Siaran Pers Bersama
Aksi Selamatkan Ekosistem Laut Teluk Balikpapan
Jakarta, 12 Desember 2024—Perwakilan Koalisi Nelayan Pesisir Balikpapan bersama WALHI, Pokja Pesisir, dan sejumlah mahasiswa menggelar aksi damai di depan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur. Aksi ini merupakan bagian dari rangkaian kampanye untuk menolak Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 54 Tahun 2023, yang membuka jalan bagi terminal pelabuhan bongkar-muat kapal tongkang di Teluk Balikpapan. Keputusan ini dinilai mengancam keberlangsungan hidup nelayan tradisional Balikpapan dan merusak ekosistem strategis kawasan Teluk Balikpapan.
“Perjalanan ini kita namai perjalanan memperjuangkan ruang tangkap nelayan,” ujar Mappaselle, perwakilan dari Pokja Pesisir. Pernyataan ini mencerminkan semangat para nelayan untuk melawan kebijakan yang dinilai tidak adil dan mengancam keberlanjutan ekologi serta sosial mereka.
Teluk Balikpapan: Jantung Kehidupan Ribuan Nelayan Tradisional
Teluk Balikpapan selama ini menjadi pusat kehidupan bagi lebih dari 10.000 nelayan tradisional. Sebagai salah satu kawasan ekologis strategis di Indonesia, Teluk Balikpapan memiliki fungsi vital sebagai feeding ground, nursery ground, dan spawning ground bagi beragam spesies laut. Mangrove yang membentang luas di kawasan ini juga berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi pesisir dari abrasi dan dampak perubahan iklim.
Namun, sejak pembangunan pelabuhan batubara pada tahun 2017, keberlanjutan ekosistem Teluk Balikpapan mulai terganggu secara signifikan. Beberapa dampak yang dirasakan oleh nelayan tradisional meliputi:
- Penyempitan Ruang Tangkap: Aktivitas tambat labuh dan lalu lintas kapal besar secara masif mempersempit wilayah tangkap nelayan. Hal ini memaksa mereka untuk melaut lebih jauh, yang membutuhkan biaya tambahan.
- Kerusakan Alat Tangkap: Ratusan bagang (alat tangkap ikan) hancur akibat lalu lintas kapal besar. Kini hanya tersisa satu bagang yang masih bertahan.
- Penurunan Hasil Tangkapan: Limbah batubara dan sampah kapal, seperti ban bekas dan kaleng, mencemari laut sehingga merusak habitat ikan. Penurunan kualitas lingkungan ini mengakibatkan hasil tangkapan nelayan semakin berkurang.
Awal Nur Afdal, selaku korlap pada aksi menegaskan “Selama ini tidak ada pertanggungjawaban dari swasta maupun pemerintah terkait persoalan-persoalan yang muncul sejak aktivitas kapal dimulai.” Pernyataan ini menggarisbawahi minimnya perhatian terhadap nasib para nelayan yang menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan maupun masyarakat lokal.
Ancaman Baru: Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 54 Tahun 2023
Di tengah tekanan yang sudah dirasakan nelayan sejak beberapa tahun terakhir, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 54 Tahun 2023 semakin memperparah keadaan. Keputusan ini menetapkan lokasi baru sebagai kawasan pelabuhan di Teluk Balikpapan, yang berpotensi mendorong kehancuran total ekosistem teluk dan ruang hidup nelayan tradisional.
Deny Adam Erlangga, kuasa hukum nelayan yang menggugat KM 54 Tahun 2023, menjelaskan bahwa terdapat dua dasar utama yang menjadi alasan gugatan dilayangkan ke PTUN.
- Pelanggaran Tata Ruang: Keputusan ini bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Timur. Dalam RTRW tersebut, Perairan Laut Balikpapan secara jelas ditetapkan sebagai zona tangkap nelayan. Namun, Keputusan KM 54 mengabaikan ketentuan ini dan menetapkan wilayah yang sama sebagai kawasan pelabuhan.
- Cacat Administratif: Dalam Konsideran keputusan Menteri Perhubungan KM 54 Tahun 2023, pada dasar Memperhatikan menggunakan Surat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Prov. Kalimantan timur sebagai Rekomendasi Pemerintah Daerah, sedangkan surat tersebut menyampaikan perihal informasi tentang titik koordinat yang diusulkan sebagai lokasi Pelabuhan berada di Zona Perikanan Tangkap,
Deny juga menambahkan bahwa keputusan tersebut melanggar tiga asas dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB): kepastian hukum, kecermatan, dan ketelitian. Gugatan ini menjadi simbol perlawanan masyarakat nelayan terhadap negara yang abai terhadap hak-hak mereka.
