catatan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Jawa Barat 2018

CATATAN AKHIR TAHUN LINGKUNGAN HIDUP JAWA BARAT 2018[1] :

Pembangunan di Jawa Barat Masih Abaikan Lingkungan Hidup DAS dan HAM

oleh Walhi Jawa Barat

STATUS LINGKUNGAN HIDUP JAWA BARAT

Laju kerusakan dan pencemaran Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jawa Barat semakin meningkat dan tidak menunjukkan adanya penurunan. Pencemaran air dan udara di wilayah kawasan industri dan perkotaan pun telah berada pada ambang yang tidak hanya membahayakan bagi kesehatan penduduk namun juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan layanan ekosistem Daerah Aliran Sungai.

Paradigma pembangunan lebih kuat mengedepankan kepentingan ekonimi politik dan investor untuk mengejar keuntungan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga, memperparah dan memperpanjang rantai kerusakan lingkungan hidup yang berakumulasi memicu terjadinya bencana; banjir, longsor, kekeringan, pencemaran sungai dan udara. Selain korbankan lingkungan, Paradigm pembangunan seperti ini mengakibat semakin banyaknya ruang hidup rakyat yang terampas dan pelanggaran HAM.

Selama tahun 2018, status lingkungan hidup di Jawa Barat tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Indek Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Jawa Barat masih bernilai 50 dari rentang nilai indeks 0-100, pada status sangat kurang baik merujuk pada laporan KLHK RI. Indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) Provinsi Jawa Barat berada diperingkat 32 dari 34 Provinsi se Indonesia. Indeks tutupan hutan masih dibawah 40, indeks kualitas air dibawah 30 dan indek kualitas udara di bawah 70.

Status lingkungan hidup Jawa Barat yang menujukkan bahwa kualitas layanan alam DAS masih sangat buruk. Percepatan pemulihan kerusakan dan pencemaran DAS belum dijalankan secara maksimal oleh pemerintah dan pemerintah daerah serta perusahan-perusahaan yang ada di wilayah Jawa Barat.

 Evaluasi Walhi Jawa Barat terhadap RPJMD 2013-2018[2] sebagai berikut :

  1. Target pencapaian sebagai Green Province tidak tercapai, pencapaian luasan kawasan lindung hanya 38% dari total wilayah Jawa Barat, masih jauh dari target 45% dari total wilayah Jawa Barat
  2. Kebijakan dan program Control Pollution Manajement (CPM)/Manajemen Kontrol Polusi/Pencemaran air, tanah dan udara (limbah industri, domestik) tidak berjalan efektif dan maksimal
  3. Semakin meningkatnya laju alih fungsi hutan dan lahan sawah produktif oleh berbagai aktivitas pembangunan infrastruktur skala besar,dan
  4. Gagalnya mempertahan kawasan lindung provinsi dari praktik pertambangan.

 

BENCANA LINGKUNGAN HIDUP

Selama tahun 2018, warga dan wilayah Jawa Barat tidak pernah terbebas dari bencana lingkungan hidup seperti longsor, banjir, gerakan tanah, angina putting beliung, kebakaran hutan dan lahan. Di sisi lain, wilayah Jawa Barat menyimpan potensi bencana alam vulkanik dan tektonik.

Berdasarkan catatan Walhi Jawa Barat per 20 Desember 2018, korban meninggal akibat bencana alam dan lingkungan di Jawa Barat mencapai 32 orang. Jumlah kejadian bencana alam dan lingkungan hidup selama tahun 2018 sekitar 824 kejadian yang meliputi longsor (208), banjir (222), angin puting beliung (69), pergerakan tanah (25), kebarakan hutan dan lahan (3), kebakaran hunian (129). Banjir bandang selama tahun 2018 sudah terjadi sebanyak 8 kali di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Kuningan, Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Sukabumi.[3]

PENGADUAN WARGA SELAMA TAHUN 2018

Selama tahun 2018, selain melakukan penanganan kasus-kasus lingkungan hidup tahun sebelumnya, Walhi Jawa Barat mendapatkan pengaduan-pengaduan kasus-kasus pembangunan dan ancaman perusakan lingkungan hidup sebanyak 14 kasus[4], Kasus-kasus tersebut adalah

  1. Pembangunan perumahan di sempadan sungai dan waduk Saguling di Desa Pangauban Kecamatan Batujajar Bandung Barat Batujajar
  2. Pencemaran limbah pabrik yang menyebabkan bau di Perumahan Pesona Madani dan Graha Dinatera Kota Depok
  3. Pertambangan galian C tidak berizin di Desa Ciparanti Pangandaran
  4. Pembangunan Perusahaan Air di Desa Sukaluyu kecamatan Tamansari Bogor
  5. Penambangan dan Pencemaran Sungai Cimahi Cibadak Sukabumi
  6. Perdangan satwa liar dan lindungi di Kota Cimahi
  7. Pertambangan galian C di Desa Hambalang Kabupaten Bogor
  8. Pencemaran sungai Cileungsi oleh pabrik tekstil di Kabupaten Bogor
  9. Pencamaran sungai Tonjong oleh limbah Pabrik PT PECU di Kabupaten Pangandaran
  10. Pembangunan trace KCIC yang akan menghilangkan RTH Publik di perumahan Margawangi Cijawura Kota Bandung
  11. Pembangunan Universitas Muhamadiyah Bandung (UMB) di Perumahan Cipadung Penyileukan Kota Bandung yang dilakukan sebelum Amdal dibuat dan izin lingkungan dan IMB dikeluarkan.
  12. Proyek pembangunan waduk Cibeet seluas 2000 ha di Tanjung Sari Kabupaten Bogor
  13. Proyek pembangunan kolam Retensi Cieunteung Baleendah Kabupaten Bandung
  14. Pertambangan galian C di wilayah DAS Ciasem Kabupaten Subang
  15. Perluasan pembangunan sarana komersil PT Bandung Pakar di Desa Mekarsaluyu dan Cibeunying Kawasan Bandung Utara
  16. Kasus penembakan macan kumbang di Sukanagara Soerang
  17. Pengaduan keluarnya Izin Pembuangan Limbah B3 dari KLHK kepada PT SPV di Purwakarta yang maladministrasi
  18. Pengaduan perubahan fungsi Cagar Alam Kamojang dan Papandayan menjadi Taman Wisata Alam

Kasus Proyek PLTU Batubara Indramayu dan Cirebon

Selama tahun 2018, Walhi Jabar fokus dalam pembelaan hak-hak korban proyek strategis nasional PLTU Indramayu dan Cirebon. Warga melakukan berbagai upaya baik secara politik maupun hukum.

