SIARAN PERS HARI HAK ASASI MANUSIA Jakata, Rabu, 11/12/2018 –Organisasi Masyarakat Sipil, NGO, bersama ratusan masyarakat korban keserakahan industri ekstraktif dari Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur melakukan aksi demostrasi di Mahkamah Agung dan Istana Negara. Aksi yang bertepatan pada peringatan Hari HAM 2018 ini merupakan tanda perlawanan, sekaligus tagih janji masyarakat sipil terhadap tindakan represif, manipulasi perkara (kriminalisasi), gugatan tidak berdasar hukum, pengusiran paksa dan tindakan pelanggaran HAM lainnya kepada komunitas yang berjuang mempertahankan kebebasan, hak atas tanah, kampung, lingkungan hidup yang sehat dan hak dasar lainnya akibat praktik buruk investasi dan kebijakan yang diskriminatif. Trend di tahun 2018 peningkatan kriminalisasi terhadap Pejuang Lingkungan Hidup dan Hak Asasi Manusia terus meningkat, dalam catatan WALHI dari olah data di 13 propinsi saja tercatat 163 Pejuang Lingkungan dikrimininalisasi. tindakan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup dan pembela HAM lainnya tidak terlepas dari tindakan dan kebijakan negara yang masih mengandalkan investasi sebagai pilar utama pembangunan. Janji politik Pemerintahan Jokowi-JK yang secara ekspilisit dituangkan dalam Nawa Cita 4 yang yang menyebutkan adanya jaminan kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi, penuntusan kembali hak tanah masyarakat; Perlindungan anak, perempuan dan kelompok masyarakat termarginal, serta penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu hanya sekedar janji tanpa implementasi yag jelas. Hal ini terlihat dari janji politik yang sekali tidak mengalami kemajuan yang baik, bahkan cenderung sama dengan apa yang terjadi pada pemerintahan lalu. Pengabaian terhadap perlindungan para pejuang lingkungan hidup dan pembela HAM ini bukan sekedar ingkar terhadap komitmen politik 2014 lalu, namun masuk pada pengingkaran hak asasi sebagai hak konstitusional yang telah diturunkan menjadi hak warga negara yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Potret buruk selama 2018 yang memperlihatkan pengabaian negara dalam melakukan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak rakyat dalam penguasaan atas sumber agrarianya dapat dilihat dari cuplikan beberapa kasus di bawah ini:
- Heri Budiawan (Budi Pego) dkk vs PT Merdeka Copper Gold, Tbk. Menyelamatkan hutan Banyuwangi dari ancaman tambang emas, namun direspon dengan rekayasa kasus, dimana ketika Budi Pego dkk melakukan unjuk rasa penolakan tambang emas pada 4 April 2017 dituduh membentangkan spanduk dengan gambar menyerupai palu arit. Dari pembentangan spanduk tersebutlah Budi Pego dkk dituduh menyebarkan ajaran komunisme. Menurut warga spanduk itu sama sekali tidak dipersiapakn untuk aksi tersebut. Untuk aksi warga menyiapkan 11 spanduk, yang mana pembuatannya juga diawasi kepolisian. Apabila ada pembuatan gambar tersebut, maka sedari awal kepolisian sudah bisa menghentikan dan melakukan tindakan. Selanjutnya, pada aksi 11 spanduk yang dibuat juga sudah ditentukan. Warga baru mengetahui keberadaan spanduk tersebut setelah Polisi memperlihatkan foto tersebut pasca aksi berlangsung. Pembentangan spanduk juga dilakukan atas permintaan orang yang mereka tidak kenal. Bahkan pada saat persidangan berlangsung, barang bukti spanduk tidak bisa diperlihatkan. Dari rangkaian persitwa ini, jelas bahwa tidak ada unsur kesalahan dan sifat melawan hukum yang dilakukan Budi Pego dkk yang dapat dijadikan dasar pertanggungjawaban pidana. Sayangnya, rangkaian peristiwa ini tetap dianggap kejahatan dan mengakibatkan pada tanggal 23 Januari 2018, Budi Pego divonis oleh PN Banyuwangi dengan pidana hukuman penjara selama 10 bulan dengan dasar Pasal 107a KUHP. Dalam proses banding, Hakim PT Surabaya, Jawa Timur pada 14 Maret 2018 menguatkan putusan PN Banyuwangi. Perlawasan hingga tingkat kasasi ke Mahkamah Agung yang dilakukan mereka malah berbuah pahit, dimana pada tanggal 16 Oktober 2018, Para Hakim Agung di MA enjatuhkan pidana penjara yang lebih berat selama 4 tahun. Potret inilah yan memperlihatkan, kriminalisasi yang melibatkan Heri Budiawan dan warga yang lain terkait tuduhan menyebarkan ajaran komunisme menunjukkan rekayasa hukum guna membungkam perlawanan terhadap penolakan tambang emas yang dilakukan warga Banyuwangi. Selain kasus Budi Pego dkk, di Surabaya juga warga yang sedang mempertahankan waduk yang dilestarikan secara turun temurun dikriminalisasi atas laporan PT Ciputra Surya, Tbk.
