Temu perempuan pejuang lingkungan hidup Walhi

21 – 22 Maret 2019 Sejak pagi hingga sore tadi, gedung YTKI  di jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan diramaikan oleh peserta temu nasional perempuan Walhi. Para peserta tersebut juga mengikuti rangkaian rapat akabar yang akan digelar pada tanggal 23 Maret 2019 di stadion Gelora Bung Karno Jakarta. Ada 66 peserta perempuan yang hadir dalam kegiatan tersebut yakni, 16 perempuan dari  organisasi  komunitas, 17  perempuan perwakilan Eksekutif Daerah  seperti  Sumatera Utara, Sumatera Barat , Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jambi,  Bengkulu, Aceh, RiauSulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan 33 peserta yang hadir dari perwakilan anggota individu Walhi serta organisasi yang diundang oleh Walhi untuk terlibat dalam proses kegiatan. Kegitan ini juga dibuka langsung oleh Dewan Nasional Walhi Risma Umar yang mengatakan kegiatan ini dilaksnakan dalam rangka memperkuat kerja-kerja keadilan gender dan ekologis. Dia juga menambahkan, kegiatan ini diharapkan menjadi sebuah momentum dan wadah untuk merumuskan agenda politk perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan hidup serta sekaligus mengkonsolidasikan aktivis Walhi yang selama ini bekerja mendorong keadilan gender dalam perjuangan Walhi bersama dengan komunitas pejuang lingkungan hidup.

Pada sesi pertama, peserta diajak untuk menonton film dokumenter yang diproduksi bersama oleh Eksekutif Daerah Walhi yang khusus menampilkan perempuan pejuang komunitas. Disamping itu, perempuan perwakilan komunitas juga berbagi pengalaman selama berjuang mempertahankan wilayah yang merek kelola. Meskipun berbeda-beda kasus yang dipaparkan, ada kesamaan diantara peserta dalam menyampaikan masalah, perempuan adalah lapisan paling terakhir dalam menjaga reproduksi rumah tangganya meskipun mereka hanya menjadi buruh tani dan pekerja yang tidak menentu di pedesaan. Daya tahan tersebutlah yang menginspirasi mereka untuk saling menguatkan dalam berjuang.

Meskipun demikian, ada tantangan lain dari perempuan pejuangdi komunitasnya yang sudah mendapatkan akses atau ijin legal dari negara seperti program perhutanansosial–tantangannya ada pada faktor penguasaan teknologi dan pengetahuan serta bagaimana cara meningkatkan pendapatan ekonomi.Sesi kedua, peserta diajak fasilitator untuk lebih intensif menjabarkan masalah-masalah apa yang dihadapi, dampak, serta upaya-upaya apa yang telah dilakukan perempuan dalam mempertahankan wilayah kelolanya sampai dengan saat ini? Peserta dibagi berdasarkan pulau untuk memudahkan pengelompokan masalah karena dianggap pendekatan itu paling tepat dibanding pembagian dilakukan berdasarkan provinsi.

Satu kecenderungan umum yang menonjol saat pemaparan masalah-masalah tersebut adalah saat penetrasi “kapital” dalam proyek infrastruktur, perkebunan skala besar seperti sawit dan karet, dan tambang masuk ke wilayah-wilayah komunitas adat dan “petani” membuat wilayah yang sudah mereka kelola sejak lama dikuasai oleh korporasi. Akibatnya, konflik struktural tak terhindarkan antara negara dan komunitas. Implikasinya tidak hanya konflik vertikal, tapi konflik horizontal antar sesama komunitas. Tidak hanya itu, proses-proses sosial tersebut juga menimbulkan dampak kriminalisasi, intimidasi, pencemaran lingkungan, banjir bandang, hilangnya mata pencaharian, dan perubahan pola produksi serta konsumsi. Sampai dengan saat ini, perjuangan perempuan yang menjadi pemimpin di komunitasnya belum berhenti, bersama dengan Walhi dan organisasi masyarakat sipil lainnya mereka masih melakukan upaya aksi-aksi rutin, advokasi kebijakan dan anggaran, membuat petisi on line maupun konvensional, serta melakukan pendidikan untuk penguatan di basis-basis komunitas dalam rangka alternative atas pemenuhan kebutuhan ekonomi. Jakarta, 21 Maret 2019