Warga JATAYU dan Cirebon telah memenangkan gugatan izin lingkungan pembangunan PLTU di Indramayu di pengadilan TUN Bandung, namun untuk kasus PLTU Indramayu gugatan warga dikalahkan di Pengadilan PT TUN dan Mahkamah Agung. Untuk kasus pembangunan PLTU Cirebon, Pemprov Jawa Barat mengeluarkan izin lingkungan baru yang kembali digugat namun kalah. Upaya warga pun tidak berhenti, Warga Cirebon akan melakukan banding dan kasasi kembali, dan warga Jayatu akan melakukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

Dalam upaya membatalkan proyek PLTU, warga telah berhasil menunda pencairan pendanaan dan pembangunan proyek PLTU di Indramayu dan Cirebon walaupun berujung kriminalisasi warga dan penjara. Hingga saat ini belum ada kejelasan pembatalan proyek PLTU di Jawa Barat.

Kasus Pembangunan Pabrik Semen SCG; Sulitnya Akses Informasi Publik.

Selama tahun 2018, warga korban pembangunan Pabrik Semen PT SCG mengadukan permasalahan dampak pembangunan dan operasi pabrik semen PT SCG. Selama hampir 1 tahun warga berjuang memperoleh dokumen perizinan bangunan dan lingkungan hidup harus bersengketa di pengadilan TUN Bandung hingga ke Mahkamah Agung.

Melalui proses sengketa informasi di KID Jabar dan pengadulan, akhirnya, warga mendapatkan akses informasi salinan perizinan pembangunan berupa dokumen amdal, persetujuan amdal dan izin mendirikan bangunan (IMB) dengan susah payah dan harus berurusan dengan pengadilan. Begitu sulitnya warga mendapatkan salinan dokumen publik.

Kasus Pembangunan Proyek Rumah Deret Taman Sari Kota Bandung : Lemahnya Penegakan Hukum Lingkungan Hidup

Kasus pembangunan rumah deret Taman Sari adalah salah satu contoh nyata lemahnya penegakan hukum lingkungan. Pemkot Bandung dan kontraktor melakukan proses pematangan lahan, pembongkaran bangunan warga ketika Amdal, Izin Lingkungan dan IMB belum dibuat secara partisipatif dengan melibatkan warga korban.

Pada bulan April 2018, Warga dan Walhi Jawa Barat melaporkan pidana lingkungan hidup kepada pemkot Bandung dan kontraktor PT Sartonia Agung dll kepada Polda Jawa Barat. Namun, proses penegakan hukum berjalan lambat, Polda Jawa Barat terkesan tidak serius menangani kasus pidana lingkungan ini. Hingga akhir desember 2018, tidak ada kejelasan kelanjutan kasus pidana ini.

KRIMINALISASI PETANI DAN PEJUANG LINGKUNGAN HIDUP

Bukan hanya ruang hidup dan lingkungan rakyat yang terampas, rakyat pun telah dikriminalisasi bahkan harus mendekam dijeruji penjara karena melakukan perlawanan. Selama tahun 2018, rakyat mengalami intimidasi, kriminalisasi bahkan dipenjara, diantaranya 4 Orang petani Jatayu penolak PLTU batubara sudah dipenjara 6 bulan. Kemudian bulan September 2018, ada 3 orang petani JATAYU kembali ditahan dan sedang menjalani persidangan dengan tuduhan pemasangan bendera terbalik.

Selain kasus kriminalisasi yang dialami petani Jatayu Indramayu, kasus kriminalisasi warga, petani dan aktivis lingkungan hidup juga terjadi di Cibitung Sukabumi (4 orang), Antajaya Bogor (4 orang), Purwakarta (1 orang), Pasir Datar Sukabumi (9 orang), Banjar (11 orang). Warga yang mengadu dan bersengketa ruang dan lingkungan pun mengalami intimidasi dan ancaman dari aparat keamanan dan pemerintah.

Bukan hanya di kasus PLTU Indramayu, intimidasi dan kriminalisasi teralami oleh warga yang berada di Kawasan Bandung Utara, korban pembangunan sarana komersil PT Bandung Pakar. Ada 3 orang warga yang dikriminalisasi, bahkan Pak Dahlan sudah divonis 7 bulan pidana dan sekarang berada di LAPAS Jelekong Baleendah.

PENURUNAN FUNGSI CAGAR ALAM MENJADI TAMAN WISATA ALAM

Awal tahun 2018, KLHK RI pada tanggal 10 Januari 2018 atas dasar PP No 104 tahun 2015[5] mengeluarkan keputusan perubahan fungsi CA Kamojang seluas 2.391 Ha dan CA Papandayan seluas 1.991 Ha menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Keputusan ini dibuat secara diam-diam, tanpa pelibatan publik dan para penggiat lingkungan.

Kami menilai dengan perubahan fungsi CA menjadi TWA, lebih tepatnya adalah penurunan fungsi. KLHK RI sangat tidak memihak pada hak alam. Keputusan ini sangat keliru, mengingat wilayah CA di Kamojang adalah hulu DAS CItarum dan CA Papandayan adalah Hulu DAS Cimanuk. Dipastikan, penurunan fungsi kawasan ini akan mempercepat degrdasi ekosistem hutan dan ekspansi bisnis wisata. Hutan alam akan semakin rusak ke depan, habitat akan semakin terancam.

Walhi Jawa Barat menilai, kebijakan perubahan fungsi kawasan Cagar Alam yang diawali dengan CA Kamojang dan Papandayan akan meluas ke kawasan-kawasan Cagar Alam lainnya di Jawa Barat dan di Indonesia. Ini preseden kebijakan buruk bagi kepentingan konservasi kawasan hutan di Indonesia.

KAWASAN BANDUNG UTARA DAN PERLUASAN TAHURA

Perda No 2 Tahun 2016 tentang pengendalian pemanfaatan ruang KBU[6] sebagai KSP Jawa Barat[7] belum efektif dan solutif mencegah alih fungsi KBU dari ekspansi bisnis wisata dan sarana komersil lainnya. Di lapangan, pengembangan dan perluasan sarana wisata yang merusak fungsi kawasan resapan terus berlangsung baik di Kota Bandung, Bandung Barat, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi.

Untuk mencegah kerusakan kawasan resapan KBU dan meminimalisir banjir di Cekungan Bandung maka komitmen Pemerintah Pusat untuk memperluas TAHURA sebagai hutan konservasi perlu segera dipercepat. Komitmen baik ini harus segera direalisasikan untuk menambah hutan konservasi Tahura dari 528, 39 ha menjadi sekitar 3.000 ha. Ini bisa dilakukan dengan mengubah peruntukan dan fungsi kawasan hutan produksi dan lindung yang selama ini dikuasai oleh Perum Perhutani.