- Nelayan Pulau Pari vs PT Bumi Pari Asri, merupakan potret naiknya kriminalisasi oleh Industri Pariwisata, seperti yang diketahui bahwa nelayan pulai pari telah berkali-kali kehilangan lapangan pekerjaan. Dahulu pulau pari kaya akan hasil lautnya masih terdapat aktivitas budidaya rumput laut dan mencari ikan. Seiring waktu, laut tercemat budidaya rumput laut mati, hasil tangkapan menurun. Kemudian masyarakat beralih dengan mengelola pariwisata sebagai mata pencaharian. Namun, kembali mereka mendapat ancaman dari perusahaan yang akan merampas bukan hanya laut, tetapi juga rumah dan tanah mereka.
- Nelayan di Kalimantan Utara terancam lapangan pekerjaannya karena wilayah tangkap mereka diduduki oleh ponton-ponton batu bara yang melakukan aktivitas bongkar muat serta menyebabkan pencemaran laut akibat air lindi.
- Masyarakat pesisir dan pulau kecil di pulau Bangka kembali mendapat ancaman setelah Kementerian ESDM tengah mengusahakan pengaktifan kembali tambang bijih besi PT Mikgro Metal Perdana di Pulau Bangka, Sulawesi Utara. Hal ini diketahui dari surat undangan rapat dari Kementerian ESDM dengan nomor surat 6557 Und/06/SJN.H/2018 (surat terlampir) yang mengundang kementerian dan lembaga Negara terkait untuk membahas permohonan pengaktifan kembali tambang PT MMP di Pulau Bangka pada Rabu, 5 Desember 2018. Padahal sebelumnya pada 23 Maret 2017 kementerian ESDM telah mencabut dan membatalkan IUP PT MMP tersebut melalui Kepmen ESDM No. 1361/K/30/MEM/2017 yang mengacu pada putusan Mahkamah Agung No. 255 K/TUN/2016.
- Buruh Tani Desa Mekarsari, Indramayu vs PLTU Indramayu 2 (Proyek Strategis Nasional). Tiga orang buruh tani Indramayu yang melakukan demonstrasi terkait dengan penolakan pembangunan proyek PLTU pada 14 Desember 2017 dengan cara memasang spanduk ketidaksepakatan. Spanduk penolakan dibentangkan berdampingan dengan bendera merah putih. Selanjutnya, warga membiarkan spanduk bersama bendera merah putih berada di lokasi, namun esoknya posisi bendera merah putih yan sebelum berada dalam posisi tepat malah berubah dalam kondisi terbalik. Dari rangkaian rekayasa tersebut, warga ditetapkan jadi tersangka, bahkan sempat tidak didamping advokat dalam proses pemeriksaaan di kepolisian. Tiga orang warga pun akhirnya dipaksa diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang tidak dilakukannya dengan ketetnuan pidana pada Undang-Undang Tentang Lambang Negara. Saat ini, warga masih ditahan dan menjalani proses persidangan di PN Indramayu. Selain kasus kriminalisasi ini, selama 2018 juga terjadi intimidasi dan ancaman yang dilakukan oknum preman bayaran dan oknum aparat kepolisian terhadap warga Dusun Jampang Tengah yang menolak pertambangan karst untuk kebutuhan bahan baku pabrik semen SCG (Siam Cement Group) di Sukabumi. Bahkan dalam aktivitas perlawanan dan perjuangan penolakan terhadap keberadaan pabrik semen yang mencemari udara, warga sering kali disusupi oleh oknum kepolisian.
