casino onlinecapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot pulsaslot pulsaslot777slot 2025slot terbaik 2025slot terpercaya 2025slot pulsaslot gacor terbaiklink gacor 2025slot totoslot gacor terpercayaagen slot gacorslot gacorslot gacor viralslot pulsaslot gacorslot danasitus slot gacor
Deteriorasi Perlindungan Lingkungan Hdup dalam Pusaran Omnibus Law RUU Cipta Kerja | WALHI

Deteriorasi Perlindungan Lingkungan Hdup dalam Pusaran Omnibus Law RUU Cipta Kerja


Siaran Pers Bersama
Konferensi Pers dan Diskusi Publik


DETERIORASI PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PUSARAN OMNIBUS LAW RUU CIPTA KERJA”

Jakarta, 8 April 2020 - Di tengah situasi darurat kesehatan COVID-19 yang membutuhkan semua perangkat negara untuk berkonsentrasi menjaga rakyatnya, DPR memilih untuk menyempatkan waktu membahas RUU Cipta Kerja yang isinya banyak menuai protes rakyat. DPR abai terhadap protes rasional publik yang menuntut DPR untuk fokus pada fungsi pengawasan penanganan COVID-19.

Mengkonfirmasi pengabaian DPR terhadap kepentingan rakyat, Badan Legislasi DPR berencana menerima asosiasi pengusaha dalam audiensi penyampaian masukan dan tanggapan atas UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam draf RUU Cipta Kerja pada Kamis, 9 April 2020, seolah belum cukup pelibatan asosiasi pengusaha sebagai Satuan Tugas untuk Konsultasi Publik Omnibus Law saat draf masih digodok Pemerintah secara tersembunyi.

Protes publik lagi-lagi tidak digubris. Padahal, kelalaian negara dalam mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat berdampak serius bagi rakyat tanpa perkecualian, sebagaimana Pandemi COVID-19 yang tidak pandang bulu.

Atas hal tersebut, kami menuntut Pemerintah dan DPR RI untuk:

  1. Pemerintah agar fokus terhadap penanganan Pandemi COVID-19 secara transparan; serta DPR RI agar fokus terhadap pengawasan penanganan, realokasi, dan penyerapan anggaran penganggulangan Pandemi COVID-19;

  2. Menghentikan seluruh pembahasan RUU Cipta Kerja;

  3. Mengutamakan prinsip pembangunan berkelanjutan dan tidak mendeteriorasi perlindungan lingkungan hidup dalam upaya mempercepat dan/atau memperbaiki pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepannya;

  4. Menghilangkan segala upaya pembatasan dan menjamin terlindunginya partisipasi publik dalam pemenuhan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pengelolaan sumber daya alam demi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

  5. Melakukan reformasi birokrasi dan sumber daya manusia terutama menghilangkan praktik suap dan korupsi sebagai prasyarat reformasi perizinan.

 

“STOP PEMBAHASAN OMNIBUS, FOKUS ATASI VIRUS! STOP PAKSAKAN REGULASI, FOKUS ATASI PANDEMI!”

Narahubung:
Raynaldo Sembiring – ICEL – 0813 7667 0167
Boy Even Sembiring – WALHI – 0852 7189 7255

---

 

Catatan diskusi:
Permasalahan Paradigma, Metode dan Kelemahan Aspek Amdal dalam RUU Cipta Kerja

  1. Pasca reformasi, Indonesia memasuki era post-Washington Consensus dimana pembangunan nasional dipandang tidak sekedar pertumbuhan ekonomi, melainkan juga pembangunan sosial dan ekologi. Namun paradigma dalam RUU Cipta Kerja mengembalikan makna pembangunan pada era developmentalis, yaitu hanya sebatas pembangunan ekonomi dan deregulasi, negara meminimkan perannya, membiarkan mekanisme pasar yang bekerja, dan investasi menjari aktor utama penggerak pembangunan.