KLHK RI, Gubernur Jawa Barat, Perum Perhutani bisa secara aktif mempercepat perluasan ini. Gubernur Jawa Barat harus aktif karena Tahura ada dalam kewenangan provinsi Jawa Barat. Bahkan Gubernur Jawa Barat bisa mengambil kebijakan dengan melakukan pembelian lahan-lahan resapan yang rusak, kritis dan terancam oleh bisnis properti untuk dihutankan. Hal ini perlu dilakukan agar KBU bisa terselamatkan dan bencana di cekungan Bandung bisa dikurangi.                                        

2 TAHUN PERHUTANAN SOSIAL DI JAWA BARAT; BELUM BERJALAN MULUS

Program perhutanan sosial kementerian lingkungan hidup dan kehutanan Republik Indonesia yang dimulai sejak lahirnya peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan republik indonesia nomor : p.83/menlhk/setjen/kum.1/10/2016 tentang perhutanan sosial membawa angin segar bagi sebagian petani penggarap kawasan hutan yang selalu menjadi kelompok masyarakat yang jauh dari sentuhan negara. Meskipun aturan ini tidak mendelegitimasi Perum Perhutani yang telah gagal melindungi dan mengelola hutan di Jawa.

Peraturan      menteri lingkungan hidup dan kehutanan republik indonesia nomor : p.83/menlhk/setjen/kum.1/10/2016 tentang perhutanan sosial yang lalu diikuti oleh peraturan menteri lingkungan        hidup  dan kehutanan republik Indonesia nomor :                             p. 39/menlhk/setjen/kum.1/6/2017 tentang perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani diharap dapat sedikit demi sedikit membuka dan menyelesaikan masalah atau konflik yang ada, dapat menata ulang hak pengelolaan dan hak garapan, memberikan peningkatan kapasitas masyaralat baik melalui pembinaan, pelatihan maupun bantuan langsung sesuai kebutuhan para petani penggarap sekitar hutan.yang tak kalah penting adalah memberikan jaminan akses kelola lahan yang dijamin dan dilindungi oleh negara.

Harapan tersebut tersirat dan tertuang dalam maksud dan tujuan kedua peraturan menteri lhk diatas, namun pada kenyataannya proses kearah tersebut banyak rintangan dan hambatan baik yang diciptakan oleh negara melalui perdirjen sebagai turunan aturan diatas maupun intimidasi, pembodohan yang diciptakan oleh sekelompok orang yang merasa terganggu akan hadirnya kedua peraturan terssebut.

Kedua peraturan dibatas tentunya akan berjalan sesuai dengan harapan jika dijalankan dengan baik oleh negara dan diawasai oleh masyarakat sipil yang turut ambil bagian dalam menentukan sebuah proses. Masyarakat akan menjadi aktor pelaku yang dapat menentukan agar terwujud minimal dua tujuan utama yaitu : meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan serta menjadi garda terdepan dalam perlindungan kawasan baik dengan cara rehabilitasi,restorasi,atau pengawasan kawasan hutan agar dapat terjaga scara lestari juga terus mengarah ke perbaikan kawasan rusak.

Namun tidak lama aturan pertama lahir dan belum secara massif tersosialisasikan dengan baik keluarlah peraturan kedua peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan republik indonesia nomor : p. 39/menlhk/setjen/kum.1/6/2017 tentang perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani khusus di areal wilayah Jawa dan sebagian Madura.dari pemahaman ini yang kita kaji dan baca sampai ke turunan peraturan yang dikeluarkan melalui perdirjen PSKL[8] ataupun KSDHE yang dikeluarkan kami masih menilai perlu adanya revisi disesuaikan dengan pengalaman dan fakta serta data yang ada. Awal tahun 2019, waktu yang tepat sebagai bahan evaluasi hal tersebut

Seiring berjalan dalam kurun waktu 2 tahun sejak dikeluarkannya program ini sudah mulai bermunculan kelompok-kelompok yang bermain dan mencari celah kelemahan untuk kembali membuka peluang dan mempertahankan kondisi lama yaitu forest kapitalis bukan forest sosial. Hal ini lah yang kami sesalkan dimana negara tidak tegas dalam melindungi masyarakat kecil, negara cenderung tetap mengakomodir para kapitalis dan terkesan cuci tangan jika kedepan terjadi permasalahan.baik antara masyarakat dengan masyarakat,masyarakat dengan kapitalis atau masyarakat dengan pengelola yang ditunjuk oleh negara

Seiring hal tersebut dan kuatnya modal, jaringan, dan kekuatan lainnya kami yakin masyarakat akan banyak yang dikalahkan. Ke depan dimungkinkan konflik baru bermunculan, walau kapitalis sudah mulai merubah strategi, oknum menjadi bagian dari program, dan negara hanya akan cuci tangan dengan berkata masyarakat belum siap jangan dipaksakan.

Dari evaluasi dan laporan lapangan FK3I Jawa Barat, ada beberapa permasalahan dalam program perhutanan sosial, diantaranya :

  1. Kelompok masyarakat pengusul tidak berdaya menentukan pilihan,
  • Dalam skema kulin kk nama kelompok pengusul terkesan diwajibkan memakai nama lembaga tertentu
  • Luas garapan, nama penggarap serta tempat garapan sulit didapat validasinya karena tertutupnya data dari pengelola kawasan
  • Dalam skema IPHPS[9] yang didalam amanat perdirjen perlu dilakukan tuplah oleh Dirjen PKTL[10] menjadi kendala serius karena
  1. Dirjen PKTL dalam melakukan tuplah tidak terbuka dan terkesan menutup diri untuk berkomunikasi dengan para petani yang arealnya akan di tuplah
  2. Hasil tuplah,tata cara tuplah,dan lamanya kajian tuplah menghambat proses usulan sehingga terkesan memberi peluang bagi pengelola agar segera melakukan kegiatan rehabilitasi lahan sehingga hasil tuplah perlu dipertanyakan dasar kepentingannya
  3. Hasil tuplah tidak dipublish hanya dilaporkan terhadap satu pihak dalam hal ini masih bagian dari negara sedangkan pengusul terkadang hanya diinformasikan secara lisan saja
  4. Program rehabalitisasi lahan kritis yang dikeluarkan Dirjen DAS terkesan dilaksanakan secara masif setelah keluarnya dua peraturan menteri diatas padahal kondisi kerusakan hutan sudah terjadi lebih dari 5 tahun kebelakang

 

  1. Pengusaha selalu menjadi prioritas atas nama kepentingan nasional

Atas nama kepentingan nasional negara dengan mudah mengeluarkan ijin pinjam pakai kawasan atau pelepasan kawasan, padahal fakta di lapangan para kapital pemegang ijin bertahun tahun telah abai dan lalai terhadap negara baik dalam hal tanggung jawab penandaan batas maupun pembayaran terhadap negara dalam hal ini PNPB atau PSDH dengan dalil perusahaan belum mendapatkan untung dan alasan lainnya[11]. Padahal disanalah konflik yang sering terjadi,dengan sederhana dan enteng mereka hanya bilang geser kiri aja atau relokasi lahan.sungguh naif masyarakat disamakan dengan benda mati yang mudah dipindah piindah tanpa memikirkan sosial dan konflik baru

  1. Belum terjadinya sinergitas antara para penguasa terkait pemahaman rencana aksi dan srategi program perhutanan sosial.

