Sawit dan Mitos Ekonominya Pernyataan dan Pandangan atas Kampanye Partai Solidaritas Indonesia yang Mendukung Sawit

Jakarta -Video singkat tentang sawit yang bertajuk Gadget Murah karena Sawit, yang berisi dukungan terhadap sawit dengan argumentasi untuk menstabilkan rupiah. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai organisasi lingkungan hidup yang selama berpuluh tahun telah melakukan advokasi atas fakta buruk perkebunan sawit di Indonesia yang berdampak buruk bagi lingkungan hidup dan keselamatan rakyat. Kami merasa perlu menyampaikan kritik dan pandangan kami, agar tidak terjadi pengaburan fakta kepada publik, khususnya kaum muda, atas fakta buram perkebunan sawit di Indonesia dan berbagai negara lain di dunia. Baik dalam video Gadget Murah Karena Sawit maupun dalam klarifikasi penjelasan yang disampaikan oleh PSI, kami menilai bahwa Sis Bro pengurus PSI gagal paham terhadap persoalan mendasar sawit di Indonesia dan bahkan dalam konteks global, dan semakin nggak nyambung jika dihubungkan dengan tujuan video ini, agar rupiah stabil. Pernyataan ini ingin menegaskan bahwa sawit sebagai penopang ekonomi bangsa Indonesia adalah sebuah mitos, termasuk adanya sawit putih. Bagi kami, tidak ada sawit “putih” atau berkelanjutan, karena karakter komoditas ini adalah monokultur dan sudah dipastikan menghancurkan hutan dengan keragaman biodiversity di dalamnya dengan segala fungsinya baik secara ekologis, sosial budaya dan ekonomi, mencemari lingkungan hidup. Pernyataan Partai Solidaritas Indonesia terkait sumbangsih ekonomi korporasi sawit, didasarkan pada argumentasi yang parsial dan sempit. Kami memberikan beberapa catatan atau kritik penting terhadap kampanye sawit dalam video singkat tersebut dan penjelasan atau klarifikasi dari PSI, antara lain sebagai berikut: Dari Sisi Ekonomi (1) Klaim bahwa sektor kelapa sawit memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional (dengan nilai ekspor mencapai 15% dari total ekspor Indonesia- BPS 2017). Tetapi, menggunakan angka tersebut sebagai dasar tunggal kebijakan sangatlah tidak tepat dan klaim devisa juga tidak tepat karena sebagian besar devisa hasil ekspor justru disimpan di negara suaka pajak (tax haven countries). Sementara perkebunan kelapa sawit juga berdampak negatif besar pada hak-hak dasar dan kelangsungan hidup rakyat, masyarakat adat/masyarakat lokal, perempuan, petani, buruh dan lingkungan hidup. (2) Dari sisi penerimaan pajak justru menunjukkan fakta sebaliknya. Pada tahun 2015, tercatat tingkat kepatuhan perusahaan hanya 46,34%. Negara kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar 18 triliun rupiah setiap tahunnya dari ketidakpatuhan tersebut. (laporan KPK-2016). Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi.), dalam pemberitaan berbagai Media pada periode maret 2018,  bahkan KPK menyampaikan menemukan sekitar 63.000 Wajib Pajak di sektor industri sawit bermasalah, terkait dengan dugaan penghindaran setoran pajak dan pemungutan yang tak optimal dari Direktorat Jenderal Pajak. (3) Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyatakan bahwa kerugian atau biaya lingkungan hidup yang diakibatkan oleh industri ekstraktive adalah sebagai kerugian negara. Pernyataan KPK ini menunjukkan sebuah kesadaran bahwa selama ini memang biaya lingkungan hidup akibat praktik buruk korporasi dibebankan kepada negara dan rakyat. Kerugian negara dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahu 2015 yang mencapai 200 trilyun menunjukkan bahwa investasi berbasis lahan seperti sawit, justru merugikan keuangan negara. Terlebih kita tahu, kuatnya dugaan korupsi di sektor perkebunan sawit. Itu mengapa KPK membentuk korsup sawit, selain korsup minerba. (4) Bahkan pengelolaan dana perkebunan sawit justru juga kembali pada korporasi, Kebijakan pengelolaan dana perkebunan sawit yang seharusnya digunakan untuk pengembangan perkebunan sawit terutama perkebunan sawit rakyat, malah dialihkan dan sebagian besar untuk kepentingan pengembangan industri biodiesel berupa program subsidi kepada perusahaan biodiesel , seperti yang diperoleh lima perusahaan sawit berskala besar pada 2017 lalu, yakni Wilmar Group, Musim Mas Group, Darmex Agro Group, First Resources dan Louis Dreyfus Company (LDC) . ( laporan KPK -Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi). Artinya