Dampak Lingkungan dan Sosial yang Serius
Selain menghancurkan ruang hidup nelayan, pembangunan pelabuhan di Teluk Balikpapan juga membawa dampak buruk bagi lingkungan. Ekosistem mangrove, yang selama ini menjadi habitat penting bagi berbagai spesies laut, menghadapi ancaman serius akibat pencemaran dan aktivitas pembangunan yang tidak berkelanjutan. Limbah batubara, yang selama ini menjadi masalah utama, bukan satu-satunya ancaman. Keberadaan pelabuhan baru ini akan meningkatkan aktivitas alih muat kapal yang membawa komoditas lain, seperti semen dan produk industri lainnya, sehingga menciptakan alur pelayaran yang lebih massif.
Jika kerusakan ini dibiarkan, Teluk Balikpapan berisiko kehilangan keanekaragaman hayatinya. Hal ini tidak hanya akan berdampak pada nelayan, tetapi juga pada keberlanjutan ekologi kawasan tersebut secara keseluruhan.
Tuntutan Koalisi Nelayan Pesisir Balikpapan
Dalam upaya menyelamatkan Teluk Balikpapan, Koalisi Nelayan Teluk Balikpapan menyerahkan pernyataan sikap yang berisi tiga tuntutan utama kepada PTUN Jakarta Timur:
- Cabut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 54 Tahun 2023: Hentikan pembangunan yang merusak ruang tangkap nelayan dan mengancam kehidupan mereka.
- Lindungi Hak Nelayan Tradisional: Prioritaskan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat lokal dan kearifan tradisional yang terbukti menjaga keseimbangan lingkungan.
- Pulihkan Ekosistem Teluk Balikpapan: Ambil langkah nyata untuk melindungi kawasan ini sebagai ekosistem strategis yang penting bagi ketahanan ekologis dan sosial masyarakat pesisir.
“Nelayan adalah adalah penjaga utama ekosistem perairan Teluk Balikpapan, penting bagi kita untuk menghormati dan melindungi ruang tangkap mereka demi keberlangsungan sumber penghidupan nelayan tradisional,” tegas Mappaselle dalam orasinya.
Pentingnya Teluk Balikpapan Bagi Masa Depan Indonesia
Teluk Balikpapan adalah salah satu kawasan ekologi strategis yang memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan lingkungan di Kalimantan Timur. Selain menjadi muara bagi beberapa sungai besar yang melintasi tiga wilayah administratif (Kabupaten Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, dan Kota Balikpapan), kawasan ini juga merupakan habitat penting bagi berbagai spesies laut, termasuk 13 genera ikan yang sebagian besar bergantung pada ekosistem karang dan mangrove.
Keanekaragaman hayati yang tinggi di kawasan ini tidak hanya bermanfaat bagi ekosistem, tetapi juga menjadi tulang punggung kehidupan ekonomi masyarakat pesisir. Oleh karena itu, kerusakan Teluk Balikpapan akan membawa dampak jangka panjang yang tidak hanya dirasakan oleh nelayan, tetapi juga oleh generasi mendatang.
Seruan untuk Bertindak
Kerusakan ekosistem di Perairan Laut balikpapan dan Teluk Balikpapan adalah ancaman nyata bagi masa depan ekosistem kita dan kehidupan ribuan nelayan tradisional. Jangan biarkan pembangunan yang serakah merampas ruang hidup kita. Koalisi Nelayan Teluk Balikpapan mengajak semua pihak untuk bergabung dalam perjuangan ini dan mendukung upaya untuk melindungi Teluk Balikpapan.
“Kami meminta kepada pengadilan untuk membatalkan Keputusan Menteri Perhubungan. Ini adalah langkah awal menuju keadilan ekologis dan sosial bagi masyarakat pesisir,” pungkas Deny Adam Erlangga.
Aksi yang dilakukan hari ini bukan hanya tentang mempertahankan ruang tangkap nelayan, tetapi juga tentang menyelamatkan salah satu ekosistem paling penting di Indonesia. Bersama-sama, kita dapat memastikan bahwa Teluk Balikpapan tetap menjadi jantung kehidupan bagi generasi mendatang. Jadilah bagian dari perjuangan ini dan dukung langkah nyata untuk melindungi Teluk Balikpapan!
Narahubung:
Awal Nur Afdal, +62882 0215 54011 (Korlap Aksi)
Teo Reffelsen, +62 852-7311-1161 (Manajer Hukum dan Perlindungan Rakyat Eknas Walhi)
Mappaselle, +62 821-9000-9297 (Perwakilan dari Pokja Pesisir)
Deny Adam Erlangga, +62 811-579-589 (Kuasa Hukum Nelayan Teluk Balikpapan)