 Kami masih melihat di dalam lingkup kementerian lingkungan hidup dan kehutanan para eselon satu setingkat dirjen, staf ahli menteri, serta para bawahan nya belum mempunyai pandangan yang sama,bekerja parsial, dan acuh terhadap tanggung jawab korsa sebagai aparatur sipil negara di bawah kementerian lingkungan hidup dan kehutanan ri

  1. Perdirjen sebagai juklak dan juknis pelaksanaan program perhutanan sosial perlu dikaji ulang

 Beberapa point dalam perdirjen perlu dikaji ulang contoh :

  • Pengusul harus mengetahui petak dan anak petak sedangkan kita ketahui semua petak dan anak petak dibuat pengelola tanpa disosiaisasikan terhadap para penggarap sehingga para penggarap masih menggunakan nama lokal dengan nama blok pengelolaan
  • PKS[12] antara pengelola dengan pihak lain jarang diketahui oleh kelompok penggarap
  • Tata cara monitoring, pelaksana monitoring serta hasil monitoring tidak dipertegas dalam perdirjen yang ada
  1. Pengalokasian anggaran perhutanan sosial yang baku dan kaku tanpa disertai masterplan masing masing wilayah sehingga tidak tepat guna tepat sasaran dan tepat harapan

Contoh kecil :

  • Bantuan alat produksi kopi bagi pemegang SK yang belum akan memproduksi kopi ( baru akan menanam )
  • Kegiatan pelatihan dan pembinaan yang dijalankan terkesan hanya untuk kepentingan serapan anggaran bukan capaian output kegiatan
  • Pembentukan pokja pps tiap daerah hanya terkesan bumper jika masalah kedepan timbul,bukan atas dasar pelibatan masyarakat sipil yang mempunyai kapasitas pemberdayaan, pelestarian dan pengorganisasian

SATU TAHUN PROYEK CITARUM HARUM

Sejak digulirkan bulan Desember 2017, proyek Citarum harum dan kemudian diperkuat dengan Perpres No 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum[13], hampir 1 tahun proyek Citarum berjalan. Pemerintah (pusat) memang harus mengeluarkan kebijakan ini untuk menjalankan mandat Keppres 12 tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai. Wilayah Sungai Citarum ditetapkan sebagai sungai strategis nasional. Tentu kami mengapreasi kebijakan ini, dan semoga menjadi proyek terakhir di Citarum dengan biaya yang sangat besar.

Kemudian bukan karena mandate Kepres saja, percepatan pemulihan kerusakan dan pencemaran lingkungan di DAS Citarum harus dilakukan karena hampir 40 tahun degradasi lingkungan DAS Citarum mengalami degradasi lingkungan, daya dukung dan kualitas lingkungan hidup semakin menurun karena alihfungsi lahan resapan, pencematan limbah pabrik dan domestik semakin besar.

 Dari kebijakan dan perkembangan lapangan dapat kami sampaikan beberapa evaluasi 1 tahun Citarum di antaranya adalah :

  1. Belum adanya roadmap yang utuh dan komprehensif berbasi data mutakhir atas program dan kegiatan apa saja yang akan dijalankan selama 7 tahun ke depan
  2. Transparansi anggaran proyek Citarum yang belum jelas sumber dan besarannya selama 7 tahun
  3. Program-program yang ada dan sedang dijalankan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Jawa Barat terkesan top down belum melibatkan secara aktif inisiatif-inisiatif masyarakat /komunitas yang telah berjalan
  4. Mandegnya penegakan hukum yang dijalankan oleh Kepolisian RI terutama untuk penegakan hukum bagi pengusaha-pengusaha industri yang mencemari DAS Citarum
  5. Faktor pembeda antara proyek-proyek Citarum sebelumnya dengan proyek Citarum Harum adalah pelibatan aktif TNI di lapangan

 Insinerator (Tungku Bakar) dalam Proyek Citarum ; Meracuni Manusia dan Alam

Menjelang akhir tahun 2018 Pemerintah Provinsi Jawa Barat mempublikasi rencana yang tidak sejalan dengan semangat mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berkelanjutan. Melalui pernyataan resminya Pemprov Jawa Barat akan menyebarkan insinerator di 50 titik DAS Citarum. Pemprov Jawa Barat berpendapat dan menyepakati bahwa penyebaran insinerator tersebut dapat mengatasi masalah sampah yang ada di sungai Citarum. Dimana secara teknis sampah yang ada di sungai Citarum akan diangkut lalu dibakar habis menggunakan insinerator[14].

Pada awalnya insinerator merupakan solusi di Negara maju yang tidak memiliki lahan cukup untuk mengelola sampah. Namun dalam perkembangannya insinerator malah menyebabkan masalah yang lebih krusial. Di Inggris insinerator berdampak pada penurunan kualitas kesehatan warga, terutama penyakit kulit, hati dan pernapasan. Di Cina beberapa penduduknya mengalami kanker otak. Selain itu juga insinerator menyebabkan menurunnya populasi Elang Botak di Gulf Coast, Florida, serta flora dan fauna lainnya di beberapa negara maju dan negara berkembang lain[15]. Dampak polutif yang sangat berbahaya akibat pengoperasian insinerator adalah dampak dari Dioxin dan Furan yang ikut bermigrasi ke dalam rantai makanan dan air. Seperti yang dialami kandidat Presiden Ukraina Yushchenko pada tahun 2004, dimana dia keracunan dioxin dengan gejala sakit punggung dan kelumpuhan muka di bagian kiri yang tidak bisa disembuhkan[16].

