slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Akhiri Rezim Keterlanjuran, Restorasi Ekosistem Rawa Gambut dengan Penegakan Hukum | WALHI

Akhiri Rezim Keterlanjuran, Restorasi Ekosistem Rawa Gambut dengan Penegakan Hukum

Senin, 26 Februari 2017 Jakarta-Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan kebijakan yang mendorong revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) bagi industri, khususnya 101 pemegang izin hutan tanaman industri yang berada di rawa gambut yang memiliki fungsi lindung dengan luas mencapai 2,5 juta hektar, dari sekitar 4 juta hektar yang harus direstorasi, melalui 4 Peraturan Menteri LHK yang merupakan turunan dari PP 57 Tahun 2016. Dengan alasan keberlanjutan dunia usaha,  kebijakan revisi RKU bagi perusahaan ini juga dibarengi dengan kebijakan memberikan lahan pengganti (land swap) dengan jumlah luasan mencapai 800.000 hektar. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan perusahaan juga masih diberikan kesempatan panen berbagai tanaman komoditas hutan, dan setelahnya dipulihkan. Kebijakan ini mengacu pada kebijakan "keterlanjuran". Kebijakan yang dikeluarkan melalui Peraturan Menteri LHK ini harus dilihat secara kritis oleh organisasi masyarakat sipil. WALHI menilai kebijakan yang memberikan kemewahan kepada korporasi ini justru dapat melemahkan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan.

Kebijakan memberikan lahan pengganti atau landswap kepada perusahaan yang justru melanggar hukum sebagai agenda “pemutihan” yang terus menerus diproduksi oleh KLHK. Terlebih konsesi yang akan direstorasi tersebut merupakan wilayah konsesi yang terbakar, harusnya perusahaan ini dihukum, bukan malah diberikan lahan baru. Untuk itu, pemerintah baik KLHK maupun Badan Restorasi Gambut harus membuka nama-nama perusahaan yang ada dalam peta indikatif restorasi gambut, khususnya yang berada di kubah gambut. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati menyatakan,  “jika ada temuan 2,5 juta konsesi di kawasan gambut dari 4 juta yang memiliki fungsi lindung atau kubah gambut, maka seharusnya langkah yang ditempuh oleh pemerintah adalah review perizinan dan mengurangi luasan konsesi terhadap perusahaan-perusahaan tersebut”. Nur Hidayati menambahkan bahwa kebijakan revisi RKU dan land swap menunjukkan semakin kukuhnya kekuatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk penguasaan sumber-sumber agraria dengan pemberian fasilitas berupa lahan baru, padahal korporasi ini secara terang-terangan melanggar hukum dan Undang-Undang”. Dari advokasi yang dilakukan oleh WALHI, bahwa selama ini industri perkebunan baik HTI maupun sawit memang tidak berupaya meningkatkan produktifitas kebun mereka, namun terus menargetkan perluasan konsesi.

Di sisi yang lain, dari fakta tragedi kebakaran menandakan bahwa perusahaan sesungguhnya tidak mampu mengelola dan mengawasi wilayah konsesi mereka. Inilah yang kami tenggarai sebagai modus land banking, kejahatan perusahaan untuk menguasai tanah secara legal. Dari 800.000 lahan pengganti yang sudah disiapkan oleh LHK yang dikatakan bersumber dari hutan produksi yang belum dibebani izin dan area izin penebangan yang sudah tidak lagi beroperasi, pertanyaan kritisnya adalah dimana lokasi dari lahan pengganti tersebut? Kami khawatir lahan pengganti ini justru yang dapat dijadikan sebagai tanah objek reforma agraria maupun perhutanan untuk masyarakat. Harusnya lahan yang tersedia ini diredistribusi kepada rakyat yang tidak memiliki tanah sebagaimana yang menjadi janji pemerintah. Terakhir, sebagaimana yang telah publik ketahui bersama bahwa Presiden Jokowi berkali-kali menegaskan komitmen pemerataan terhadap sumber-sumber agraria untuk menjawab ketimpangan sumber-sumber agraria selama ini. Di saat Presiden ingin mengatasi ketimpangan, pemerintahan di bawahnya justru mengeluarkan kebijakan land swap yang akan semakin melanggengkan ketimpangan tersebut. Kami khawatir, kebijakan land swap ini justru akan menghambat komitmen Presiden untuk mengatasi ketimpangan dan kemiskinan, mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat, serta bagian dari penyelesaian konflik struktural sumber daya alam/sumber-sumber agraria. Oleh karena itu WALHI mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak ragu-ragu dalam mengekseskusi kebijakan Presiden untuk melakukan penegakan hukum kepada korporasi yang terlibat dalam kebakaran hutan, dan benar-benar mengatasi permasalahan ketimpangan penguasaan lahan secara mendasar. (selesai) Kontak:

  • Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan WALHI di 081311187498