Jakarta, 18 Juli 2018 - Kasus suap PLTU Riau 1 yang melibatkan anggota DPR Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih (EMS), pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK), dan turut diamankan Muhammad Al Khadzid, Bupati terpilih kabupaten Temanggung pada Pilkada serentak 2018 lalu yang juga suami EMS, menjadi momentum yang tepat bagi KPK untuk mengusut kejanggalan-kejanggalan dalam proyek-proyek ketenagalistrikan 35.000 MW. EMS diduga menerima suap dari JBK sebesar 4,8 milyar rupiah sebagai imbalan atas perannya dalam memuluskan proses perijinan dan kerjasama jual beli listrik PLTU Mulut Tambang Riau 1 berkapasitas 2x300 MW. Keduanya telah diamankan KPK pada tanggal 13 Juli 2018 silam. Koalisi masyarakat sipil “Indonesia Bebas dari Batubara’ menyatakan dukungannya terhadap KPK untuk usut tuntas kasus PLTU Riau 1. Temuan penyelidikan mengindikasikan bahwa proyek PLTU tersebut dipaksakan ke dalam rencana 35.000 MW, mengingat PLTU mulut tambang Riau 1 pada mulanya tidak terdapat dalam list 119 proyek pembangkit 35.000 MW saat diresmikan 2015 di Yogyakarta, tiba-tiba muncul dalam RUPTL 2016-2025 sebagai salah satu proyek pengembangan listrik dengan skema penunjukan langsung. Rencana pembangunan PLTU Riau 1 juga sama sekali tak memperhatikan kondisi pasokan di sistem setempat, sudah mencukupi proyeksi permintaan untuk beberapa tahun ke depan. Koalisi menilai bahwa akar permasalahan terletak pada kesalahan perencanaan proyek 35.000 MW yang tidak dilakukan berlandaskan proyeksi permintaan yang realistis serta tidak mempertimbangkan potensi energi terbarukan yang ramah bagi lingkungan dan manusia. “Proyek 35.000 MW mengundang banyak pertanyaan sejak pertama kali direncanakan. Proyek yang dicanangkan di program ini melampaui proyeksi permintaan listrik yang paling ambisius sekalipun. Selain itu kenapa program ini menitikberatkan pada sistem Jawa-Bali dan Sumatra yang sudah kelebihan pasokan listrik,” ujar Dwi Sawung, Manajer Kampanye Urban dan Energi WALHI Nasional.
Selain itu, Koalisi juga menilai bahwa akar permasalahan lainnya terletak pada sistem pengadaan yang tertutup dengan skema penunjukkan langsung melibatkan anak perusahaan PLN dan pihak pemasok batubara atau penambang yang berlaku khususnya untuk proyek PLTU mulut tambang. Hal ini menimbulkan masalah transparansi dan akuntabilitas dan peluang untuk korupsi dan penyalahgunaan sebagaimana terindikasi dalam kasus suap PLTU Riau 1. "Proyek-proyek energi nasional, seperti kelistrikan, akan selalu menjadi incaran para pelaku koruptor yang melibatkan politisi dan pengurus negara turut berkolaborasi dengan perusahaan nasional dan luar negeri, baik dalam kontes memperkaya diri maupun dalam kontes kekuasaan di legislatif maupun eksekutif. Kami menuntut semua proses proyek pengadaan listrik nasional untuk segera ditinjau ulang dan menutup semua peluang korupsi dan kerugian negara baik dalam aspek keuangan maupun lingkungan," kata Hendrik Siregar, dari Yayasan Auriga Nusantara.
Berdasarkan RUPTL 2018-2027 Sumatera diperkirakan akan membangun lebih dari 6.000 MW PLTU Mulut Tambang dalam 10 tahun ke depan. Di awal rencana, penambahan kapasitas ini dimaksudkan untuk memasok wilayah Sumatera dan Jawa-Bali, namun akibat adanya kelebihan pasokan listrik di Jawa-Bali, maka rencana kebutuhan ekspansi tersebut menjadi dipertanyakan. Kendati demikian tidak ada perubahan rencana secara signifikan, malah sebagaimana ditunjukkan oleh kasus suap PLTU MT Riau 1, pembangunan PLTU mulut tambang semakin dikebut. “Banyak sekali kejanggalan-kejanggalan serupa yang dapat ditemui di proyek 35.000 MW lainnya. Mulai dari perencanaan yang tidak masuk akal, proses akuisisi lahan yang menggunakan paksaan dan kekerasan, proses perijinan yang diakali atau dicurangi sampai dengan indikasi suap, “ ujar Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). “Untuk itu kami meminta KPK untuk memperlebar investigasi mengusut tuntas kejanggalan-kejanggalan berikut,” Merah menambahkan. Koalisi masyarakat sipil “Bebaskan Indonesia dari Batubara” terdiri atas sejumlah organisasi lingkungan yang sejak 2016 konsisten menyerukan Indonesia agar melepaskan ketergantungannya pada energi fosil khususnya batubara demi kepentingan manusia dan lingkungan hidup. Koalisi ini antara lain terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Greenpeace Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Auriga Nusantara, dan 350 Indonesia. “Proyek-proyek ini sebenarnya untuk kepentingan siapa? Dari pola kasus suap PLTU Riau 1 sudah mulai terbaca siapa saja yang mengeruk keuntungan dari proyek ketenagalistrikan. Pada akhirnya