  2. Dampaknya, pembangunan dipandang sebatas target yang harus dicapai, dan kekuatan sosial yang menghambat pencapaian target dikriminalisasi dan “digebuk”. Dengan kerangka berpikir tersebut, eksklusi partisipasi masyarakat dan pemerhati lingkungan terjadi bukan hanya karena dianggap kritis, tapi karena paradigma lingkungan hidup yang bias ekonomi.

  3. Fungsi hukum mengalami pergeseran, tidak lagi dalam fungsinya melayani keadilan, tapi sejauh mana dapat memfasilitasi perdagangan bebas. Hal ini tercermin dalam indikator EODB yang digunakan oleh Pemerintah dalam Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, dimana peringkat Rule of Law ditentukan oleh varibel yang ramah pada sistem ekonomi pasar.

  4. Selain permasalahan paradigmatik, RUU Cipta Kerja juga bermasalah secara metodologi. Permasalahan yang menjadi latar belakang RUU Cipta Kerja adalah masalah empiris, namun Naskah Akademik RUU Cipta Kerja disusun dengan penelitian yang sifatnya yuridis normatif dengan literatur yang terbatas, sehingga argumen yang disusun pun asumtif. Jika penyakitnya adalah struktur dan kultur, mengapa diselesaikan secara normatif dengan mengganti substansi hukum?

  5. Terkait Aspek Amdal, RUU Cipta Kerja memposisikan Amdal sebagai dasar uji kelayakan lingkungan, bukan lagi keputusan lingkungan. Proses Amdal dipotong, menghilangkan proses scientific review yang sifatnya obyektif, langsung masuk ke bureaucratic review yang sifatnya politis dan administratif. Pengaturan Amdal dalam RUU Cipta Kerja juga mempersempit partisipasi masyarakat dengan menambah syarat (i) terkena dampak langsung dan (ii) masukannya relevan terhadap proyek.

 

Kelemahan Perizinan Berbasis Risiko, Penegakan Hukum Perdata, dan Pengawasan Perizinan

  1. Terdapat gelagat pembuatan RUU Cipta Kerja bukan untuk kepentingan publik karena tidak dilakukan dengan berdasarkan bukti atau fakta yang komprehensif. Ada masalah dalam prosedurnya, dengan sulitnya akses informasi masyarakat sipil terhadap informasi pembahasan RUU Cipta Kerja. Juga ada privileged bagi pengusaha dan asosiasi bisnis. Indikasi ini semakin kuat ketika DPR memutuskan tetap membahas RUU Cipta Kerja ditengah keprihatinan Pandemi COVID-19.

  2. Penambahan dan pengubahan pasal dalam RUU Cipta Kerja justru memperburuk inskonsistensi yang hendak dipecahkan. Misalnya, mengenai pertentangan prinsip pembangunan berkelanjutan yang ada dalam UU PPLH bahkan UU Penanaman Modal. Lalu “perizinan usaha” berbasis resiko yang tidak sekedar berujung pada izin, melainkan hanya Nomor Induk Berusaha (NIB) dan NIB + Sertifikat, berdasarkan resikonya.

  3. RUU Cipta Kerja juga menjadikan data dan inventarisasi lingkungan hidup sebagai prasyarat berjalannya perizinan, sementara pelaksanaan KLHS, Daya Dukung Daya Tampung, RDTR baik di pusat maupun daerah saat ini juga masih minim, meski sudah lama dimandatkan oleh UU PPLH dan UU sektoral terkait.

  4. Perizinan berbasis risiko berdasarkan RUU Cipta Kerja bermasalah secara teoretis. RUU Cipta Kerja menghitung risiko dengan rumus tingkat bahaya x probabilitas. Kegiatan usaha berdampak penting namun jarang terjadi berpotensi dilakukan tanpa “izin”. Lalu secara empiris, diperlukan data empiris yang lengkap terkait kondisi lingkungan, karakterisitik wilayah, kemajuan teknologi, sampai tingkat ketaatan sebelumnya. Pemerintah belum memiliki data-data tersebut, bagaimana menentukan kategori diawal jika datanya belum komprehensif? Bagaimana kondisi lingkungan hidup pada dampak yang sifatnya kumulatif?

