Aceh Bertaburan Masalah lingkungan hidup

Oleh Muhammad Nur Direktur Walhi Aceh Pagi ini penulis menyajikan masalah lingkungan hidup, mulai dari pencemaran, konflik lahan, pencurian kayu, pertambangan, perkebunan, mega proyek jalan dalam kawasan hutan hingga energy terbarukan yang akan di bangun diberbagai wilayah Aceh. Lalu mengapa menjadi masalah lingkungan hidup, ia, karena terjadi berbagai dampak akibat dari seluruh kegiatan Keberadaan PT Asdal di Aceh Selatan menyebabkan perkara hukum hingga terjadi diskriminalisasi terhadap warga, begitu pula juga halnya sengketa lahan yang terjadi di Krueng Simpo kabupaten Bireun hingga PT Bumi Glora di Aceh tamiang.  Pada dasarnya semua kasus tanah atau dikenal konflik agraria memiliki karakteristik yang sama, persoalan pertama terkait bukti legalitas formal, sehingga menyampingkan hak atas penguasaan tanah dan membuang secara pelan-pelan pengakuan tanah melalui hukum adat, harta warisan dsb, artinya semangat Presiden membagi lahan kepada warga miskin mencapai 10.2 jt hektar yang tersebar di 25.863 desa di Indonesia merupakan angka yang sangat kecil dan terlalu mengada-ngada, padahal ketika presiden mengakui wilayah adat sebagai wilayah bersama masyarakat hukum adat, tidak perlu negara harus capek membagi-bagikan lahan, jusru yang membuat masyarakat terganggu dari akses lahan dan hutan disebabkan adanya reformasi agraria, menjadi bukti pemerintah mengabaikan hak-hak masyarakat miskin untuk mendapatkan tanahnya sendiri melalu pola adat.

Sedangkan sektor pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit merupakan bentuk usaha yang dibutuhkan negara demi memastikan penyediaan bahan baku dalam rangka memenuhi kebutuhan warga, sayangnya kegiatan pertambangan sudah memberikan bukti nyata terhadap daya rusak dan daya keruk yang cukup massif, artinya kegiatan pertambangan maupun perkebunan tidak dikenal sebagai kegiatan yang ramah lingkungan, semua orang mengamini daya rusak itu benar adanya. Sehingga dibutuhkan komitmen pengelola untuk memperbaiki diri secara sistematis atau menutup selamanya karena tidak sanggup memenuhi kaidah pengelolaan lingkungan hidup.   Begitupula halnya terkait laju deforestasi akibat adanya kebijakan yang lebih mementingkan aspek ekonomi dari pada aspek lingkungan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi. faktor perilaku manusia juga menjadi permasalahan utama dalam kerusakan lingkungan. Berdasarkan data Tahun 2007 Luas lahan kritis di Provinsi Aceh seluas 459.469,28 ha  dengan kategori kritis seluas 393.025,63 ha dan sangat kritis seluas 66.443,65 ha. Pada tahun 2011 luas lahan kritis di provinsi Aceh mengalami peningkatan mencapai 460.099,76 ha, dengan kategori kritis seluas 393.397,03 ha dan sangat kritis seluas 66.702,73 ha. Upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi lahan kritis yaitu melalui penanaman satu miliar pohon (OMOT).

Pada tahun 2011, melalui penanaman pada kegiatan penghijauan sebanyak 24.886.789 batang dan penanaman reboisasi sebanyak 3.808.598 batang. Pembangunan yang tidak terpadu (fragmented) selama ini telah berakibat perubahan drastis negatif terhadap kondisi sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya alam tidak terbarukan (pertambangan mineral, batubara, migas, dan galian C) telah mengubah bentang alam tanpa terkendali. Terlebih lagi sumber daya alam terbarukan oleh deforestasi intensif (legal and illegal logging) untuk pembangunan fisik infrastruktur, transportasi, industri, perkebunan, pertanian, telah mengakibatkan penyusutan drastis tutupan vegetasi hutan terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan punahnya keanekaragaman hayati. Aceh merupakan wilayah dengan kondisi alam yang kompleks sehingga menjadikannya sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi terhadap bencana, khususnya bencana alam. Tingkat resiko bencana alam yang terjadi setiap tahunnya sangat tinggi, terutama bencana banjir dan kekeringan. Sangat terbatasnya investasi infrastruktur tampungan penyimpanan air, telah berdampak pada keseimbangan hidrologi DAS, fluktuasi debit air di sungai menjadi sangat besar terutama pada musim hujan terjadi bencana banjir dan tanah longsor, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan. Kecenderungan penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam telah memacu peningkatan pengelolaan hutan tanaman dan hutan rakyat. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya produksi kayu dari hutan tanaman dan hutan rakyat.

