slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Desak Cabut PP 26 Tahun 2023 dan Tolak Ekonomi Biru, Masyarakat Pesisir bersama WALHI: Laut untuk Rakyat, bukan untuk Korporasi | WALHI

Desak Cabut PP 26 Tahun 2023 dan Tolak Ekonomi Biru, Masyarakat Pesisir bersama WALHI: Laut untuk Rakyat, bukan untuk Korporasi

Siaran Pers Bersama
Hari Laut se-dunia 2024

Jakarta, 08 Juni 2024 – Pada peringatan Hari Laut se-dunia tahun 2024, masyarakat pesisir Indonesia bersama dengan WALHI, menyampaikan desakan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.   

Merespon terbitnya PP 26 Tahun 2023 dan Permen KP No. 33 Tahun 2023, Nelayan tradisional di Lombok Timur, sekaligus Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), Amin Abdullah menegaskan kedua regulasi tersebut akan semakin menghancurkan kelestarian ekosistem laut sekaligus memperburuk kehidupan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil, khususnya di Nusa Tenggara Barat. Ia merujuk pada praktik penambangan pasir laut di perairan Lombok Timur untuk melayani kepentingan reklamasi di Teluk Benoa Bali beberapa tahun lalu.

“Meskipun penambangan pasir laut telah dihentikan, tetapi dampaknya masih terus terasa sampai sekarang. Nelayan yang berada sejumlah desa di Lombok Timur, diantaranya Desa Pringgabaya, dan Labuhan Haji, harus melaut ke Perairan Sumba, Nusa Tenggara Timur, khususnya ke Perairan Pulau Salura,” kata Amin.

Karena hancur lautnya, tambah Amin, nelayan di Lombok Timur, harus melaut ke perairan Pulau Salura selama 20 hari sepanjang enam bulan, terhitung sejak Mei sampai Oktober setiap tahunnya.  

Menurut Amin, kehancuran laut akibat tambang pasir laut saat ini diperparah oleh dampak krisis iklim. “Situasi ini semakin memperburuk kehidupan nelayan di Indonesia yang minus perlindungan dari Pemerintah,” tegasnya.

Amin menilai, PP 26 Tahun 2023 dan Permen KP No. 33 Tahun 2023 merupakan kebijakan yang bertentangan dengan upaya-upaya pemulihan dan perlindungan kawasan pesisir dan laut yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat pesisir di tingkat tapak. “Jika pemerintah mau melindungi pesisir dan laut, kebijakan yang harus didorong bukanlah penambangan pasir laut, melainkan kebijakan yang memulihkan tiga ekosistem penting, yaitu ekosistem mangrove, padang lamut, dan terumbu karang, sekaligus menempatkan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, sebagai pilar utama,” imbuhnya.

Nelayan Tambak Rejo Menolak Penambangan Pasir Laut  

Sejalan dengan Amin Abdullah, Marzuki, nelayan tangkap Tambakrejo, Kota Semarang, menyebutkan bahwa Ia bersama ratusan nelayan di Kota Semarang dan Pantai Utara Jawa terancam oleh pertambangan pasir laut yang dijustifikasi oleh PP 26 Tahun 2023 dan Permen KP No. 33 Tahun 2023. Meski wilayah pertambangan pasir laut berada di perairan Demak dengan luas 574.384.627,45 M2 dan volume sebanyak 1.723.153.882,35 M3, tetapi dampak ekologisnya akan terasa di seluruh Pantai Utara Jawa, khususnya di Kota Semarang.

Ia mendesak Pemerintah Pusat untuk segera mencabut kedua regulasi tersebut karena hanya akan mengancurkan laut yang menjadi ruang hidup ribuan nelayan di Pantai Utara Jawa. “Saya khawatir pertambangan pasir laut akan semakin memperburuk nasib kami di Tambakrejo yang selama ini telah mengalami kesulitan menangkap ikan dan semakin terpinggirkan akibat masifnya pipa-pipa industri di tengah wilayah tangkap nelayan dan menganggu aktivitas nelayan. Saat ini kami sudah hampir kehabisan akal,” kata Marzuki.

Menurut Marzuki, selain ancaman pertambangan pasir laut dan masifnya pipa industri, nelayan Tambakrejo semakin terancam juga oleh krisis iklim yang mengancam wilayahnya semakin tenggelam oleh percepatan kenaikan air laut. “Tambang pasir laut akan mempercepat tempat kami tenggelam, sebagaimana telah terjadi di banyak desa di Pantain Utara Jawa, khususnya Demak,” tegasnya. 

Tak ada acara lain, kata Marzuki, yang harus dilakukan oleh Pemerintah untuk menyelamatkan laut, selain mencabut PP 26 Tahun 2023 dan Permen KP No. 33 Tahun 2023 yang melegalkan tambang pasir laut.

