Rezim Jokowi Harus Akhiri Defisit Anggaran dan Utang

Pernyataan Pers Bersama Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur (Jakarta, 26/02) Mengutip dari realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pada Januari 2018 total pengeluaran yang digunakan untuk membayar bunga utang senilai Rp 23,17 triliun. Jumlah itu setara dengan 9,7% dari total bunga utang yang akan dibayarkan pada tahun ini, yang jumlahnya Rp 238,6 triliun.[1] Ketergantungan terhadap utang memang merupakan masalah yang besar bagi bangsa ini, sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi saat ini. Ketergantungan terhadap utang semakin pelik pasca runtuhnya rezim Orde Baru, akibat bimbingan IMF dan Bank Dunia kepada pemerintah untuk melakukan perombakan besar-besaran dalam pengelolaan negara. Alhasil pada tahun 2001, pemerintah mengadopsi standar International Government Finance Statistics (GFS) dalam penyajian APBN. Penandanya adalah diterapkannya kebijakan anggaran defisit, yang merupakan sebuah kebijakan yang menghendaki posisi pengeluaran negara lebih besar dari pada posisi penerimaan negara dalam satu tahun anggaran. Karena pengeluaran lebih besar dari penerimaan maka anggaran negara mengalami defisit (kekurangan). Selanjutnya, defisit ditutupi dengan mengajukan utang ke negara donor atau menerbitkan obligasi. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setiap tahunnya Pemerintah dan DPR RI menetapkan defisit dalam APBN tidak lebih dari 3 persen, sementara rasio utang pemerintah dibatasi pada level 60 persen terhadap PDB. Kedua indikator inilah yang selalu dijadikan klaim pemerintah bahwa keuangan negara masih dianggap aman dan terkendali walaupun tumpukan utang negara untuk menutupi defisit setiap tahunnya semakin meningkat dan mengkhawatirkan. Sejak penerapan anggaran defisit, utang merupakan kata kunci dalam pengelolaan APBN. Utang sebagai sumber pembiayaan menutup defisit dijadikan faktor penentu bagi keberlanjutan fiskal, yakni keberlanjutan atas penerimaan dan pengeluaran pemerintah, baik pada sisi rencana maupun realisasi. Maka keberlanjutan fiskal sangat bergantung pada kemampuan pengelolaan utang pemerintah. Namun kondisi ini sangat rentan bagi keuangan negara, dan jelas akan menyengsarakan warga negara. Pada kenyataannya kemampuan pengelolaan utang pemerintah terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ini diindikasikan dengan meningkatnya Debt Service Ratio (DSR)[2] dan membengkaknya defisit keseimbangan primer.

Dengan kata lain, kemampuan penerimaan ekspor untuk membayar utang luar negeri semakin lama semakin berkurang. Sementara membengkaknya defisit keseimbangan primer menginsyaratkan bahwa APBN telah kehilangan kemampuannya untuk membayar bunga utang dari hasil penerimaan negara. Pemerintah dipaksa mencari utang baru hanya untuk membayar bunga utang lama. Situasi ini membuat utang Indonesia terus membengkak dan semakin sulit keluar dari jeratannya. Peningkatan utang untuk menutupi defisit anggaran terjadi sangat signifikan. Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 352,2 miliar atau sekitar Rp 4.773 triliun per akhir Desember 2017. Jumlah tersebut naik 10,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Kontribusi terbesar dari utang luar negeri ini berasal dari utang luar negeri pemerintah. Pertumbuhan utang luar negeri pemerintah tercatat terus meningkat dalam empat tahun belakangan. Pertumbuhannya mencapai 5% pada 2014, lalu naik menjadi 9,9% pada 2015, naik lagi menjadi 10,9% di 2016, dan terakhir naik 14,1% pada 2017 menjadi US$ 180,6 miliar. Sementara utang luar negeri swasta naik turun selama empat tahun belakangan. Sempat tumbuh 14,75% pada 2014, lalu melambat menjadi hanya 2,8% pada 2015, lalu turun pada 2016 dan terakhir naik 6,1% pada 2017 menjadi US$ 171,6 miliar. Maka utang luar negeri masih didominasi utang luar negeri pemerintah sebesar 51,3% dan sisanya 48,7% merupakan milik swasta. Menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, beberapa utang jatuh tempo dalam periode 2018 dan 2019. Pada 2018, utang jatuh tempo mencapai Rp 390 triliun dan pada tahun 2019 sekitar Rp 420 triliun. Jumlah sebesar Rp 810 triliun ini merupakan yang tertinggi jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Maka tidak aneh jika sebagian besar belanja awal tahun dari APBN 2018 digunakan untuk bayar bunga utang. Untuk mengatasi defisit keseimbangan primer yang terus meningkat, pemerintah hanya memiliki dua opsi, yaitu meningkatkan penerimaan atau memangkas belanja. Namun peningkatan penerimaan jelas sangatlah sulit apalagi jika mengingat prinsip defisit anggaran adalah mematok penerimaan yang lebih rendah daripada anggaran belanja. Sementara di sisi lain, ambisi pemerintah terhadap berbagai pembangunan infrastruktur yang menyedot anggaran juga tidak bisa dibendung. Alokasi anggaran yang berasal dari pencabutan subsidi BBM dan pemangkasan berbagai anggaran belanja sosial yang dirasakan langsung oleh warga negara pada kenyatannya langsung terserap pada pembiayaan proyek pembangunan infrastruktur.

Dengan kata lain, subsidi yang semestinya untuk rakyat terampas secara langsung oleh perencanaan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur yang pada umumnya justru melanggar hak-hak rakyat dan hanya melayani kepentingan korporasi. Defisit dan utang yang menggerogoti APBN seharusnya diakhiri oleh pemerintahan Joko Widodo. Pemerintahan Jokowi harus berani membuat terobosan dalam pengelolaan anggaran negara dengan menerapkan kebijakan anggaran surplus, dimana belanja ditekan sedemikian rupa hingga mencapai angka di bawah penerimaan. Selain itu, pembiayaan proyek pembangunan infrastruktur yang membebani porsi APBN juga harus dikurangi. Hal ini sebenarnya telah dicantumkan dalam amanat Nawacita untuk membangun kemandirian. Dalam konteks negosiasi utang, Pemerintah seharusnya memiliki keberanian untuk merenegosiasi utang (terutama) yang telah terbukti berdampak buruk terhadap lingkungan (utang ekologis), bertentangan dengan konstitusi, dan utang yang dibuat untuk memperkaya diri/rezim. Contohnya, WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) yang didanai Bank Dunia (WB) dan ICWRMIP (Integrated Citarum Water Resources Management Program) yang didanai oleh Bank Pembangunan Asia (ADB). Defisit dan utang tidak akan pernah membawa bangsa ini mencapai kemandirian. Maka kewajiban utama Jokowi untuk mengakhiri defisit termasuk didalamnya mendorong alternatif renegosiasi utang dalam kebijakan fiskal Indonesia. Keengganan memperbaiki sistem keuangan Negara adalah pengingkaran terhadap Nawacita.

Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur WALHI – ELSAM – debtWATCH – INDIES – WALHI Sulawesi Selatan – ILRC – WALHI Jawa Barat - TUK Indonesia Nara Hubung: Andi Muttaqien  08121996984 (ELSAM) Edo Rakhman  081356208763 (WALHI) Diana Gultom              08159202737 (debtWATCH) Kurniawan Sabar  08112011868 (INDIES)