Hutan rakyat di propinsi aceh seluas 11.632 ha, yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Potensi kayu jenis perdagangan di Propinsi Aceh baik di Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Taman Buru, Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi mencapai 59,19 juta m3. Hutan Tanaman Rakyat yang sudah mendapat IUPHHK-HTR di Propinsi Aceh sebanyak 3 unit yaitu 1 unit di Kabupaten Bireun (Kopwan Seulanga Aneuk Nanggroe) dan 2 unit di Kabupaten Aceh Utara (Kop. Tuah Nanggroe Aceh 811 Ha) melalui (SK.282/Menhut-II/2009 Tgl13 Mei 2009), Kop. Ikapeda 1.155 Ha (SK.721/Menhut-II/2009 Tgl19 Oktober 2009). Usulan Pencadangan areal di Provinsi Aceh Seluas 3.667 Ha sedangkan luas areal yang sudah di keluarkan SK Pencadangan oleh Menteri Kehutanan seluas 10.884 Ha dengan jenis tanaman Jabon, Mahoni, Sengon. Produksi kayu bulat di provinsi NAD pada tahun 2012 berjumlah 185.358,48 m3, yang berasal dari 3 sumber yaitu IUPHHK pada HTI, Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), Hutan Rakyat, Kayu perkebunan dan hasil lelang. Masing-masing produksinya yaitu IUPHHK pada HTI sebanyak 8.043,81 m3, IPK sebanyak 2.196,33 m3, kayu perkebunan 169.348,50 m3, dan hasil lelang 475,98 m3. HHBK yang dikembangkan di Propinsi NAD yaitu rotan produksinya mencapai 90.590 kg, Cendana 14.000 kg, dan Arang kayu 155.000 kg. Untuk memperkuat upaya-upaya perlindungan hutan dalam priode tahun 2007 s/d 2008 telah dilakukan rekruitmen Pamhut sebanyak 2000 Orang yang mempunyai tugas pengamanan hutan dan pencegahan perambahan hutan (Ilegal Logging). Pemanfaatan jasa lingkungan dari kawasan hutan khususnya untuk kegiatan wisata alam sudah lama dikembangkan di Aceh, hal ini didukung dengan keberadaan berbagai potensi yang ada antara lain : Cagar Alam Pinus Strain Aceh (16.940 Ha)di Kabupaten Aceh Besar, Cagar Alam Serbajadi (300 Ha) Kabupaten Aceh Tamiang, Swaka Margasatwa Rawa Singkil (102.370 Ha)di Kabupaten Aceh Singkil, Taman Hutan Raya (TAHURA) Po Cut Meurah Intan (6.300 Ha) di Kabupaten Aceh Besar, Taman Nasional Gunung Leuser (623.987 Ha) di Kabupaten Aceh Tenggara, Taman Wisata Alam Iboih (1.200 Ha) di Kota Sabang, Taman Wisata Alam Kepulauan Banyak (16.200 Ha) di Kabupaten Aceh Singkil, Taman Wisata Alam Lhok Asan (PLG : 112 Ha) di Kabupaten Aceh Utara, Taman Buru Lingga Isaq (86.704 Ha) di Kabupaten Aceh Tengah. Dari data Walhi Aceh, sejauh ini (2016)  ada empat perusahaan yang memegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam (IUPHHK-HA), dengan total luas wilayah  kelola 252. 550 hektar. Keempat perusahaan tersebut adalah PT. Lamuri Timber, PT. Aceh Inti Timber, PT. Raja Garuda Mas Unit II dan Koperasi Pondok Pesantren Najmussalam. Sedangkan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) sebanyak delapan perusahaan dengan total wilayah kelola 252. 519 hektar. Adapaun perusahaan tersebut adalah PT. Gunung Medang Raya Utama Timber, PT. Tusan Hutani Lestari, PT. Nusa Indrapuri, PT. Rimba Wawasan Permai, PT. Rimba Penyangga Utama, PT. Rimba Timur Sentosa, PT. Madum Payah Tamita, PT. Rencong Pulm ådan Paper Industri. Tahun 2016, Hutan Desa di Aceh memiliki luas kawasan 47.594 hektar dengan rincian 370 hektar di Aceh Timur, 2.221 hektar di Pidie Jaya, 44.7984 hektar di Pidie dan 200 hektar di Aceh Tamiang. Juga tidak ada perkembangan apapun untuk Izin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat pada tahun ini. Data sebelum 2016, IUPHHK-HTR yang pernah dikeluarkan adalah untuk Aceh Utara seluas 1.966 hektar yang dikelola oleh dua koperasi. Bireuen dengan luas 1.335 hektar yang dikelola oleh tiga koperasi. Aceh Besar dikelola oleh satu kelompok dengan luas kawasan 244,4 hektar. Total keseluruhan 3.542 hektar. Melihat trend tidak adanya penambahan HKm, Hutan Desa dan IUPHHK-HTR pada 2016, menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh belum mengikuti Nawacita terkait perluasan wilayah kelola masyarakat seluas 12,7 juta hektar. Alih fungsi hutan dan lahan yang mencapai angka 62.240,59 hektar Oleh karenanya penulis mendorong agar adanya perbaikan tatakelola sector hutan dan lahan, selain itu harusnya pemerintah bersama lembaga teknis untuk memperkuat control terhadap industry yang sedang mencari keuntungan di Aceh dengan mengedepankan pengakuan wilayah kelola masyarakat Aceh dari sekarang, atau menyesal selamanya karena kehilangan ruang secara pelan namun pasti.