slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Deklarasi Djuanda: Dari Negara Kepulauan ke Keadilan Ekologis | WALHI

Deklarasi Djuanda: Dari Negara Kepulauan ke Keadilan Ekologis

Deklarasi Djuanda: Dari Negara Kepulauan ke Keadilan Ekologis

Oleh: Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional

Setelah terbitnya Keputusan Presiden No. 126 Tahun 2001, masyarakat Indonesia memperingati Hari Nusantara setiap tanggal 13 Desember. Peringatan ini sangat penting untuk menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, termasuk dengan kekayaan keanekaragaman hayati dan kebudayaan masyarakat yang hidup di atasnya.

Hari Nusantara merupakan perwujudan dari Deklarasi Djuanda, sebuah deklarasi yang dikumandangkan oleh pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Djuanda Kartawidaja. Namun, penggagas utama deklarasi ini adalah Mochtar Kusumaatmadja, ahli hukum Indonesia yang sangat jenius.

Deklarasi ini muncul untuk melawan kolonialisme Belanda yang ingin melanggengkan penguasaan sumber daya alam, khususnya di lautan. Pada tahun 1939, Belanda membentuk hukum nasional formal pertama, Territoiale Zeeen Maritime Kringen Ordonatie untuk mengontrol penuh ruang laut. Hukum ini menegaskan hak milik kolonial atas wilayah pesisir dan laut. Selain itu, hukum ini mengakui ruang laut Indonesia hanya 3 mil diukur dari batas pasang terendah.

http://maritimnews.com/wp-content/uploads/2016/05/archipelago.jpg

Sebelumnya, Belanda telah menjalankan politik penguasaan ruang laut. Sepanjang 1596-1942, telah dibangun dan diperluas banyak pelabuhan setelah mengeksploitasi sumber daya alam, khususnya rempah-rempah di kawasan darat. Di antara pelabuhan yang dibangun adalah Pelabuhan di Batavia, Surabaya, dan Medan. Perluasan Pelabuhan Batavia pada tahun 1870 dilakukan untuk mengekspor rempah-rempah dan komoditas lainnya ke Eropa yang dikeruk dari banyak daerah, terutama Sumatera dan Maluku.

Selama periode kolonial, Pemerintah Belanda telah banyak membentuk departemen yang bertugas untuk mengontrol dan menguasai wilayah pesisir dan laut, di antaranya Departemen van Landbouw, Nijverbeid en Handel (Departemen Pertanahan dan Pertanian, 1905). Selanjutnya, dibentuk Burgerlijk Openbare Werken (Badan Pekerjaan Umum Sipil, 1911). Pada tahun 1931 dibentuk Departemen van Ekonomische (Departemen Perekonomian) dan diubah menjadi Departemen van Landbouw en Visirrej (Departemen Pertanian dan Perikanan), di mana unit kelautan dan perikanan berada di bawah depertemen ini.

Substansi dan kontekstualisasi
Substansi utama Deklarasi Djuanda adalah seluruh perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, merupakan bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Deklarasi Djuanda kemudian diakui oleh dunia internasional pada tahun 1982 melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea). Pengakuan ini memiliki sejumlah implikasi, di antaranya pengakuan terhadap perluasan wilayah kedaulatan Indonesia secara hukum baik wilayah perairan maupun wilayah udara. Diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Perairan pedalamannya seluas 666.000 mil laut. 56% teritorial Indonesia adalah lautan. Dampaknya, luas wilayah Republik Indonesia bertambah 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km². Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus dari titik pulau terluar, terciptalah garis maya mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut (Latipulhayat, 2022).

Sampai hari ini, melalui Deklarasi Djuanda, Indonesia telah memiliki kejelasan wilayah kedaulatan, khususnya di lautan yang berbatasan dengan sejumlah negara lain. Tak hanya itu, ribuan pulau di perairan dalam serta 111 pulau-pulau kecil terluar (terdepan) menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di atas ribuan pulau, terbangun hubungan erat antara masyarakat Nusantara dengan laut. Hubungan itu beragam dan sangat kaya nilai luhur. Hubungan tersebut sangat penting untuk manusia saat ini yang menjadi penanda sosial-budaya dan hukum, kesadaran tentang tempat hidup, kebanggaan dan harga diri, spiritualitas, kesehatan, dan keamanan manusia.

Namun, setelah 65 tahun Deklarasi Djuanda diproklamasikan, hubungan erat tersebut kini terancam oleh pembangunan ekstraktif yang dikembangkan oleh Pemerintah. Hampir 800 ribu hektar proyek reklamasi terus dibangun di berbagai wilayah. Sampai tahun 2040, lebih dari 2,6 juta hektar akan terus dibangun. Lebih dari 79 ribu orang terdampak buruk. Sejalan dengan itu, proyek pertambangan terus dikebut. WALHI mencatat (2021), izin usaha pertambangan (IUP) seluas 2.919.870,93 hektar berada di wilayah pesisir, dan seluas 687.909,01 hektar berada di wilayah laut. Dampaknya, lebih dari lima ribu desa pesisir tercemar.

Hubungan erat masyarakat dengan laut juga terancam oleh krisis iklim. Sejak 2017, sebanyak 5.416 desa pesisir tenggelam oleh banjir rob akibat kenaikan air laut yang disebabkan oleh krisis iklim. Pada saat yang sama, sebanyak 83 pulau kecil terluar (terdepan) terancam tenggelam akibat kenaikan air laut. Jika pulau-pulau ini tenggelam, maka kedaulatan Indonesia akan hilang.

Ke depan, Deklarasi Djuanda harus dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk merumuskan kebijakan pengelolaan ruang laut yang berorientasi pada keadilan ekologis, di mana keselamatan pesisir, laut, pulau-pulau kecil, serta kehidupan masyarakat yang hidup di atasnya menjadi prioritas utama. (*)