tetes-tetes keuntungan perkebunan sawit sesungguhnya hanya mengalir untuk korporasi, tidak pernah mengalir kepada rakyat, termasuk buruh di perkebunan sawit. Faktanya, sistem perburuhan di perkebunan sawit tak ubahnya perbudakan modern, bahkan dengan mengeksploitasi anak untuk melanggengkan tetes profit perusahaan sawit. Usulan PSI untuk menghapus pungutan sawit juga keliru. Ini membuat pengusaha sawit diuntungkan dua kali, dari nilai kurs yang meningkat dan pembebasan dari kewajiban membayar pungutan sawit. Dampak Lingkungan Hidup (1) masih segar ingatan kita pada Agustus 2018 lalu, saat kebakaran hutan meningkat kembali, khususnya pada wilayah Sumatera dan kalimantan, bahkan Kalimantan Barat, pada Kota Pontianak sampai meliburkan semua anak sekolah karena dampak asap yang semakin tinggi. Faktanya di Kalimantan barat sebagai wilayah titik api tertinggi hingga Agustus 2018 terdapat 102 titik api di konsesi perkebunan kelapa sawit, (Laporan WALHI Kalimantan barat berSumber: Hotspot NASA (firms.modaps.eosdis.nasa.gov), serta kebakaran hebat yang terjadi tahun 2015, yang telah mengakibatkan kematian pada balita dan anak. *Dari olahan data WALHI dari berbagai sumber, diketahui bahwa 4.389.757 hektar ekosistem gambut secara langsung dirusak oleh sebanyak 291perusahaan, yang terdiri dari 193 perusahaan sawit (2) Dari data pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunanan/Pertanian melalui mekanisme permohonan langsung badan Usaha, hingga tahun 2016 KLHK telah mencapai 6.772.633  Hektar terhadap 702 Perusahaan Perkebunan didominasi oleh sawit, (3) Celah kebijakan dalam banyak laporan eksekutif daerah WALHI juga banyak menemukan Kelompok Pengusaha Kelapa Sawit yang beroperasi dalam kawasan hutan, dengan memanfaatkan celah pada kebijakan TORA dan regulasi Perpres 88 Tahun 2017, dengan memanfaatan pekebun fiktif sebagai pemilik perkebunan kelapa sawit. Kebijakan TORA dari kawasan hutan masih mengatasnamakan rakyat untuk melindungi kepentingan perkebunan kelapa sawit; korporasi sawit juga kerap memanfaatkan celah dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang-Undang 18 Tahun 2013 untuk menancapkan laju pelepasan kawasan hutan dan penerbitan izin. Tercatat hingga saat ini 859 korporasi perusahaan sawit beroperasi dalam kawasan hutan. Faktanya, justru banyak kebijakan yang menyediakan ruang bagi korporasi, belum termasuk berbagai keistimewaan yang sedang disusun dalam RUU Perkelapasawitan (4) Jika PSI mengatakan bahwa ini hanya kebijakan sementara, kami mempertanyakan apa yang dmaksud dengan kebijakan sementara? Jika kampanyenya justru melanggengkan praktik pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup, serta pengrusakan hutan, pemusnahan satwa dan tumbuhan endemik, yang sesungguhnya menjadi kekayaan nusantara yang seharusnya dijaga. Pada akhirnya, PSI mengabaikan fakta kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang telah dilakukan oleh perkebunan sawit seabad lamanya. Ada luka yang tidak pernah disembuhkan dari praktik perampasan tanah, pelanggaran ham, pencemaran lingkungan dan penghancuran hutan, yang dialami oleh masyarakat adat/masyarakat lokal, petani, perempuan dan anak-anak. Sebagai partai politik baru, harusnya PSI ini muncul dengan gagasan baru yang membawa harapan bagi keselamatan masa depan bumi dan kemanusiaan yang lebih baik, demi generasi yang akan datang. Bukan justru menggadang-gadang model ekonomi yang usang dan rapuh seperti sawit. terlebih dengan pendekatan yang tidak kalah jadulnya, yakni sumber daya alam untuk ekspor sebesar-besarnya, sementara untuk kebutuhan dalam negeri justru impor. Ini adalah paradigma lama pembangunan yang sudah waktunya ditinggalkan, jika tidak mau ekonomi Indonesia semakin menuju kebangkrutan. Yang seharusnya didorong dan disuarakan adalah kebijakan korektif untuk membenahi tata kelola sumber daya alam kita. Namun pembenahan tata kelola mustahil terjadi jika tidak diawali dengan moratorium sawit, yang sekarang draft kebijakannya sudah ada di meja Presiden. Moratorium sawit pun harus dibarengi dengan audit lingkungan, review perizinan dan bahkan pencabutan izin bagi perusahaan-perusahaan sawit yang melanggar hukum dan perundang-undangan. (selesai) Jakarta, 16 September 2018 Salam Adil dan Lestari Nara hubung: Wahyu +62 82112395919