Cabut Keputusan KM 54 Tahun 2023: Lindungi Hak Nelayan Tradisional dan Pulihkan Ekosistem Teluk Balikpapan

Siaran Pers Bersama

Jakarta, 16 Desember 2024 – Sidang gugatan yang diajukan oleh Kelompok Kerja Pesisir (Pokja Pesisir) terhadap Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 54 Tahun 2023 kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur. Keputusan tersebut menetapkan lokasi pelabuhan di perairan Teluk Balikpapan untuk mendukung pembangunan pelabuhan alih-muat antar kapal (Ship To Ship–STS). Kebijakan ini menuai penolakan luas karena dianggap mengancam kehidupan ribuan nelayan tradisional dan merusak ekosistem strategis Teluk Balikpapan.

Dalam sidang ini, dua nelayan teluk Balikpapan, Fadlan dan Darwis, menyampaikan kesaksian bahwa 10.000 nelayan yang menggantungkan hidup pada Teluk Balikpapan akan sengsara jika Keputusan Menteri terkait izin STS tidak dicabut. Sebab begitu pelabuhan berperasi, maka kapal yang tongkang memuat batu bara jumlahnya akan melonjak puluhan kali lipat. Selama ini dengan satu perusahaan saja yang memiliki pelabuhan STS di Teluk Balikpapan, itu sudah merampas ruang tangkap dan membahayakan keselamatan nelayan yang sedang melaut.

Teluk Balikpapan bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi juga menjadi sumber penghidupan berkelanjutan bagi komunitas nelayan. Fadlan membagikan kisahnya tentang bagaimana kekayaan laut Teluk Balikpapan memungkinkannya membiayai pendidikan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. “Saya tidak punya tabungan atau penghasilan tetap. Ketika anak saya butuh biaya kuliah, saya tinggal melaut. Dalam satu atau dua hari, hasil tangkapan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka,” ungkapnya.

Kesaksian ini memperlihatkan bahwa Teluk Balikpapan adalah sumber daya yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat nelayan tradisional. Namun, keputusan pemerintah yang membuka ruang bagi pembangunan pelabuhan STS dinilai hanya menguntungkan segelintir pihak tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang meluas.

Perairan Teluk Balikpapan: Kawasan Ekologis Strategis

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fenn, menekankan pentingnya Teluk Balikpapan sebagai kawasan ekologis strategis. Kawasan ini memiliki peran vital sebagai feeding ground, nursery ground, dan spawning ground bagi berbagai spesies laut. Selain itu, ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi pesisir dari abrasi serta dampak krisis iklim.

Namun, pembangunan pelabuhan batu bara yang dimulai sejak 2017 telah menimbulkan ancaman serius terhadap kelangsungan ekosistem dan kehidupan nelayan. Aktivitas alih muat kapal besar mengganggu area pemijahan dan pembesaran ikan. Selain itu, mangrove yang menjadi penyangga utama lingkungan ikut terdegradasi, mempercepat kerusakan lingkungan.

Limbah kapal, termasuk batu bara yang tercecer, ban bekas, kaleng, dan sampah lainnya, mencemari perairan Teluk Balikpapan. Hal ini tidak hanya mengotori laut, tetapi juga merusak alat tangkap ikan nelayan. “Lalu lintas kapal besar telah menghancurkan ratusan bagang (alat tangkap ikan tradisional), dan sekarang hanya tersisa satu bagang yang masih beroperasi,” jelas Fathur. Akibatnya, nelayan terpaksa melaut lebih jauh dengan biaya operasional yang lebih tinggi, sementara hasil tangkapan terus menurun.

Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 54 Tahun 2023 juga dinilai cacat secara administratif dan bertentangan dengan peraturan daerah. Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalimantan Timur telah menetapkan Teluk Balikpapan sebagai Zona Tangkap Nelayan. Namun, keputusan KM 54 mengabaikan ketentuan ini dengan menjadikan wilayah yang sama sebagai kawasan pelabuhan.

