Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan: Akar Masalah Bencana Ekologis di Jabodetabek

Banjir yang terjadi dalam beberapa hari ini, sejak awal Maret 2025 di Jabodetabek merupakan bencana ekologis dimana terjadi akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengelolaan sumber daya alam yang telah mengakibatkan hancurnya lingkungan baik pemukiman maupun ekosistem yang ada.

Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan: Akar Masalahnya

Faktor utama yang memperparah bencana ini adalah eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali. Hutan di kawasan Puncak dan sekitarnya yang seharusnya menjadi daerah resapan air telah banyak berubah menjadi pemukiman, villa, serta destinasi wisata. Dalam lima tahun terakhir, WALHI Jawa Barat mencatat tingkat kerusakan lingkungan di kawasan ini meningkat dari 45% menjadi 65%. Alih fungsi lahan ini sering kali terjadi, mengesampingkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan (AMDAL) di kawasan rawan bencana. WALHI Jawa Barat menyoroti bahwa banyak izin usaha properti dan wisata dikeluarkan tanpa pengawasan ketat. Selain itu, aktivitas pertambangan pasir dan batu ilegal semakin memperburuk kondisi tanah, membuatnya lebih rentan terhadap erosi dan longsor.

Kawasan bogor (Puncak, Jonggol, Cikeas, Sentul, Hambalang dll)  yang seharusnya menjadi daerah resapan air beralih fungsi yang kemudian limpahan air banjir terus mengalir hingga membuat daerah Bekasi sampai Jakarta pun terdampak banjir. Hal itu terjadi semata-mata akibat kerusakan ekologis yang terjadi di kawasan Bogor. ditambah dengan masifnya pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang. Dari citra satelit berkala, sekarang dapat diakses publik secara luas, terlihat perubahan tutupan lahan di bagian selatan Jabodetabek yang mengakibatkan banjir kali ini menenggelamkan bagian selatan Jabodetabek, padahal curah hujan harian tahun 2025 kali ini belum sebesar curah hujan harian banjir besar tahun 2020. Dari citra satelit juga terlihat ada pertambangan karst/batuan yang cukup luas di Kabupaten Bogor yang aliran sungainya mengarah ke DAS Kali Bekasi. Bukaan lahan dari pertambangan ini sangat jelas terlihat dalam citra satelit berkala.

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI Eksekutif Nasional, menyatakan “Banjir besar yang terjadi di jabodetabek kali bukan hanya karena krisis iklim yang terjadi tetapi oleh karena perubahan tata ruang baik di hulu maupun di hilir DAS oleh kepentingan-kepentingan komersial jangka pendek tanpa memperimbangkan keselamatan dan lingkungan dalam jangka panjang. Alih fungsi ruang tersebut harus segera dihentikan bahkan harus dikembalikan ke kondisi semula apabila kita tidak ingin mendapatkan bencana yang sama bahkan lebih parah di masa depan”

Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat menuturkan “ Dua tahun yang lalu, kami Walhi Jawa Barat telah menyampaikan sikap kritis kepada pemerintah Provinsi dan pemerintah untuk tiga Kabupaten/Kota yakni Kab.Bogor, Kab,Cianjur dan Kab.Sukabumi agar segera menertibkan bangunan liar serta segera berhenti mengeluarkan izin-izin tambang dan properti. Perlu kami ingatkan kembali, bahwa banjir bandang dan banjir yang mengepung DKI adalah kesalahan pemerintah, hal ini dapat dilihat dari ketidakpatuhan dan tidak taatnya mereka menjalankan kebijakan Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mana kawasan puncak hingga kawasan Gn.Mas salah satu kawasan resapan air dan kawasan yang perlu perlindungan yang baik, namun faktanya izin-izin tambang, pembangunan villa, hotel dan juga pengembangan wisata semakin tidak dapat terhindarkan. Hingga saat ini, dimana prakteknya masih banyak ditemukan untuk kepentingan-kepentingan kegiatan tambang serta pengembangan bisnis properti. Bahkan lebih jauh kami ingin mendesak pemerintah membuat tim investigasi untuk pelaku-pelaku perusahaan yang tidak taat dan patuh menjalankan kebijakan yang ada, sehingga keadilan dapat diwujudkan dengan cara salah satunya, penjarakan pelaku yang merusak alam.”

Bencana banjir yang terjadi di wilayah Jakarta, Bekasi dan sekitarnya dalam beberapa hari terakhir disebabkan oleh Degradasi lingkungan yang terjadi di wilayah hulu/wilayah penyangga yaitu Kabupaten Bogor. Masifnya Pembangunan di wilayah hulu yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan (wilayah serap air) menyebabkan banjir yang berkepanjangan di wilayah hilir (wilayah kedap) air yang berlarut-larut. Berbagai Pembangunan itu terlihat dengan semakin banyaknya pembukaan lahan di wilayah hulu untuk kepentingan perumahan, Perindustrian bahkan juga investasi skala besar”

Dalam data citra landsat 8 yang dianalisis perbandingan tahun 2020 dengan tahun 2025 terlihat jelas bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir pembangunan wilayah hulu yang masif dan amburadul terlihat dengan jelas dalam peta analisis klasifikasi daerah resapan air wilayah Bogor (hulu) dengan wilayah Bekasi (hilir) pada peta dibawah ini:

Dalam data citra landsat 8 yang dianalisis perbandingan tahun 2020 dengan tahun 2025 terlihat jelas bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir pembangunan wilayah hulu yang masif dan amburadul terlihat dengan jelas dalam peta analisis klasifikasi daerah resapan air wilayah bogor (hulu) dengan wilayah Bekasi (hilir) pada peta dibawah ini: