“ polemik sampah dan incenerator “

Diskusi reguler yang dilakukan perdana di tahun 2017 bertemakan polemik sampah dan incenerator, dimana campanye energi dan urban WALHI menjelaskaan kenapa WALHI menolak incenerator dan bagaimana WALHI meramu isu ini sehingga bisa menyasar kerusakan yang terjadi dari hulu sampai hilir. Undang-undang no 18 tahun 2008 tentang persampahan memuat paradigma baru dalam mengelola sampah. Sebelum ada undang-undang ini pengelolaan sampah paradigma pengelolan sampah menganut paham sentralisasi. Sampah dikumpulkan dan dibuang kesatu lokasi, lokasi tersebut disebut Tempat Pembuangan Ahir. UU 18/2008 mengganti paradigma pengelolaan sampah dari sentralisai menjadi desentralisasi, proses penanganan sampah dititik beratkan dihilir ditingkat paling dekat dengan penghasil timbulan sampah, TPA bukan lagi tempat pembuangan akhir tapi menjadi Tempat  Pemrosesan Akhir. Delapan tahun sesudah undang-undang tersebut praktek sentralisasi masih belum berubah, pengolaan sampah dikota/kabupaten masih sentralisasi.

Praktek TPA berupa pengelolaan akhir belum terjadi kondisi tpa sebagian besar masih open dumping padahal undang mengamanatkan praktek open dumping harus sudah selesai tidak ada lagi pada tahun 2013 ternyata masih banyak terdapat tpa yang berupa open dumping. Pemerintah pusat yang mestinya medorong pegelolaan sampah terdesentralisasi malah mengeluarkan prepres 18 tahun 2016 tentang percepatan pembangunan PLTSa di tujuh kota. PLTSa mengindikasikan pemerintah pusat mengutamakan penangan sampah diakhir dan sentralisasi, upaya untuk mengurangi timbulan sampah dan pengelolaan sampah secara desentralisasi dikota-kota tersebut malah tidak mengalami percepatan. Sampah di indonesia pada dasarnya bisa dikelola dengan mudah dan murah jika dikerjakan dengan tepat karena sampah indonesia sebagian besar sampah yang mudah terurai menjadi tanah atau kompos dan sampah didaur ulang kembali. Sampah indonesia mengandung kadar air yang tinggi, jika sampah tersebut dibakar dengan menggunakan  incenerator maka sebernanya hanya memanaskan air.

Pengoperasian incinerator ini memakan biaya yang sangat mahal sekali, biaya paling mahal digunakan untuk mengontrol polusi udara dari pembakarang sampah. Pengelolan zat pencemar diudara ini sulit sekali diketahui oleh masyarakat luas karena sifat dari polutan ini ada yang tidak berwarna dan berbau, berbeda dengan polusi dibadan air yang kebanyakan bisa diketahui dengan mudah. Bahan paling berbahaya yang dihasilkan oleh pembakaran sampah rumah tangga itu adalah dioxin, dioxin itu akan memicu timbulnya kanker. Sampah organik yang mendominasi sampah kita sangat mudah dikelola apabila dipisah, pemerintah harusnya berupaya mengelola sampah yang  dominan dan mudah terlebih dahulu. Sampah yang tidak mudah terurai dan tidak bisa didaur ulang dikembalikan kembali ke produsennya melalui kewajiban EPR(extended produsen responsibility) yang akan mendorong produsen mengganti kemasannnya ke kemasan yang mudah terurai atau bisa didaur ulang.

Pengelolan sampah secara desentralisasi  menuntut adanya perubahan gaya hidup. Gaya hidup yang tadinya membuang sampah pada satu tempat atau dimana saja berganti menjadi membuang sampah secara terpisah-pisah sesuai kelompoknya. Perubahan gaya hidup juga dengan hanya membeli sesuatu dengan hati-hati, memikirkan apakah nantinya produk tersebut hanya berakhir di tpa atau memiliki siklus hidup yang panjang. Bahan organik sisa makanan yang mendominasi sampah bisa dikurangi dengan cara membeli bahan makanan sesuai kebutuhan dan membiasakan tidak menyisakan makanan. Sesuatu hal yang sebenarnya serdehana tetapi menuntut perubahan perlaku hidup. Perubahan prilaku sebenarnya sudah dimulai oleh masyarakat umum dengan dorongan sendiri bukan melalui upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Sudah umum saat ini kaum muda membawa tumblr/botol minumnya sendiri atau membawa kantung belanja sendiri. Satu hal yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah adala memaksa tanggung jawab produsen. Produsen bertanggung jawab atas kemasan yang digunakan untuk mengemas produk mereka. Selama ini pemerintah yang menanggung pengelolaan sampah yang dihasilkan oleh produsen tersebut.  Dengan adanya EPR tersebut produsen dipaksa akan membuat kemasan produk yang ramah lingkungan atau yang daur hidupnya bisa sangat panjang.