Dari aspek finansial, pengoperasian insinerator sebenarnya sangat berbiaya tinggi. Khususnya insinerator modern yang digunakan untuk menghasilkan listrik. Dimana pengelola insinerator tersebut harus benar-benar menekan volume racun Dioxin dan Furan yang dihasilkan dari proses pembakaran. Walaupun faktanya Dioxin dan Furan tersebut masih bisa lepas ke udara. Oleh karena itu teknologi yang digunakan sangat modern yang tentunya menuntut pembiayaan yang sangat mahal pula. Biaya yang sangat tinggi diperlukan juga untuk memantau dan mengkaji volume sebaran Dioxin dan Furan yang lepas ke udara. Sebagai wujud tanggung jawab lingkungan dan sosial dari operator insinerator tersebut.

Pemprov Jawa Barat mengklaim bahwa solusi insinerator di 50 titik DAS Citarum nanti hanya untuk sementara saja. Rencana tersebut tentunya sangat rentan, mengingat budaya di masyarakat yang masih terbiasa membuang sampah sembarangan. Penggunaan insinerator tentunya akan memunculkan anggapan di masyarakat bahwa masalah sampah akan selesai dengan cara dibakar. Dan besar kemungkinan insinerator akan digunakan dalam jangka panjang, bahkan seterusnya. Sehingga upaya pengelolaan sampah secara bijak oleh masyarakat yang selama ini dilakukan di hulu akan menjadi sia-sia.

Oleh karena itu menurut WALHI Jawa Barat rencana Pemprov mengoperasikan insinerator di 50 titik DAS Citarum sangat tidak tepat. Pemprov Jawa Barat tidak secara utuh melihat dampak buruk jangka panjang dari insinerator. Adalah sangat tidak mungkin insinerator digunakan untuk sesaat, sementara dibeli dengan anggaran besar.

Maka dari itu di penghujung tahun 2018 ini, terkait rencana Pemprov Jawa Barat tersebut, WALHI Jawa Barat memberikan pandangan dan catatan khusus, serta menyatakan sikap, diantaranya :

  1. Cara pandang Pemprov Jawa Barat dalam mengatasi sampah di sungai Citarum hanya bertumpu di sektor hilir.
  2. Solusi insinerator sangat tidak tepat karena merupakan solusi jangka pendek tanpa berupaya memikirkan penyelesaian di sektor hulu.
  3. Insinerator hanya akan menambah permasalahan semakin buruknya kualitas udara dan lingkungan terutama di lokasi penempatannya.
  4. Pemprov Jawa Barat tidak secara utuh melakukan kajian dampak dari pengoperasian insinerator. Mendesak Pemprov Jawa Barat untuk membatalkan rencana pengoperasian insinerator di 50 titik DAS Citarum.

 Adapun rekomendasi yang coba ditawarkan oleh WALHI Jawa Barat, adalah :

  1. Edukasi secara masif pengelolaan hingga pengurangan sampah kepada berbagai elemen masyarakat, badan publik, dan swasta di sektor hulu. Terutama masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai Citarum dan anak-anak sungainya.
  2. Pemprov Jawa Barat harus melakukan kajian dampak lingkungan insinerator untuk kemudian dipublikasikan secara transparan kepada publik.
  3. Secara teknis sampah yang terlanjur ada di sungai Citarum dapat diangkut untuk kemudian dilakukan pemilahan di area tertentu yang jauh permukiman, dengan berpedoman pada kajian AMDAL

 PENGEMBANGAN DAN PERLUASAN KORIDOR INDUSTRI DI JAWA BARAT

Awal tahun 2018, Pemerintahan Provinsi Jawa Barat membuat kebijakan dan keputusan politik baru dengan penyusunan raperda pengembangan industri di Jawa Barat. Pengembangan industri Jawa Barat berbasis manufaktur bukan agraris. Selain itu, dda penambahan wilayah koridor dari 3 koridor menjadi 6 koridor, menambah zona-zona industri baru baik di wilayah utara, tengah dan selatan Jawa Barat.

Tentu, Walhi Jawa Barat sangat konsent untuk mengkritisi kebijakan ini karena akan memberikan dampak penting bagi keberlanjutan layanan alam DAS di Jawa Barat. Dari subtansi raperda yang kami kaji, Walhi Jawa Barat memberikan beberapa catatan kritis atas isi dan proses penyusunan raperda sebagai berikut

 

Aspek

Potensi Dampak Ke Depan

Lingkungan Hidup

-   Raperda tanpa didasari oleh Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

-   Perluasan dan penambahan koridor kawasan industri dari 3 menjadi 6 buah akan membawa dampak alih fungsi lahan sawah, ladang dan resapan air dan menambah kerusakan dan pencemaran DAS penting di Jawa Barat seperti Citarum, Ciliwung, Cipunagara, Cimanuk, Cisanggarung, Citanduy, Cilaki, Cimandiri

-   Selain itu akan memberikan dampak sosial, perampasan tanah dan lahan pertanian warga

Kebencanaan

-   Saat ini kuantitas bencana lingkungan hidup di Jawa Barat terus meningkat baik di daerah hulu maupun hilir termasuk di wilayah-wilayah lokasi pembangunan industri

-   Ke depan bencana lingkungan akan semakin meningkat

Alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan dan Produktifitas pangan

-  Alih fungsi lahan pertanian saat ini sudah sangat masif, ke depan lahan pertanian produktif akan semakin berkurang

-  Banyak kasus pembangunan kawasan industri di lahan/wilayah-wilayah resapan air

-  Jumlah petani akan semakin berkurang

-  Produktifitas hasil pertanian juga akan menurun, taksiran pengembangan industri akan membutuhkan lahan pertanian sebanyak 110.000 ha maka akan kehilangan pangan beras sebanyak 682.849,3 Ton /tahun

Air

-   Pengembangan industri mengakibatkan kebutuhan air meningkat meskipun potensi air cukup besar namun kondisi sumber-sumber air cukup kritis

-   Kebutuhan air untuk kebutuhan rumah tangga pun terus meningkat, harus ada alokasi kebutuhan air untuk warga/rumah tangga terlebih dahulu

-   Keberadaan waduk dan bendungan yang sudah, sedang dan akan dibangun sebenarnya diperuntukkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan air untuk industri dan properti

Energi

-  Kebutuhan energi listrik industri sangat besar

-  Emisi karbon dari aktivitas industri pun akan semakin meningkat

-  Penggunaan batubara untuk PLTU akan semakin besar dan menambah emisi karbon di udara

Sampah dan Limbah

-  Produksi sampah dan limbah baik cair, padat dan gas akan semakin meningkat

-  Keberadaan dan kualitas DAS akan semakin menurun, Karena sungai dijadikan tempat pembuangan sampah dan limbah.

