Waktunya Menggugat Kewajiban Korporasi terhadap Hak Asasi Manusia

Siaran Pers Bersama Indonesia Focal Point for Legally Binding Treaty Initiative dalam merespon IGWG Sessi-2 di Jenewa Jakarta-Setelah menunggu kurang lebih 50 tahun, akhirnya agenda treaty binding untuk korporasi dalam bisnis dan hak asasi manusia menjadi agenda yang telah ditetapkan oleh UN.  United Nation Human Rights Council telah mensahkan Resolusi UNHRC 26/9 tentang Legally Binding Instrument on TNCs. Sebelumnya, UN berpedoman pada prinsip Ruggie yang dijadikan sebagai panduan bagi tanggungjawab korporasi untuk menghormati hak asasi manusia. Sayangnya, Panduan Ruggie masih bersifat voluntary bagi korporasi, bukan kewajiban. “Resolusi 26/9 muncul akibat kekecewaan atas lemahnya penegakan perlindungan HAM akibat Penerapan Prinsip-prinsip Bisnis dan HAM yang sifatnya hanya sukarela (Voluntary) sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan sanksi yang tegas bagi yang tidak menjalankan, serta juga tidak memuat mekanisme remedi yang efektif bagi masyarakat korban. UN The Guiding Principles ini dianggap tumpul dalam penegakan hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM oleh korporasi. Lemahnya mekanisme remedy dalam meminta pertanggungjawaban korporasi pada akhirnya kembali mendesak UNHRC agar membuat sebuah instrument hukum yang mengikat, karena selama ini pengadopsian prinsip-prinsip Bisnis dan HAM penerapannya hanya bersifat sukarela sehingga sulit untuk meminta pertanggung jawaban korporasi”, tegas Gunawan dari IHCS. Tanggal 24-28 Oktober 2016 merupakan sidang ke-2 dari Inter-Governmental Working Group (IGWG) di Jenewa-Swiss, untuk merumuskan aturan-aturan legally bindinguntuk TNC atau bisnis lainnya. Bagi organisasi masyarakat sipil yang keras menyuarakan kejahatan korporasi dan tanggungjawab korporasi, intervensi di IGWG-2 ini menjadi penting. 

Beberapa lembaga yang tergabung dalam koalisi Indonesia Focal Point for Legally Binding Treaty Initiative juga akan hadir dan membawa kepentingan nasional dalam proses selama di IGWG, baik di dalam maupun di luar forum. Rachmi Hertanti, Direktur IGJ menyatakan “bahwa sidang ke-2 IGWG penting untuk diintervensi oleh CSO Indonesia, karena kami ingin memastikan point-point penting dalam perumusan aturan legally binding untuk mengatur tanggung jawab negara untuk melindungi hak asasi manusia dari dampak investasi, mendorong adanya perlindungan bagi pembela HAM, serta memastikan adanya mekanisme publik yang dapat meminta pertanggungjawaban terhadap negara”, jelasnya. Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI mengatakan bahwa “selama ini dalam prakteknya, industri pertambangan, perkebunan dan pembangunan infrastruktur skala mencemari tanah dan air yang menjadi kebutuhan sehari-hari rakyat, merampas tanah dan air, serta merampas sumber-sumber kehidupan rakyat.  Korporasi menggunakan pendekatan militeristik dan keamanan dalam menghadapi rakyat yang memperjuangkan hak-haknya. Kejahatan korporasi di sektor kehutanan dan perkebunan, pertambangan, proyek reklamasi, dan berbagai proyek pembangunan, bahkan yang mengatasnamakan lingkungan hidup (komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam) menjadi isu-isu yang dimasukkan dalam writen submission dan dalam berbagai forum selama di sana. Sehingga menurut kami, kini waktunya korporasi wajib tunduk pada instrumen hak asasi manusia”. Mengingat tindakan kekerasan, kriminalisasi terhadap pembela lingkungan dan hak asasi manusia semakin meningkat seiring dengan massifnya laju eksploitasi sumber daya alam dan pembangunan yang berisiko tinggi bagi lingkungan hidup dan rakyat. Pada IGWG ke-2 tahun 2016 ini, memasukkan perlindungan terhadap Human Rights Defenders dalam paper submission dari Indonesia, termasuk di dalamnya perempuan pembela HAM, demikian disampaikan Dewi Puspa, Ketua Solidaritas Perempuan, menutup siaran pers ini. (selesai)

Contacts:

Members of Indonesia Focal Point for Legally Binding Treaty Initiatives: International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) – Indonesia for Global Justice (IGJ) – Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) -Mining Advocacy Network (JATAM) – Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM) – People’s Coalition For The Right To Water Indonesia (KRuHA) – Pusaka Indonesia – Sawit Watch – Bina Desa – Peoples Coalition for Fisheries Justice (KIARA) – WALHI – KontraS – TUK Indonesia – Publish What You Pay (PWYP) – Indonesia Peasant Alliance.