- Penembakan Poroduka di NTT. Pada April 2018, Poroduka bersama masyarakat lainnya yang mempertahakan wilayah pesisir Pantai Marosi, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi NTT dari pengukuran lahan oleh BPN untuk kepentingan investasi pariwisata ditembak polisi hingga menghebuskan nafas terakhir tidak lama setelah itu;
- Theodorus Tekwan Ajat dan Masyarakat Adat Lung Isun, Kabupaten Mahakam Ulu, Kaltim vs PT. Kemakmuran Berkah Timber pemegang izin HPH. Kriminalisasi dimulai ketika Tekwan dkk pada 20 Mei 2014 berupaya menghentikan aktivitas penebangan kayu alam yang mereka percayai mempunyai nilai penting bagi lingkungan dan keberlangsungan adat mereka. Mereka menyita satu chainsaw, dan dua kunci alat berat untuk menghentikan aktivitas perusahaan. Lembaga adat mengirim surat protes kepada perusahaan dan bersurat kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten Mahakam Ulu meminta pendampingan penyelesaian masalah.Namun, upaya menyelamatkan hutan malah direspon dengan penggunaan upaya paksa, penetapan tersangka dan penahanan Tekwan dari 30 Agutus 2014 hingga 15 Desember 2014 di Polres Kubar. Pasca masa tahanan habis, Tekwan mengalami trauma dan tidak diberi kepastian terhadap kasusnya. Status tersangka yang disandangnya memang tidak menghentikan perlawasan menyelamatkan hutan dan adat Dayak, namun kondisi ini menjadi beban bagi ia dan keluarganya. Parahnya lagi, kesepakatan penghentian konflik dan penyelesaian kasus Tekwan dan penyiapan Hutan Adat tidak direspon dengan baik oleh KBT, dimana upaya dorongan Hutan Adat hendak dibelokkan dengan skema kemitraan. Hal ini kian dipeparah dengan dukungan secara diam-diam yang dilakukan oleh oknum KLHK. Selain kasus ini, dipenghujung Maret 2018, Balikpapapn, Kalimantan Timur juga diwarnai tumpahan minyak Pertaminan yang mengancam keberlanjutan ekosistem dan hak generasi depan atas keanekaragaman hayati yang berada di teluk Balikpapan.
- Petani Pangandaran vs PT. Startrust. Pada tanggal 10 September 2018, Slamet Suryono dan Yayat Hidayat dianiaya oleh 30 orang yang tidak dikenal. Penganiayaan ini merupakan buntut perlawanan para petani yang mempertahankan lahan mereka dari tindakan penggusuran PT. Startrust.
- Petani Cianjur vs PT. Pasir Luhur. Koko Solihin dan Koswara, dua orang petani Cianjur mengalami tindakan kriminalisasi dengan tuduhan menyerobot lahan dan merusak tanaman milik PT. Pasir Luhur. Padahal, Koko Solihin dan Koswara saat itu menggarap di atas lahan mereka sendiri.
- Korindo, Perampasan Tanah dan Bank
Bank BNI adalah salah satu bank nasional terbesar di Indonesia, dan salah satu dari delapan bank yang didaulat menjadi penggerak awal dari keuangan berkelanjutan di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun disisi lain, BNI terlibat dalam pemberian pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan di sektor kelapa sawit yang terlibat konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Dalam laporan terbaru, ‘Malapetaka’, pada akhir tahun 2017 BNI menyalurkan total pinjaman mencapai 190 juta USD kepada Korindo Group. Korindo group terlibat dalam penyalahgunaan pajak, perusakan lingkungan, dan memasok kayu yang tidak berkelanjutan dan kemungkinan besar ilegal untuk konstruksi beberapa lokasi penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020. Di Indonesia, Ekspansi Korindo ke dalam hutan-hutan pedalaman Indonesia melibatkan pembukaan hutan primer, pembakaran, perampasan lahan, dan tindakan kekerasan dan penangkapan masyarakat setempat secara sewenang-wenang, tulis laporan tersebut. Anak perusahaan Korindo Group, PT GMM, di Maluku Utara secara paksa merampas lahan masyarakat tanpa persetujuan warga, menggunakan api untuk secara ilegal membuka lahan, menanam kelapa sawit tanpa kelengkapan izin, dan mengkriminalisasi masyarakat yang menentang operasi perusahaan, termasuk penahanan sewenang-wenang dan kekerasan (https://www.tuk.or.id/malapetaka-korindo-perampasan-tanah-bank/) Selain potret kasus di atas terdapat banyak cerita lain pelanggaran dan pengabaiak terhadap kondisi pejuang lingkungan, seperti kriminalisasi dua aktivis yang menolak aktivitas geotermal di Sumbar.