yang akan menanggung biaya proyek ini adalah rakyat sebagai pelanggan listrik dan rakyat sebagai pembayar pajak karena kerugian apapun yang diderita PLN akan ditanggung oleh negara,” ujar Hindun Mulaika, Manajer Kampanye Energi Greenpeace Indonesia. Koalisi menuntut pengusutan tuntas Direksi PLN dan seluruh jajarannya serta para pejabat ketenagalistrikan ESDM yang terlibat dalam perencanaan dan perizinan, terutama berdasarkan berbagai temuan BPK mengenai permasalahan proyek ketenagalistrikan. Selain itu Koalisi juga menuntut pembatalan semua izin lingkungan dan revisi proyek PLTU batubara yang sedang berjalan berdasarkan kelayakan dan kebutuhan riil permintaan listrik. Koalisi juga meminta pemerintah Indonesia untuk menyusun program pengembangan sistem ketenagalistrikan yang berbasiskan energi bersih yang ramah lingkungan dan ramah manusia. ---
Narahubung: Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, 0811-8407-113, [email protected] Dwi Sawung, Manager Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional WALHI 08156104606, sawung@wp_walhi.local Merah Johansyah, Koordinator Nasional JATAM, 081347882228, [email protected] Hendrik Siregar, Peneliti Auriga, 085269135520, [email protected] Irfan Toni H, Juru Kampanye Digital 350.org Indonesia, 08129900088, [email protected] Catatan redaksi Berbagai kejanggalan lain yang telah dicatat dan dilaporkan oleh Koalisi “Bebaskan Indonesia dari Batubara” Data PLTU MT di Indonesia yang dicurigai memiliki pola korupsi sama dengan Samantaka: Sumsel 1 Banyuasin, Sumbagsel 1, Riau 1, Jambi, Sumsel 6, Sumsel MT Ekspansi, Sumsel 8, Sumatera 1 MT, Kalselteng 3, Kalselteng 4, Kalselteng 5, Kaltim 3, Kaltim 5, Kaltim 6, Kaltimra, Melak Kaltim 3. Cerita lain juga datang dari ekspansi besar-besaran PLTU batubara di pulau Jawa dan Bali. Beberapa PLTU batubara sedang mengalami kasus di lapangan, mulai dari penolakan masyarakat yang begitu besar, konflik lahan, regulasi yang tidak sesuai, dampak kesehatan bahkan gugatan masyarakat di pengadilan. PLTU tersebut diantaranya: - PLTU Cirebon 2 dengan kapasitas 1x1000 MW yang telah dimenangkan gugatannya di PTUN Bandung oleh WALHI dan warga terdampak, saat ini mendapat lampu hijau untuk terus dilanjutkan. Dengan jungkir balik regulasi tata ruang yang disesuaikan demi kepentingan PLTU akhirnya mensahihkan proyek ini. - PLTU Tanjung Jati A/Cirebon 3 dengan kapasitas 2x660 MW belum mencapai tahap financial closing sampai saat ini. Proyek tersebut masih menunggu penyesuaian tata ruang karena tidak sesuai dengan tata ruang yang sebelumnya. - PLTU Batang dengan kapasitas 2x1000MW mengalami penundaan sampai 5 tahun karena kasus lahan dan penolakan masyarakat yang begitu besar. Proyek ini dipaksakan berjalan dengan menggunakan UU No. 2 Tahun 2012 yang membuat masyarakat tidak berkutik dan mau tidak mau harus menyerahkan lahan pertanian produktif mereka. - Ekspansi PLTU Tanjung Jati B dengan kapasitas 2x1000MW juga dipaksakan diatas dampak-dampak kesehatan pada masyarakat sekitar dan pemiskinan nelayan telah nyata terasa. - Ekspansi PLTU Cilacap dengan kapasitas 1000 MW juga dibangun tanpa memperhatikan dampak kesehatan yang telah begitu buruk menimpa warga dari PLTU yang saat ini telah beroperasi.
Besaran kapasitasnya yang mencapai 1000 MW ini akan membuat pemborosan keuangan negara. - PLTU Celukan Bawang 2 dengan kapasitas 2x330 MW saat ini sedang mengalami gugatan hukum oleh warga terdampak dan organisasi lingkungan Greenpeace. Proses AMDAL yang tidak melalui sosialisasi yang sesuai tidak layak untuk mendapatkan ijin. Di sisi lain, proyek PLTU Celukan Bawang 2 ini tidak termasuk dalam RUPTL 2017 dan 2018, menandakan bahwa secara perhitungan kebutuhan pasokan listrik, Bali tidak membutuhkan penambahan kapasitas listrik sebesar itu. - PLTU Suralaya 9 dan 10 dengan kapasitas 2x1000MW telah dilakukan groundbreaking tanpa kejelasan sudah memperoleh financial closing atau belum. - PLTU Sumsel 1 dengan kapasitas 2x600 MW pembangunannya telah tertunda-tunda karena kelebihan pasokan yang sangat besar di Sumatera bagian selatan dan ketidakmampuan jaringan transmisi menampung pasokan listrik dari PLTU ini.Tidak ada alasan yang kuat untuk meneruskan proyek listrik disaat telah terjadi kelebihan pasokan listrik. Proyek pembangkit listrik PLTU batubara telah merugikan negara bukan hanya karena korupsi yang muncul tapi juga kerugian karena membayar kapasitas berlebih. Tidak aneh jika pihak swasta memberikan suap karena mereka terjamin oleh perjanjian (PPA/Power Purchase Agreement) untuk dibayar apapun yang terjadi, sehingga pihak swasta tidak menanggung resiko keuangan apapun.