BP Batam dan Pemerintah Tetap Melanjutkan PSN Rempang Eco-City, Tanda Abai Terhadap Penolakan Masyarakat Rempang

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau

Pekanbaru, 24 Juli 2024—Pada 17 Juli 2024, Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama Pemerintah Kota BATAM dan PT Makmur Elok Graha (MEG) menggelar rapat koordinasi pengembangan Rempang Eco-City terkait realisasi serta beberapa rencana aksi untuk mendukung investasi di Rempang, salah satunya pemenuhan kebutuhan infratruktur dasar. Dalam pernyataannya Muhammad Rudi, Kepala BP Batam sekaligus Walikota Batam menyatakan tetap berkomitmen penuh untuk menuntaskan rencana investasi Rempang Eco-City. WALHI Riau menilai pemerintah dan BP Batam sama sekali tidak mempedulikan aspirasi masyarakat yang hingga saat ini masih tetap bertahan di kampung mereka dan menolak untuk direlokasi.

Rapat koordinasi berlangsung setelah ada kunjungan dan konferensi pers Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto di Kota Batam terkait Investasi Rempang Eco-City pada 12 Juli 2024. Kunjungan itu dilakukan untuk memastikan kesiapan pembangunan rumah dan infrastruktur bagi warga yang terdampak dari pengembangan Rempang Eco-City. Kedua agenda pemerintah ini menunjukkan seolah penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan PSN Rempang Eco-City tidak berarti apapun.

Eko Yunanda, Manajer Akselerasi WKR dan Pengorganisasian Eksekutif Daerah WALHI Riau, menilai Pemerintah seharusnya tidak memaksakan kehendaknya untuk tetap melanjutkan investasi Rempang Eco-City, karena sampai saat ini mayoritas warga Rempang tetap menolak untuk direlokasi.

“Masyarakat Rempang masih tetap ingin hidup dan menjaga tanah adat leluhur mereka yang mereka tempati sejak dulu. Data yang kami himpun dan baru-baru ini kami publikasikan melalui kajian berjudul Kronik PSN Rempang Eco-City, Kontroversi Investasi Tiongkok, dan Resistensi Masyarakat Rempang, hanya 20% masyarakat di lima kampung tua yang jadi prioritas pembangunan (Sembulang Pasir Merah, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Pasir Panjang, dan Belongkeng) yang menerima relokasi, sedangkan sisanya bertahan di kampung masing-masing,” ujar Eko.

Ambisi Pemerintah untuk tetap melanjutkan pengembangan Rempang Eco-City tidak hanya akan mengusir dan merampas hak masyarakat adat dan tempatan Pulau Rempang namun juga akan turut berpotensi menghancurkan sumber penghidupan masyarakat yang mayoritas bergantung pada laut dan kebun. Apalagi hasil pertanian, peternakan, dan laut masyarakat selama ini juga telah menyumbang sebagian besar sumber pangan untuk Kota Batam.

“Pemerintah juga harus berpikir ulang untuk menjadikan Rempang jadi kawasan industri dan perdagangan, karena selama ini hasil pertanian dan laut masyarakat Rempang telah berkontribusi besar untuk kebutuhan pangan di Kota Batam. Jangan sampai keberadaan proyek ini justru akan mengurangi sumber pangan yang ada hingga menimbulkan krisis pangan di masa yang akan datang.”

Eko juga mempertanyakan dari mana sumber dana untuk melanjutkan pembangunan Rempang Eco-City. “Xinyi Group yang dikabarkan akan menyumbang investasi sebesar 175 triliun rupiah ternyata belum memulai kerja sama apapun dengan PT MEG dan BP Batam. Bahkan kerjasama yang telah mereka miliki di Gresik dan Bangka Belitung Selatan sejak 2022 dan 2020 saja hingga saat ini belum dimulai. Lalu untuk apa Pemerintah ngotot melanjutkan proyek ini ketika investasinya masih belum jelas?” Pungkas Eko.

Narahubung:
WALHI Riau (082288245828)