Siaran Pers Bersama
Aksi Global Menuntut Keadilan Iklim
Jakarta, 9 Desember 2023 -- Saat ini sedang berlangsung pertemuan UNFCCC COP 28 di Dubai dari 30 November–12 Desember 2023. Pertemuan COP28 yang berlangsung di Negara penghasil energi fosil belum meletakkan kedaruratan krisis iklim dalam pembahasan-pembahasan negosiasinya. Meskipun, Laporan IPCC yang dikeluarkan pada April 2023 telah menyebutkan kedaruratan atas ancaman krisis iklim ini, akan tetapi arena COP 28 masih dijadikan ajang ‘bisnis’ bagi negara-negara, korporasi, termasuk Lembaga keuangan.
Situasi rakyat dan komunitas di seluruh dunia sedang dalam kondisi mengenaskan akibat berbagai krisis atas ketidakadilan, ketimpangan dan penindasan yang telah berlangsung lama. Krisis iklim menyebabkan peristiwa cuaca ekstrem dan mengganggu ekosistem di seluruh dunia. Rakyat yang telah menderita kemiskinan, diskriminasi, eksploitasi dan penindasan adalah pihak paling rentan terhadap krisis ini, dan memiliki keterbatasan akses ke sumberdaya yang diperlukan untuk mengatasi dampaknya.
Di Indonesia sendiri, jumlah masyarakat yang terancam hidup dan sumber penghidupannya terus bertambah. Di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil misalnya, Penelitian Litbang Kompas (2023) menyebut, pada tahun 2030 jumlah nelayan (dan juga petani) sebanyak 926.492 orang akan meninggalkan pekerjaannya saat ini akibat krisis iklim maupun proyek-proyek iklim. Angka ini merupakan kehilangan yang sangat besar bagi Indonesia sebagai negara bahari sekaligus kepulauan terbesar di dunia. Bencana iklim pun terus meningkat yang mengakibatkan kehilangan jiwa, tempat tinggal, aset dan properti, mata pencaharian, dan lain sebagainya.
Sayangnya, dalam kebijakan dan aksi-aksi solusi iklim, pengakuan dan pelibatan bermakna terhadap perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya masih sangat minim, bahkan hampir tidak ada. Skema-skema solusi iklim tidak menuntut pada tanggung jawab dan kewajiban negara-negara industri dan korporasi penyumbang emisi, justru sebaliknya skema yang ada justru memfasilitasi negara-negara industri dan korporasi, serta lembaga keuangan internasional untuk meraup keuntungan atas nama ‘krisis iklim’.
Skema solusi palsu iklim yang tidak menyasar pada akar persoalan sangat terlihat pada skema mitigasi yang mengutamakan investasi dibandingkan keselamatan rakyat dan keberlangsungan ekologis. Perdagangan karbon dan skema transisi energi adalah salah dua skema yang mengesampingkan kebutuhan rakyat yang terdampak krisis iklim. Termasuk skema pendanaan iklim, meskipun pada COP28 telah meluncurkan Pendanaan Loss and Damage (kehilangan dan kehancuran) dengan komitmen awal mencapai USD 430 juta (Rp. 6,67 triliun), namun masih banyak pertanyaan dari sumber pendanaan maupun mekanisme distribusi dan pengelolaannya. Sementara, skema pendanaan iklim yang bersumber dari utang juga sangat besar, misalnya skema pendanaan untuk transisi energi yang 99 persen bersumber dari utang.
Untuk itu, pada aksi global yang dilakukan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, menjadi ruang untuk kembali menuntut keadilan iklim dan perubahan sistem, serta menuntut solusi-solusi nyata yang dibutuhkan rakyat miskin khususnya. Ajang COP 28 seharusnya menjadi salah satu kesempatan untuk melancarkan serangan balik dengan menunjukkan kegagalan dan manuver pemerintah, korporasi dan elit dalam usahanya menghindari tanggung jawab dan kewajiban mereka. (*)
Informasi lebih lanjut
Parid Ridwanuddin, Eksekutif Nasional WALHI, 081237454623
Muhammad Aminullah, Eksekutif Daerah WALHI Jakarta, 085695523194
Ginajar, Pengkampanye 350, 085156568359
Ashov Birry, Trend Asia, 08111757246
Catatan: untuk foto lebih lengkap, dapat diunduh pada tautan berikut: https://drive.google.com/drive/folders/1Qb7MF_0JCakMyqB2ToNsPW3OPlwInQk-