Masyarakat Pesisir Menolak Ekonomi Biru 

Selain menyerukan penolakan terhadap PP 26 Tahun 2023 dan Permen KP No. 33 Tahun 2023 yang melegalkan tambang pasir laut, masyarakat pesisir Indonesia, khususnya nelayan, menyerukan penolakan terhadap blue economy yang kini dipromosikan oleh Pemerintah Indonesia.

Mustagfirin yang berasal dari Pulau Pari, Kepulausan Seribu, Jakarta, menyebutkan bahwa di tengah gegap gempita narasi ekonomi biru yang dikampanyekan Pemerintah, dirinya dengan ratusan keluarga di Pulau sampai saat ini terus terancam oleh perusahaan pariwisata yang ingin menguasai seluruh lahan di Pulau Pari. “Saya pernah dipenjara selama tujuh bulan karena dikriminalisasi oleh perusahaan pariwisata yang ingin menguasai Pulau Pari. Saya harus melawan dan memperjuangkan hak saya,” tuturnya.

Tak hanya itu, pada saat pemerintah memperbesar narasi ekonomi biru, Pulau Pari terus terancam oleh krisis iklim yang mengakibatkan hilangnya luasan pulau sebanyak 11 persen dari sebelumnya. Banyak perekonomian warga hancur akibat banjir rob yang terus menerjang pulau.

“Saya kehilangan tangkapan lebih dari 70 persen, teman-teman saya mengalami kehancuran perikanan budidaya dan budidaya rumput laut, air tanah kami untuk minum semakin asin akibat intrusi air laut, serta masa depan anak-anak kami terancam. Lalu, sebanyak 6 pulau kecil di Kepulauan Seribu telah tenggelam,” kata Bobi.

Anehnya, tambah Bobi, dalam situasi krisis iklim pemerintah tidak melakukan apa-apa. yang terjadi, empat warga Pulau Pari mengambil inisiatif untuk menggugat Holcim, Perusahaan semen terbesar di dunia yang bermarkas di Swiss. Sampai saat ini, empat orang Pulau Pari tetap berjuang merebut keadilan iklim di pengadilan Zug, Swiss.

“Kami semakin aneh ketika pemerintah Indonesia tidak memberikan dukungan apapun terhadap upaya kami melawan Holcim. Saya ingin menyatakan bahwa Pemerintah seharusnya malu karena terus mempromosikan ekonoi biru, tetapi tidak mendukung perlawanan terhadap Perusahaan Holcim yang merupakan pencemar planet bumi,” imbuhnya.

Sejalan dengan itu, Sufyan Tsauri, yang berasal dari Pulau Sangiang menjelaskan bahwa ia sebagai masyarakat yang hidup di pulau kecil tidak memahami apa itu ekonomi biru. Pada saat yang sama, ia bersama puluhan orang di Pulau Sangiang menghadapi ekspansi Perusahaan pariwisata yang mengancam ruang hidupnya, baik di darat maupun di laut. “Artinya, apa yang dibicarakan oleh para pemangku kebijakan tidak sejalan dengan apa yang dihadapi oleh masyarakat di tingkat bawah,” katanya.

Ia mendesak pemerintah Indonesia hadir membela hak masyarakat pesisir di Pulau Sangiang yang terus terancam baik di darat dan terutama di laut. “Jumlah kami dulu tercatat sebanyak 220 keluarga, kini hanya tersisa 43 keluarga. Kami terus berkurang akibat ekspansi Industri pariwisata, sementara pemerintah terus mendorong pariwisata skala besar, yang akan menguasai darat dan laut,” tegasnya. 

Laut untuk Rakyat, bukan untuk korporasi 

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, menyatakan bahwa dorongan untuk menambang pasir laut sekaligus memperbesar ekonomi biru menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak bekerja untuk mewujudkan laut yang sehat untuk sebesar-besar kepentingan Masyarakat pesisir, melaikan untuk sebesar-besar untuk kepentingan swasta. “Pemerintah tidak bekerja unntuk menjalankan mandat konstitusi, yaitu laut untuk rakyat bukan untuk korporasi,” tegasnya.

Tambang laut, misalnya, hanya menguntungkan 66 perusahaan asing, baik yang menjadi calon pembeli pasir laut seperti Singapura, China, Johor (Malaysia), dan Brunei, juga pemilik kapal isap asing seperti dari Belanda, Belgia, Jepang, Singapura, dan China. Langkah ini merupakan kontradiksi besar karena pemerintah sering jualan wacana “keberlanjutan di laut” di berbagai forum internasional di bawah payung ekonomi biru.

Pertambangan pasir laut sesungguhnya tidak menguntungkan, melainkan merugikan. Kebijakan ini tidak akan mampu mewujudkan Indonesia pada tahun 2045 seperti selama ini digembar-gemborkan, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Sebaliknya, melalui obral pasir laut ini, Indonesia Emas Tahun 2045 lebih layak disebut sebagai Indonesia Cemas 2045, karena pertambangan pasir laut hanya akan melahirkan kerusakan ekologis yang berdimensi luas dan jangka panjang, termasuk melanggengkan kemiskinan bagi Masyarakat pesisir.

