan industry-industri kotor lainnya. 4. Disektor pariwisata dalam document draft antara ada kemudahan izin usaha bagi korporasi di kawasan pariwisata yang tidak menggunakan instrumen AMDAL, RKL, dan RPL, kami meminta DKP  Pemerintah untuk lebih ketat dengan menerapkan instrument-instrument lingkungan hidup bagi investor yang akan masuk disektor pariwisata, karena akan berdampak buruk bagi ekosistem, nelayan, masyarakat pesisir dan lokal dan bagian yang menyertainya pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. 5. Rancangan RZWP3K tidak partisipatif karena hampir tidak ada masyarakat lokal dan pesisir, masyarakat hukum adat dan Nelayan tradisional yang terlibat didalamnya, hal ini tentu bertentangan dengan amanat UU NO. 27/2009 Junto UU NO.1/2014 tentang perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pada konsultasi Publik yang diselenggarakan DKP hari ini terkesan Formalitas belaka, kami meminta ini untuk ditinjau ulang dan Memastikan keterlibatan Masyarakat Pesisir, Lokal, dan Masyarakat Hukum Adat dan Nelayan Tradisional dalam RZWP3K, karena peserta seolah olah harus setuju dengan Rencana yang dibuat, ini konsultasi macam apa ?, padahal yang sedang dibicarakan ini nasib nelayan tradisional, masyarakat pesisirdan lokal  dan penyelamatan lingkungan hidup 20 tahun kedepan 6. DKP dan Pemerintah juga harus memastikan Kawasan Ekosistem essensial mangrove masuk dalam rencana Zonasi 7. DKP dan Pemerintah juga harus memastikan Wilayah Kelola Nelayan tidak terganggu akibat Jalur Pelayaran Internasional, Nasional dan Regional. 8. Selanjutnya di dalam RZWP3K dalam aspek aspek teknisnya juga harus memperhatikan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. 9. Selanjutnya DKP dalam Rancangan RZWP3K memperbolehkan Penggunaan Trawl dan yang sangat mengerikan penggunaan tersebut diperbolehkan di Zona Pariwisata baik wisata alam pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil, wisata alam bawah laut, wisata alam bentang laut dan zona perikanan berkelanjutan kami mendesak DKP dan Pemerintah dalam RZWP3K mengahapus penggunaan trawl tersebut sesuai dengan perintah UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Permen No. 2 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Kan penggunaan trawl ini seharusnya sudah habis secara bertahap sejak dikeluarkannya Keppres No.39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Trawl, kok masih DKP Perbolehkan. Narahubung Teo Reffelsen (085273111161) (Manager Analisis Kebijakan Publik dan Hukum Lingkungan, Eksekutif Daerah WALHI Bengkulu). Ony Mahardika (082244220111) (Manager Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Eksekutif Nasional WALHI).