  5. Terkait kesiapan institusi dengan jargon “Perizinan disederhanakan, Pengawasan diperkuat”. Dari segi perizinan didegradasi, dari segi pengawasan, RUU ternyata tidak memberikan obat bagi masalah yang terjadi, yaitu masalah 1) jumlah pengawas dan 2) kapasitas pengawas dibandingkan izin yang diterbitkan. Bagaimana kondisi ini diatasi jika nanti akan banyak usaha baru yang sangat mungkin berdampak pada lingkungan?

  6. Belum lagi degradasi pasal strict liability yang menghilangkan unsur “tanpa harus membuktikan kesalahan”, partisipasi masyarakat yang didegradasi pada “pengumuman di sistem elektronik”, dan kewenangan pemerintah daerah yang ditarik ke Pusat.

  7. Dalam membuat RUU diharapkan Pemerintah dan DPR mementingkan kepentingan publik diatas kpentingan lain, dan membuat RUU berbasis fakta, komprehensif, mengedepankan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

 

Kejahatan Korporasi dan Pasal Pidana Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja

  1. RUU Cipta Kerja semakin mempertegas bahwa ekonomi yang dipercaya Indonesia adalah ekonomi kapitalistk, investasi mengejar economic growth. Pertumbuhan ekonomi memang 5%, tapi dampak pembangunan sejak tahun 1980 juga merusak tatanan sosial dan lingkungan. Angka kemiskinan saat ini memang single digit, tapi terdapat ketimpangan sosial yang kian tinggi dan potensi “miskin lagi” dikalangan petani dan buruh industri padat karya.

  2. Dalam RUU Cipta Kerja, aturan pelaksanaanya diserahkan pada Pemerintah. DPR membentuk kekaisaran baru dengan Presiden sebagai rajanya.

  3. “Pertarungan” yang terjadi sebenarnya berkaitan dengan “sistem kepercayaan”. Sekian tahun MDGs dan SDGs berlaku juga tidak ada tetesan kesejahteraan untuk masyarakat. Terlihat dari perumusan RUU Cipta Kerja yang hanya melibatkan KADIN dan pengusaha, seharusnya melibatkan juga petani dan buruh.

  4. Masalah pengaturan pidana dalam RUU Cipta Kerja ada pada formil rumusan pidana, jenis pidana dan pemidanaan, dan ukuran dari pidana. Rumusan tindak pidana dalam RUU Cipta Kerja mempersulit hukum menjerat pelaku korporasi karena (i) di KUHP, pidana tambahan harus didahului pidana pokok; (ii) pengaturan di RUU Cipta Kerja adalah pidana denda yang baru dapat dijatuhkan setelah ada pemberatan. Pada akhirnya yang dikorbankan nanti adalah pelaku lapangan, dan ini bertentangan dengan asas pertanggungjawaban korporasi.

  5. Sementara penegakan hukum yang dilakukan oleh KLHK juga selama ini tidak efektif membuat jera pelaku korporasi, dan hanya sebatas pada “capaian kinerja”. Terdapat juga permasalahan dalam eksekusi putusan lingkungan hidup.

  6. Pasal-pasal yang baik tetap ada, seperti Pasal 78 UU PPLH. Tetapi pada akhirnya menjadi norma kosong yang tidak operasional, karena ada pertentangan norma.

 

Yang dapat dilakukan

  1. Tidak menegosiasikan RUU Cipta Kerja. RUU Cipta Kerja tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, juga berbahaya bagi petani, buruh, perempuan, partisipasi masyarakat. RUU Cipta Kerja merusak tata hukum lingkungan yang telah dibangun selama ini yang sudah progresif. Dengan RUU Cipta Kerja, sejarah menjadi kembali pada masa otoritarian. Tidak ingin kembali pada masa itu, karena HAM dan lingkungan jadi bisa dinegosiasikan.

  2. Menggaungkan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja secara besar dan “menancap” pada DPR dan Pemerintah tanpa turun ke jalan, karena pertimbangan Pandemi COVID-19. Dengan demikian, perlu cara-cara yang lebih kreatif bagi masyarakat sipil semuanya agar Pemerintah dan DPR mendengar suara masyarakat.