 

 

Dari kajian kebijakan pengembangan industri di Jawa Barat dapat disimpulkan bahwa :

  1. Kebijakan pengembangan industri /penambahan koridor industri di Jawa Barat tanpa didasari oleh KLHS dan RTRW Provinsi Jawa Barat yang saat ini sedang direvisi
  2. Perluasan/penambahan koridor industri di Jawa Barat akan memberikan dampak penting pada kehidupan sosial, ekonomi kaum tani dan keberlanjutan layanan alam Jawa Barat
  3. Penambahan koridor industri dari 3 menjadi 6 koridor berpotensi mengurangi lahan pertanian produktif dan mengurangi produktifitas pangan

Merespon ini maka Walhi Jawa Barat memberikan rekomendasi :

  1. Pemerintah Jawa Barat mengkaji kembali rencana peraturan daerah tentang pengembangan industri di Jawa Barat
  2. Pemerintah Jawa Barat melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) terlebih dahulu untuk memastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
  3. Pemerintah Jawa Barat harus mengkaji raperda ini karena revisi rencana tata ruang wilayah masih berlangsung, belum final.
  4. Pemerintah Jawa Barat tidak menambah koridor indutsri baru yang akan memberikan daya rusak yang lebih parah atas kondisi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat.

 TUNTUTAN ATAS JANJI POLITIK RINDU

Tahun 2018, dalam momentum PILGUB Jawa Barat Berikut adalah bentuk komitmen politik LH yang ditandatangani oleh dua pasangan kandidat Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat pada saat dialog publik tanggal 3 Mei 2018. Komitmen politik LH sebagai berikut :

  1. Membuat kebijakan dan program pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang mengarusutamakan perlindungan keberlanjutan lingkungan berbasis Daerah Aliran Sungai dan mengarusutamakan pengurangan resiko bencana lingkungan hidup yang lebih jelas, terukur dan solutif.
  2. Mengkaji ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Barat 2009-2029 sebagai bahan dalam revisi RTRW Jawa Barat 20 tahun ke depan yang mengarusutamakan perlindungan dan keberlanjutan layanan alam DAS.
  3. Mengalokasikan anggaran lingkungan hidup untuk pencegahan kerusakan lingkungan hidup serta percepatan pemulihan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di seluruh DAS di Jawa Barat sebesar 5% sd 10% dari total APBD Jawa Barat di luar belanja pegawai
  4. Melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan organsiasi masyarakat sipil dalam menyusun RPJMD, RKPD dan APBD Jawa Barat.
  5. Melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam menyusun RPJMD 2018-2023 dengan melibatkan masyarakat dan organisasi-organisasi lingkungan di Jawa Barat
  6. Melakukan moratorium perizinan tambang di kawasan resapan air, gunung, kawasan hutan, pesisir dan karst, mengaudit perizinan tambang dan praktik pertambangan yang sedang berlangsung dan reviu Perda No 2 tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara di Jawa Barat.
  7. Membuat kebijakan energi bersih di Jawa Barat bukan PLTU Batubara, PLTSampah Berbasis thermal dan mendorong pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat untuk membuat masterplan pengelolaan sampah.
  8. Membuat kebijakan perlindungan lahan sawah produktif di seluruh wilayah Jawa Barat dari ekspansi industri dan kebijakan perlindungan wilayah-wilayah resapan air.

 RPJMD JABAR BELUM MEMPRIORITAS LINGKUNGAN HIDUP

Tahun 2018 adalah tahun dimana Jawa Barat memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur baru dalam 5 tahun ke depan. Setelah dilantik pada tanggal 5 September 2018, Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar diberikan mandat untuk menyusun RPJMD untuk periode 2018-2023.

Namun berdasarkan isi Rancangan Awal RPJMD Jawa Barat 2018-2023 yang disusun oleh Bappeda Jawa Barat, isu lingkungan hidup/DAS tidak menjadi program prioritias dan unggulan Gubernur Ridwan Kamil. Meskipun, Citarum menjadi perhatian, namun masalah lingkungan hidup di Jawa Barat bukan hanya Citarum. Banyak DAS di Jawa Barat lainnya yang membutuhkan penanganan dan percepatan pemulihan.

Dalam proses penyusunan RPJMD Jawa Barat 2018-2023, Walhi Jawa Barat mengusulkan agar lingkungan menjadi program prioritas pembangunan dalam 5 tahun ke depan. Oleh karena itu, Walhi Jawa Barat selama hampir 4 bulan melakukan proses-proses penyerapan aspirasi komunitas/masyarakat di Jawa Barat.

Berdasarkan kajian data dan lapangan Walhi Jawa Barat, isu strategis lingkungan hidup DAS di Jawa Barat adalah “JABAR DARURAT LINGKUNGAN HIDUP, JAWA BARAT DARURAT NERACA AIR DAS”, menurunnya daya dukung dan daya tampung ruang lingkungan hidup DAS dan ketidakseimbangan neraca air DAS di Jawa Barat.

Merujuk pada isu strategis dan permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Jawa Barat maka solusi strategis yang harus kita jalankan bersama dalam 5 tahun ke depan sebagai berikut :

  1. Mempercepat pemulihan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup DAS di Jawa Barat untuk meningkatkan IKLH Jawa Barat
  2. Mencegah penambahan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup DAS dalam 5 tahun ke depan
  3. Membangun Jawa Barat sebagai Resilience and Green Province berbasis perlindungan DAS dan kearifan lokal dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

Sedangkan arah kebijakan yang diusulkan oleh Walhi Jawa Barat untuk mencapai tujuan di atas makan arah kebijakan lingkungan hidup berbasis DAS ke depan yang harus dijalankan dalam 5 tahun sebagai berikut :

