Sejak awal Juli lalu, kebakaran hutan dan lahan telah terjadi di Aceh, Kalimantan Barat, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Menurut data BMKG per 6 Agustus 2017, daerah yang masih berpotensi terjadi kebakaran adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, dan Sebagian wilayah Riau. Data Pusat Analisis Situasi Siaga Bencana (PASTIGANA), hingga 6 Agustus 2017 terdapat 207 titik panas (hotspot) denga kategori sedang, dan 75 hotspot dengan kategori tinggi di Indonesia. Data yang dihimpun Walhi Daerah Sumatera Selatan, sejak 24 hingga 30 Juli 2017 total titik api di Sumatera Selatan sebanyak 168 titik. Titik api dalam konsesi IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) sebanyak 18 titik, dalam izin usaha perkebunan sebanyak 32 titik, di Izin Usaha Pertambangan 22 titik. Lahan terbakar seluas 6.459 hektar.
Sementara di Jambi lahan terbakar mencapai 500 hektar. Di Kalimantan Selatan terdapat sekitar 64 hotspot, 10 hotspot di HGU, 12 hotspot di Kawasan Hutan, 26 hotspot di eksosistem gambut. Pada pekan-pekan ini pernyataan aparatur negara dari berbagai instansi menyatakan telah melakukan “penegakan hukum”, dengan menyatakan telah menangkap pelaku pembakaran hutan. Sayangnya banyak proses hukum hanya berhenti pada pelaku lapangan. Data yang dihimpun Walhi Daerah Sumatera Selatan, sejak 24 hingga 30 Juli 2017 total titik api di Sumatera Selatan sebanyak 168 titik. Titik api dalam konsesi IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) sebanyak 18 titik, dalam izin usaha perkebunan sebanyak 32 titik, di Izin Usaha Pertambangan 22 titik. Lahan terbakar seluas 6.459 hektar. Sementara di Jambi lahan terbakar mencapai 500 hektar. Di Kalimantan Selatan terdapat sekitar 64 hotspot, 10 hotspot di HGU, 12 hotspot di Kawasan Hutan, 26 hotspot di eksosistem gambut. hampir rata-rata setengah lebihnya berada pada kawasan hutan.
WALHI mencatat, bahwa kebakaran pada tahun 2015 yang lalu, sebanyak 439 perusahaan terlibat pembakaran di 5 Provinsi, 308 diantaranya adalah perusahaan sawit. “WALHI telah mendorong penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan pada tahun 2015, baik langsung ke pemerintah, maupun melalui praperadilan. Sepanjang 3 pekan lalu, WALHI dan jaringan menjalani sidang Praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan Polda Riau terhadap 3 perusahaan yang terindikasi membakar lahan tahun 2015 lalu di PN Riau, di Pekanbaru, akan tetapi PN Riau menolak Permohonan Praperadilan Ini. Belajar dari peristiwa karhutla yang terjadi pada tahun 2015 lalu, WALHI kembali mengajak publik untuk tidak lupa atas tragedi yang telah mengakibatkan terjadi pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 itu telah mengakibatkan 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa menderita ISPA, dan sebanyak 60 juta jiwa terpapar asap, seluas 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar telah mengakibatkan kerugian sebesar 221 Trilyun rupiah, negara pun harus mengeluarkan dana sebesar 720 milyar untuk mengatasi kebakaran (BNPB, 2015).
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kebakaran ini. Pemadaman melalui udara, maupun melalui darat. Namun api tetap tak terpadamkan. Berangkat dari data Eksekutif Daerah WALHI, ada indikasi kuat penyebab kebakaran adalah banyaknya izin konsesi yang diberikan di atas lahan gambut, akibatnya pemegang konsesi mengeringkan gambut agar bisa dikelola dan membakarnya agar biaya operasional dapat ditekan seminim mungkin bahkan tanpa biaya. Aksi Sepekan Melawan Korporasi Pembakar Hutan Hingga saat ini kebakaran hutan dan lahan banyak berada di kawasan konsesi, sayangnya upaya “penegakan hukum” yang dilakukan lebih banyak menyasar hanya “pelaku lapangan”, Karena itu, Eksekutif Nasional WALHI dan Eksekutif Daerah Walhi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah melakukan aksi dalam sepekan Melawan Asap.
Di tingkat nasional aksi dilakukan pada Selasa, 8 Agustus 2017 di Depan Istana Negara. Aksi dilakukan dengan bentuk teatrikal, dengan membawa bibit-bibit pohon yang tertutupi oleh “asap artifisial”, dan seluruh peserta aksi menggunakan Masker serta membentangkan spanduk “Lawan Korporasi Pembakar Hutan”. Aksi ini dimaksudkan untuk mengajak publik agar tidak lupa pada peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sebelumnya dan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan hidup. Melalui Aksi ini, WALHI juga mengingatkan pemerintah terhadap komitmennya dalam penanganan karhutla, Komitmen Presiden untuk review perizinan, penegakan hukum, pemulihan dan dan pengakuan wilayah kelola rakyat sebagai bagian yang harus dilakukan oleh Kementerian.