Mappaselle, perwakilan dari Pokja Pesisir yang merupakan Lembaga Anggota WALHI di Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa dokumen keputusan tersebut mengandung kesalahan administratif. Surat yang mencantumkan titik koordinat ruang tangkap nelayan disalahartikan sebagai rekomendasi untuk pengalihan fungsi ruang laut. Hal ini menunjukkan kurangnya kecermatan dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, keputusan ini melanggar tiga asas penting dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), yaitu kepastian hukum, kecermatan, dan ketelitian.

Dampak dari kebijakan ini meluas pada aspek sosial dan ekonomi. Pendapatan nelayan menjadi tidak menentu, sehingga mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Minimnya pengakuan terhadap kearifan lokal juga menjadi sorotan. Sistem pengelolaan wilayah berbasis tradisi, yang selama ini menjaga keseimbangan ekosistem Teluk Balikpapan, terpinggirkan oleh kebijakan pembangunan yang cenderung berpihak pada industri ekstraktif.

Menurut Fathur, hingga saat ini tidak ada bentuk pertanggungjawaban dari pihak swasta maupun pemerintah terkait dampak-dampak yang dirasakan masyarakat. “Kebijakan yang tidak berpihak pada ekosistem dan masyarakat tradisional hanya akan mempercepat kerusakan lingkungan dan memperparah ketimpangan sosial di wilayah ini,” tegasnya.

Teluk Balikpapan: Sumber Kehidupan yang Harus Dilindungi

Teluk Balikpapan bukan hanya kawasan perairan yang kaya keanekaragaman hayati, tetapi juga menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat pesisir. Melindungi kawasan ini bukan hanya soal keberlanjutan lingkungan, tetapi juga memastikan keadilan sosial bagi masyarakat yang bergantung pada kekayaan alamnya.

Adam Kurniawan, Kepala Divisi Publik Engagement WALHI Nasional, menegaskan bahwa, “Nelayan adalah penjaga utama ekosistem perairan Teluk Balikpapan. Penting bagi kita untuk menghormati dan melindungi ruang tangkap mereka demi keberlanjutan sumber penghidupan nelayan tradisional.”

Jika kerusakan ini terus berlanjut, Teluk Balikpapan berisiko kehilangan keanekaragaman hayatinya. Hal ini tidak hanya akan berdampak pada nelayan, tetapi juga pada keberlanjutan ekologi kawasan tersebut secara keseluruhan. Limbah batu bara, yang selama ini menjadi masalah utama, bukan satu-satunya ancaman. Keberadaan pelabuhan baru ini akan meningkatkan aktivitas alih muat kapal yang membawa komoditas lain, menciptakan alur pelayaran yang lebih masif.

Kerusakan Teluk Balikpapan adalah ancaman nyata bagi masa depan ekosistem dan kehidupan ribuan nelayan tradisional. “Koalisi Nelayan Teluk Balikpapan mengajak semua pihak untuk bergabung dalam perjuangan ini dan mendukung upaya untuk melindungi Teluk Balikpapan,” ujar Adam Kurniawan.

Gugatan terhadap KM 54 Tahun 2023 bukan hanya upaya hukum, tetapi juga simbol perlawanan masyarakat nelayan terhadap kebijakan negara yang mengabaikan hak-hak mereka. Teluk Balikpapan harus dilindungi demi keberlanjutan ekosistem dan keadilan bagi masyarakat lokal.

Melalui gugatan ini, WALHI dan Pokja Pesisir menuntut pemerintah untuk mencabut Keputusan KM 54 Tahun 2023. Langkah ini penting untuk melindungi hak nelayan tradisional, memulihkan ekosistem Teluk Balikpapan, dan menciptakan kebijakan yang lebih berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial.


Contact Person
Fathur Rozikin Fenn, +62 811-598-002 (Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Timur)
Adam Kurniawan, +62 811-589-856 (Publik Engagement WALHI Nasional)