  1. Mendorong kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berbasis kearifan lokal
  2. Meningkatkan alokasi anggaran lingkungan hidup dengan besaran 5% sd 10% dari belanja dalam APBD
  3. Membuat kebijakan pencegahan dan penanganan kerusakan dan pencemaran LH di DAS di Jawa Barat yang menjadi kewenangan provinsi
  4. Penambahan indeks neraca air, indeks kesehatan DAS dalam indek kualitas lingkungan hidup
  5. Menjalankan kebijakan energi bersih, bukan energi kotor berbasis fosil dan insenerasi sampah
  6. Mempertahankan Kawasan Bandung Utara, Kawasan Bopunjur sebagai KSP Jawa Barat dengan fungsi lingkungan hidup
  7. Memasukan kawasan Geopark Ciletuh-Pelabuhan Ratu sebagai KSP Jawa Barat yang memiliki fungsi lindung geologi
  8. Kebijakan tidak mengeluarkan rekomendasi penurunan status kawasan hutan konservasi dan kawasan suaka alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) menjadi Taman Wisata Alam.
  9. Menerapkan kebijakan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam pembangunan infrastruktur skala besar, kawasan industri dan kawasan properti
  10. Menetapkan Kawasan Bandung Selatan sebagai Kawaan Strategis Provinsi Jawa Barat dan menjadikan Kawasan Hulu Citarum Kertasari sebagai kawasan unggulan pembibitan tanaman keras Jawa Barat
  11. Membangun kawasan lindung provinsi dalam RTRW Jawa Barat sebesar 51% dari total wilayah Jawa Barat
  12. Kebijakan konservasi air tanah dan mata air
  13. Mendorong penguatan pengawasan dan penegakaan hukum tata ruang dan lingkungan hidup yang lebih tegas
  14. Menjalankan kebijakan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan di Jawa Barat
  15. Moratorium izin pertambangan mineral dan bukan mineral di kawasan hutan, pesisir dan laut dan wilayah-wilayah resapan
  16. Menetapkan Daya Tampung Beban Pencemaran (DTBP) di DAS dan SUB DAS
  17. Mendorong aktivasi kelembagaan FPRB dalam pengurangan resiko bencana di Jawa Barat
  18. Mendorong penyusunan KLHS untuk pembangunan skala besar, lintas kabupaten/kota dan berdampak luas bagi lingkungan dan sosial.

 Untuk menjalankan tujuan dan arah kebijakan LH berbasis DAS, maka program prioritas yang harus di dorong dalam 5 tahun ke depan sebagai berikut :

  1. Program penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang, kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup
  2. Program konservasi air tanah, mata air dan permukaan
  3. Program penanganan pencemaran limbah industri dan domestik
  4. Program pembangunan kelembagaan masyarakat DAS, Sub DAS dan Mikro DAS di Jawa Barat
  5. Program fasilitasi penetapan lahan pangan berkelanjutan di Jaw Barat
  6. Program edukasi lingkungan hidup kepada semua pihak
  7. Program moratorium perizinan tambang dan air tanah dan evaluasi perizinan tambang dan pengambilan air tanah
  8. Program pengawasan implementasi tata ruang di Jawa Barat
  9. Program pengurangan resiko bencana alam dan lingkungan hidup

ANCAMAN PERUSAKAN LH DAN PENGABAIAN HAM KE DEPAN

Tahun 2019 nanti, rakyat Jawa Barat akan terus berhadapan dengan perampasan ruang hidup dan ancaman kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup seiring dengan keluarnya keputusan politik pembangunan dari pemerintah pusat dan daerah. Rakyat Jawa Barat akan berhadapan dengan konflik dan sengketa pembangunan; agraria dan lingkungan hidup. Karena keputusan politik RTRW, RPJMD dan proyek-proyek strategis nasional skala besar.

Beberapa kebijakan pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah tahun 2018, dipastikan akan mempercepat perusakan dan pencemaran lingkungan di Jawa Barat adalah Perpres No 45 tahun 2018 tentang Rencana Tataruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, Perpres 56 tahun 2018 tentang perubahan kedua Perpres No 3 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional dan PP No 24 tahun 2018 tentang pelayanan perizinan terintergrasi secara elektronik.

Merujuk pada kebijakan politik pembangunan pemerintah pusat dan daerah, rakyat Jawa Barat akan berhadapan perampasan ruang hidup seperti perluasan pembangunan industri di wilayah utara dan selatan Jawa Barat, pertambangan di Jabar Selatan, pembangunan infrastruktur skala besar dengan pembangunan jalan-jalan tol baru, bendungan, PLTU, pembangunan properti di kota-kota Baru di wilayah Jawa Barat.Dalam pelaksanaan proyek-proyek strategis nasional, dipastikan instrument hak asasi manusia berpotensi untuk diabaikan.

Revisi RTRW Jawa Barat Pro Modal Investor

Pembahasan revisi RTRW Jawa Barat[17] masih berlangsung hingga tahun 2018, dan belum selesai. revisi RTRW Jawa Barat harus didasarkan pada KLHS yang saat ini juga masih belum rampung. Dari isi revisi RTRW, kami telah memberikan catatan kritis kepada Pemprov Jawa Barat, diantaranya

  1. RTRW Jawa Barat belum mengarusutamakan pembangunan ruang dan wilayah serta rakyat yang pro keberlanjutan DAS dan ramah HAM dan perspektif pengurangan resiko bencana
  2. Banyak berisi proyek-proyek pemerintah pusat terutama pembangunan infrastruktur skala besar dan proyek-proyek pembangunan kota-kota baru
  3. Isi RTRW akan menghilangkan KSP Bandung Utara, KSP Hulu Citarum dan KSP Bopunjur
  4. Tidak ada kebijakan moratorium pertambangan di kawasan karst, hutan dan pesisir
  5. Berpotensi merampas ruang hidup rakyat dan lingkungan karena didominasi oleh pembangunan infrastruktur skala besar.
  6. Akan memicu bisnis wisata yang besar-besaran yang akan mengancam ekosistem hutan

Usulan Walhi Jawa Barat dalam revisi RTRW ini adalah

  1. RTRW Jawa Barat harus bertujuan mengurus wilayah dan masyarakat berbasis perlindungan DAS dan pengurangan resiko bencana
  2. Tetap mempertahankan KSP Bandung Utara, KSP Hulu Citarum dan KSP Bopunjur
  3. Menambah KSP lingkungan untuk Wilayah Bandung Selatan dan Hulu CImanuk, Hulu Cimandiri dan hulu Sungai yang menjadi kewenangan provinsi Jawa Barat
  4. Membebaskan seluruh kawasan hutan, karst dan pesisir dari bisnis pertambangan
  5. Membangun energi bersih, menghentikan pembangunan PLTU batubara
  6. Tidak membangun PLTSampah berbasis Insinerator.

      Perpres No 24 Tahun 2018 Bertentangan dengan UU 32 Tahun 2009

Pertengahan 2018, Presiden mengeluarkan Perpres No 24 tahun 2018[18], kebijakan ini memang akan memudahkan pelaku usaha di Indonesia dalam menempuh perizinan dan memudahkan investor menanamkan modal usahanya di Jawa Barat. Namun Walhi Jawa Barat menilai bahwa keluarnya perpres tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

 

Sangat bertentangan, karena dokumen lingkungan hidup dan izin lingkungan hidup bisa dibuat setelah izin berusaha dan pembangunan diberikan pemerintah dan pemerintah daerah. Jelas ini bertentangan dengan ketentuan UU 32 tahun 2009 dimana izin usaha dan bangunan diberikan setelah kajian amdal dan izin lingkungan dikeluarkan. Selain itu, Walhi Jawa Barat juga menilai bahwa perpres ini secara tidak langsung dapat mempercepat perusakan lingkungan DAS khusunya yang ada di Jawa Barat.