Terkait dengan Besaran PNBP untuk pemanfaatan pasir laut dalam negeri adalah 30 persen dari nilai harga patokan (HPP) pasir laut yang dikalikan volume pengambilan pasir laut, serta 35 persen dari nilai HPP yang dikalikan volume pasir laut yang dikeruk, WALHI menilai bahwa kerusakan dan kehilangan keanekaragaman hayati termasuk kerugian ekonomi nelayan jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang didapatkan dari PNBP.

Di berbagai forum, sering disampaikan kajian WALHI bersama para ahli ekonomi kelautan yang menyebut bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan akibat kerusakan lingkungan dari tambang pasir laut jauh lebih besar, sebesar lima kali lipat.   Jika HPP pasir laut untuk dalam negeri dipatok Rp93.000 per meter kubik, sedangkan HPP untuk pemanfaatan di luar negeri ditetapkan Rp186.000 per meter kubik (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2024), maka biaya pemulihan yang dibutuhkan sebesar Rp465.000 untuk pemulihan kerusakan akibat eksploitasi oleh perusahaan dalam negeri per meter kubik, dan sebesar Rp930.000 untuk pemulihan kerusakan akibat eksploitasi oleh perusahaan luar negeri per meter kubik.

Jika sebuah perusahaan memperoleh kuota volume penambangan pasir laut sebesar 50 juta meter kubik untuk pemanfaatan luar negeri lalu dikenai tarif PNBP pasir laut sebesar Rp3,25 triliun, maka biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan kerusakannya sebesar Rp16,74 triliun.

“Dengan demikian, penambangan pasir laut hanya akan melanggengkan kerusakan di laut Indonesia, menghancurkan kehidupan lebih dari 8 juta keluarga pelaku perikanan tradisional, dan pemerintah Indonesia harus mengeluarkan dana pemulihan jauh lebih besar dari keuntungan yang didapatkan,” tegas Parid.

Terkait dengan ekonomi biru, Parid menjelaskan bahwa WALHI telah meluncurkan buku berjudul Ekonomi Nusantara Antitesis Ekonomi Biru pada 3 Juni 2024 lalu. Buku ini merupakan kritik serius WALHI terhadap ekonomi biru yang telah dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia setelah sebelumnya dipromosikan oleh lembaga pendanaan multirateral, seperti Bank Dunia.

Menurut Parid, ekonomi biru merupakan metamorfosis dari ideologi kapitalisme global yang digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya kelautan. Lebih jauh, ekonomi biru akan mendorong dan mempercepat perampasan ruang laut atau ocean grabbing. Istilah ocean grabbing digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil.

Di sejumlah negara, ekonomi biru meminggirkan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Di Zanzibar, Tanzania, dan Chile, ekonomi biru melahirkan diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan melalui ketidakadilan prosedural pada perikanan skala kecil.  Di negara Palau dan Pohnpei, ekonomi biru menyebabkan tragedi komoditas yang menyebabkan tingkat deplesi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, kesenjangan dan kemiskinan meningkat serta krisis ekologi, dan perubahan iklim kian masif. Di Papua Nugini, ekonomi biru terbukti menggerus makna geo-spiritual masyarakat pulaunya; mengganggu keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pulau, degradasi sumber daya alam dan kerusakan ekologi pulau kecil.

Sementara itu, di Namibia, ekonomi biru hanya menjadi justifikasi proyek-proyek pertambangan laut dalam, mendorong degradasi lingkungan dan dampak sosial yang negatif, utamanya terhadap mata pencaharian dalam sektor perikanan Namibia. Di Seychelles, sebuah negara Afrika di Samudera Hindia, ekonomi biru menyebabkan industri perikanan tunanya dikuasai armada perusahaan ikan Uni Eropa, dampaknya, perikanan skala kecil hingga masyarakat adat terpinggirkan.

“Pada peringatan Hari Laut Sedunia, masyarakat pesisir bersama dengan WALHI menyerukan penghentian pertambangan pasir laut dengan mencabut PP 26 Tahun 2023 dan Permen KP No. 33 Tahun 2023, sekaligus menyerukan penolakan terhadap ekonomi biru,” tegas Parid. (*)

 

Informasi lebih lanjut 

Amin Abdullah, Nelayan Tradisional – Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), di nomor +62 818-0578-5720
Mustagfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3), di nomor +62 857-8161-9276
Marzuki, Nelayan Tambakrejo Semarang, di nomor +62 896-5684-1462
Sufyan Tsauri, Masyarakat Pulau Sangiang, di nomor +62 858-9116-9252
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional WALHI, di +62 812-3745-4623