Usulan Baku Mutu Emisi oleh ESDM Dinilai Tidak Layak

 width=

Jakarta, 22 Februari 2018. Para pakar dan kalangan masyarakat sipil melancarkan kritik keras terhadap usulan Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) terkait Baku Mutu Emisi (BME) PLTU batubara yang dimuat dalam versi mutakhir rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) 21/2008 yang mengatur BME di Indonesia. Nilai baku mutu yang diusulkan oleh Kementerian ESDM lebih rendah daripada nilai yang terdapat pada rancangan sebelumnya. Terlebih lagi, usulan BME “versi ESDM” menghilangkan salah satu kategori yang berpotensi dapat mengendalikan beban emisi yang berasal dari PLTU batubara yang akan beroperasi di masa depan. “Kami menilai pihak ESDM tidak menganggap serius masalah pencemaran udara dari emisi PLTU batubara dan memilih untuk melindungi pihak pembangkit, mengabaikan keselamatan dan kesehatan masyarakat,” ujar Dwi Sawung, Manajer Kampanye Urban dan Energi dari WALHI Nasional. “Emisi dari PLTU batubara telah terbukti mengandung berbagai macam polutan yang membahayakan kesehatan manusia, tidak hanya bagi penduduk yang bermukim di sekitar pembangkit, tetapi polutan berbahaya ini juga akan terbawa angin sejauh ratusan kilometer dan berdampak pada masyarakat yang lebih luas,” ujar Adila Isfandiari, peneliti dari Greenpeace Indonesia. Indonesia sedang melakukan ekspansi PLTU batubara secara besar-besaran di bawah proyek 35.000 MW yang dapat berujung pada melonjaknya emisi gas-gas berbahaya, seperti SO2 dan NOx, polutan partikulat kecil seperti PM2,5 bahkan merkuri. Hal ini akan membawa dampak kesehatan yang signifikan di kota-kota dan pemukiman yang dikelilingi PLTU batubara, umumnya di Jawa, Bali, dan Sumatera. Berdasarkan kajian Greenpeace Indonesia, Jakarta merupakan satu-satunya ibu kota di dunia yang akan dikelilingi oleh PLTU batubara terbanyak dalam radius 100 kilometer. Kini Jakarta dikepung oleh delapan PLTU batubara, dan angka ini akan melonjak menjadi 12 dalam tujuh tahun ke depan. “Nilai BME yang terdapat dalam Permen LH ini diharapkan dapat mengantisipasi lonjakan peningkatan beban emisi sehingga kategorisasi pengetatan nilai emisi harus didasarkan analisis armada, dan harus memberlakukan nilai BME terketat terhadap pembangkit yang belum beroperasi,” ujar Margaretha Quina dari Indonesian Centre for Environmental Law. Usulan Kementerian ESDM ini terungkap pada sesi konsultasi publik dengan masyarakat sipil pada tanggal 15 Februari 2018 silam. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa nilai baku mutu emisi baru digodok berdasarkan hasil konsultasi dengan sektor (pembangkit) serta Kementerian ESDM. Sikap Kementerian ESDM ini bertolak belakang dengan sikap Menteri ESDM Ignasius Jonan yang telah mengakui adanya permasalahan pencemaran udara dari PLTU batubara, khususnya di Jawa-Bali. Pada bulan November 2017, Menteri ESDM bahkan berjanji menghentikan pembangunan PLTU batubara demi menjaga ambang batas pencemaran udara[1]. Catatan redaksi: Rancangan BME pembangkit batubara dalam rancangan Permen LH 21/2008

  Operasi sebelum 1 Desember 2008 (Kategori 1)   Perencanaan atau operasi setelah 1 Januari 2009 s.d 31 Desember 2020 (Kategori 2) Operasi setelah 1 Januari 2021 (Kategori 3)
SO2 (mg/Nm3) 550 400 100
NO2 (mg/Nm3) 550 300 100
PM (mg/Nm3) 75 50 30
Hg (μg/Nm3) 30 30 30

Sumber: KLHK dari siaran pers Walhi (2018) Rancangan BME PLTU batubara berdasarkan usulan Kementerian ESDM

  Perencanaan dan/atau operasi sebelum Permen ini ditetapkan   Perencanaan dan/atau operasi sesudah Permen ini ditetapkan
SO2 (mg/Nm3) 550 200
NO2 (mg/Nm3) 550 200
PM (mg/Nm3) 100 75
Hg (μg/Nm3) 30 30

Narahubung: Greenpeace Indonesia       : Adila Isfandiari (+62-811-155-760) WALHI                                          : Dwi Sawung (+62-815-610-4606) ICEL         : Margaretha Quinna (+62-812-8799-1747) [1]http://industri.bisnis.com/read/20171107/44/706792/polusi-udara-2018-tak-ada-proyek-pltu-baru-di-jawa