WALHI Desak Kebijakan Moratorium Diperkuat

Hingga batas waktu berakhirnya Inpres No. 8/2015 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan primer dan lahan gambut berakhir, kebijakan moratorium hingga kini belum ditandatangani oleh Presiden. Padahal kekosongan waktu sebentar saja, akan digunakan oleh  modal yang berkongsi dengan elit politik untuk merekonsolidasi kekuatan bisnis mereka. WALHI bersama jaringan CSO telah menyampaikan penilaian atas implementasi kebijakan Inpres No. 8/2015 dan proses implementasi sebelumnya yang jauh dari tujuan utamanya yakni terjadinya pembenahan tata kelola sumber daya alam, khususnya di kehutanan dan ekosistem rawa gambut. Dalam kurun waktu impelementasi kebijakan moratorium, pemberian izin tetap diberikan. Pelepasan kawasan hutan untuk peruntukan lain juga berlangsung, lagi-lagi demi memfasilitasi industri berbasis lahan, perkebunan sawit, hutan tanaman industri dan tambang. Modus yang ditemui antara lain melalui perubahan tata ruang wilayah di tingkat daerah. Setidaknya sejak tahun 2000, WALHI melakukan kampanye moratorium atau jeda tebang bagi industri kayu dan kemudian kampanye WALHI mulai diakomidir oleh pemerintah di tahun 2010. Paska boomingnya industri kayu, kemudian berganti industri monokultur sawit dan pulp and paper yang terus menyumbangkan angka deforestasi yang massif, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk meyakinkan pemerintah, bahwa ini merupakan tahapan bagi upaya pembenahan struktural tata kelola sumber daya alam kita, di tengah pemerintah masih terus mengandalkan sumber daya alam sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia.

Paska peristiwa kebakaran hutan dan gambut yang sangat besar yang terjadi pada tahun 2015 di provinsi yang selalu memproduksi kabut asap antara lain Riau, Sumsel, Jambi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, harusnya menjadi titik tolak bagi pemerintah, khususnya Presiden untuk secara sungguh-sungguh mengatasi problem struktural sumber daya alam, yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi yang sampai saat ini dikuasai oleh sebagian besar korporasi dengan berbagai bisnisnya yang dilakukan dengan proses yang banyak melanggar hukum, peraturan perundang-undangan dan regulasi. Salah satunya area konsesi mereka berada di wilayah ekosistem rawa gambut. Karenanya, kebijakan moratorium yang diharapkan bukan sekedar memperpanjang moratorium untuk dua tahun, dan kemudian diperpanjang kembali. Namun lebih dari itu, kita membutuhkan sebuah kebijkan moratorium yang kuat, baik dalam konteks landasan hukumnya, maupun tujuan yang hendak dicapai dengan langkah-langkah yang terukur. Kebijakan moratorium bukan hanya untuk sekedar tidak memberikan izin baru bagi perusahaan, tetapi juga harus disertai dengan review perizinan lama dan penegakan hukum. Jika penguatan kebijakan moratorium dilakukan bersamaan dengan langkah-langkah aktif yang dilakukan oleh pemerintah selama minimal 25 tahun, negara dapat menyelamatkan hutan alam, ekosistem rawa gambut dan kawasan ekosistem esensial lainnya seperti karst dapat melampaui target Rencana Kerja Tahunan Kehutanan Nasional 69.144.073. Dari analisis spasial terhadap arahan RKTN dengan PIPIB, tersedia potensi sebesar sekitar 80 juta hektar wilayah yang terlindungi. WALHI di tingkat nasional dan daerah, terus mendorong penguatan kebijakan moratorium di Indonesia. Kertas posisi WALHI dan hasil analisa terhadap implementasi moratorium dapat dilihat selengkapnya di http://www.wp_walhi.local/2017/05/12/moratorium-25-tahun-menghentikan-deforestasi-dan-menyelesaikan-konflik/. Berbagai upaya terus dilakukan, termasuk di dalamnya dengan melakukan kampanye dan pendidikan publik, agar suara dan aksi penyelamatan hutan dan kawasan ekosistem unik seperti rawa gambut dan karst terus meluas dan menguat.