[1] Selanjutnya, pada 2018 terdapat kecenderungan peningkatan perkara dan varian tindakan hukum yang dipergunakan korporasi dan oknum negara untuk menyudutkan pejuang lingkungan hidup, termasuk ahli yang digugat oleh korporasi pembakar hutan dan lahan serta penyelenggara negara yang sudah terbukti korupsi di sektor sumber daya alam. Kondisi yang sama juga terjadi di sektor agraria. Pelanggaran dan perampasan hak atas tanah masyarakat terus terjadi secara masif. Di banyak tempat, konflik agraria seringkali diikuti kriminalisasi, penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap masyarakat dan petani yang mempertahankan tanah mereka. Sepanjang 2017, KPA mencatat sebanyak 592 pejuang agraria dan petani (520 laki-laki dan 72 perempuan) menjadi korban akibat tindakan refresif pemerintah di wilayah-wilayah konflik agraria. Mereka dikriminalisasi, dianiaya, ditembak bahkan tewas. Sementara itu, penyelesaian konflik dan pengakuan kembali hak-hak atas tanah masyarakat yang selama ini dirampas perusahaan swasta dan negara juga tak kunjung menemui titik terang. Padahal, tanah sebagai sumber pokok kehidupan rakyat Indonesia merupakan hak asasi yang seharusnya dijunjung tinggi dan dihormati oleh Negara. Saat ini, ada 144.808 Kepala Keluarga (KK) di 444 lokasi yang tersebar di 20 provinsi. Menunggu itikad baik Negara untuk segera mengakui dan mengembalikan tanah-tanah mereka yang selama ini dirampas untuk kepentingan bisnis dan investasi (Data Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Selain menuntut Presiden atas pengabaiannya terhadap pemenuhan dan perlindungan pejuang lingkungan hidup dan pembela HAM, ratusan warga yang bergerak ke Jakarta menuju Mahkamah Agung menuntut keadilan dari lembaga peradilan tertinggi dan keseluruhan lingkup peradilan yang berada di bawahnya untuk bersuara benar dan mematahkan rekayasa kasus yang di bawa oknum Kepolisian, Oknum Kejaksaan serta pelaku investasi yang merusak dan merampas secara rakus hak atas tanah dan lingkungan hidup yang sehat warga. Upaya-upaya penyelewengan hukum yang dilakukan guna meredam perlawasan warga seharusnya dipatahkan oleh Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya, karena Hakim yang konon mewakili suara Tuhan harus bersuara adil dan memihak kepada mereka yang bersuara benar. Bersama ini masyarakat yang bersuara untuk memastikan pemenuhan kewajiban negara dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya untuk pemulihan hak korban rekayasa kasus, kriminalisasi dan peradilan sessat menuntut:
- Presiden selaku Kepala Negara secara aktif bertanggung jawab melakukan:
- Memberikan perlindungan dan pemulihan hak Budi Pego, Petani Indramayu, dan setiap korban rekayasa kasus, kriminalisasi dan peradilan sesat melalui abolisi dan amnesti;
- Memastikan Menteri LHK, Kapolri dan Jaksa Agung segera berkordinasi menerbitkan aturan pelaksanan Pasal 66 UU Nomor 32/2009 PPLH untuk memastikan efektifitas jaminan perlindungan pejuang lingkungan hidup;
- Memastikan pemenuhan hak atas lingkungan hidup dengan mewujudkan implementasi kebijakan Reforma Agraria Sejati;
- Menghentikan keseluruhan tindakan dan kebijakan Negara melegalkan praktik perampasan tanah dan pengabaikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat melalui kegiatan investasi dan Proyek Strategis Nasional
- Mahkamah Agung melakukan revisi guna memastikan penguatan aturan pelaksana Anti SLAPP dan memastikan seluruh Pengadilan memamtuhi pedoman penaganan perkara tersebut;
- Hentikan pelibatan aparat keaamanan dan tindakan refresif yang diikuti praktek-praktek kriminalisasi di wilayah-wilayah konflik agraria
- Presiden selaku kepala Negara segera memastikan penyelesaian konflik agraria dan pengakuan kembali hak-hak atas tanah masyarakat melalui reforma agraria berjalan dengan cepat dan benar.
- Segenap bangsa Indonesia untuk bersolidaritas untuk mereka yang berjuang untuk hak asasi manusia dan hak atas lingkungan hidup baik dan sehat.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Eksekutif Nasional WALHI , WALHI Jakarta, WALHI Jawa Barat, WALHI Jawa Tengah , WALHI Jawa Timur, Tuk Indonesia, Konsorsium Pembarua Agraria, Solidaritas Perempuan, Jaringan Advokasi Tambang, ELSAM, Bina Desa, KNTI, KONTRAS , PUSAKA, MARPALA, MAPALA PETANG, KM UNPAK, LAPAN DIKSI, KPA ARKADIA UIN JKT, KELAS, GM-I UIN JKT [1] Tidak lama setelah aksi berakhir, warga Simpang Tonang, Sumatera Barat dijatuhkan Putusan pemidanaan, yaitu terhadap Iwang dijatuhkan putusan pidana penjara 1 tahun 3 bulan dan dan Weldi dkk diputus 1 tahun pidana penjara.Keseluruhanpidana penjara tersebut dikurangi masa tahanan.