Kebijakan RZWP3K Yang Masih Akomodasi Tambang di Pesisir Jawa Barat

Tahun 2018, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan revisi Perda No 16 tahun 2013 tentang RZWP3K Jawa Barat [19] . Namun, dari subtansi raperda, kami menilai bahwa peraturan ini masih melegalisasi praktik pertambangan pasir laut, pasir besi dan tambang lainnya di wilayah pesisir. Padahal kebijakan moratorium tambang pasir besi di Jawa Barat sudah dikeluarkan.

Penetapan Wilayah Tambang Jawa Bali; Hancurnya Hutan, Karst dan Pesisir Jawa Barat

SK No 3672 K/30/MEM/2017 tentang penetapan wilayah tambang Jawa Bali. Keputusan ini sangat jelas akan memiliki daya rusak bagi wilayah Jawa Bali. Untuk Wilayah Jawa Barat, potensi kerusakan lingkungan hidup, hutan, pesisir, karst, laut terjadi di wilayah Jawa Barat bagian selatan. Kurang lebih sekitar 400.000 Ha, wilayah Jawa Barat bagian selatan menjadi wilayah pertambangan logam, mineral, non logam, panas bumi dan radioaktif. Dipastikan daya dukung wilayah Jawa Barat bagian selatan akan semakin menurun, ekosistem akan semakin rusak.

Akhir Januari 2018, Pemrov Jawa Barat mengeluarkan 34 IUP dan WIUP baru. keluarnya IUP dan WIUP ini menjelang Pilkada Jawa Barat. Kami menilai, ada praktik izin politik dimana pengeluaran izin-izin pertambangan diberikan untuk biaya politik kandidat terutama Petahana yang maju.

Pemprov Jawa Barat hingga saat ini belum menindaklanjuti secara maksimal hasil korsup KPK RI tentang 291 IUP non clear and clean (non CNC) yang bermasalah secara hukum. Kemudian, pemrov Jawa Barat juga masih membiarkan kasus pertambangan pasir besi PT KSP, BPMS, SBP, SSP di Cibitung Sukabumi.

Di kabupaten Karawang, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga tidak memberikan kebijakan tegas terhadap aktivitas tambang di Kawasan Hutan di Gunung Sirnalanggeng yang dikerjasamakan Perum Perhutani dengan PT Atlansindo Utama. Separuh Gunung dan hutan sudah habis dibongkar.

Di Kawasan hutan gunung Kanaga Bogor, Pemrov Jawa Barat kembali mengeluarkan WIUP dan IUP Jenis tambang andesit untuk PT Gunung Salak Rekanusa sebesar 110 Ha dan Primkopkar Perhutani 141 Ha. Padahal warga sudah memenangkan gugatan penghentian pertambangan tahun 2016.

 Perpres Perkotaan Cekungan Bandung; Berpotensi Menambah Kerusakan Lingkungan Hidup

Pada tanggal 20 Juni 2018, Presiden RI mengeluarkan keputusan politik Perpres No 45 tahun 2018[20] yang akan mengubah wajah ruang dan lingkungan di Cekungan Bandung dalam 20 tahun ke depan. Tujuan dalam perpres ini adalah Kawasan Perkotaan yang berkelas dunia sebagai pusat kebudayaan, pusat pariwisata, serta pusat kegiatan jasa dan ekonomi kreatif nasional, yang berbasis pendidikan tinggi dan industri berteknologi tinggi yang berdaya saing dan ramah lingkungan.

Bagi kami, keluarnya keputusan ini tidak memiliki semangat dan komitmen untuk melindungi kawasan Cekungan Bandung dari kerusakan ruang dan lingkungan. Perpres ini juga berpotensi pada semakin meningkatnya perampasan ruang hidup rakyat dan pelanggaran HAM karena banyak didominasi oleh pembangungan infrastruktur dan property/sarana komersil. Ke depan akan semakin banyak rakyat kehilangan tanah dan tempat tinggal.

Selain itu, perpres ini juga keluar tanpa didasari oleh kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang komprehensif, penyusunan keputusan yang melibatkan publik dan warga yang akan terkena dampak langsung dari keputusan ini. Bagi kami, proses penyusunan kebijakan ini tidak menempatkan rakyat (korban) sebagai subjek pembangunan.

AGENDA WALHI JAWA BARAT DALAM 5 TAHUN KE DEPAN

Dalam merespon kondisi DAS di Jawa Barat dan ikhtiar dalam memperlambat perusakan dan pencemaran lingkungan hidup serta mempercepat pemulihan kerusakan dan pencemaran DA di Jawa Barat maka agenda Walhi Jawa Barat yang akan dijalankan sebagai berikut :

  1. Advokasi Kebijakan Lingkungan Hidup Berbasis DAS Di Jawa Barat

Dalam 5 tahun ke depan, sejalan dengan pelaksanaan dan monitoring kebijakan RPJMD Jawa Barat, Walhi Jawa Barat akan fokus advokasi kebijakan berbasis DAS baik di level provinsi dan kabupaten/kota hingga desa. Walhi Jawa Barat akan melakukan edukasi-edukasi masyarakat dan penguatan-penguatan model kelola rakyat berbasis DAS, SUB DAS dan Mikro DAS agar masyarakat MELEK DAS. Edukasi dan penguatan masyarakat diharapkan bisa mendorong pemerintah untuk MELEK DAS dan memproduksi kebijakan-kebijakan pembangunan Pro DAS, mengarustamakan pengurangan resiko bencana dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).

  1. Mendorong Kepala Daerah Menyusun RPJMD Pro Lingkungan DAS dan HAM

Publik wajib mengawal RPJMD di kabupaten/kota yang pada tahun 2018 telah menyelenggarakan pilkada serentak. Walhi Jawa Barat juga mengajak kepada komunitas-komunitas di seluruh Jawa Barat untuk mengawal proses penyusunan RPJMD di Kabupaten/Kota agar mengarusutamakan kepentingan keberlanjutan DAS dan mengarusutamakan kepentingan HAM dan pengurangan resiko bencana dalam menjalankan pembangunan.

  1. Mendorong Isu Lingkungan Hidup kepada Wakil Rakyat dalam Pemilu 2019

Tahun 2019, adalah tahun politik, dimana pemilu legislatif dan pilpres diselenggarakan. Dalam Konteks Pileg, Walhi Jawa Barat akan mendorong para kandidat Caleg dan DPD untuk membawa isu lingkungan menjadi isu politik. Walhi Jawa Barat akan memberikan man