G20, Energi Kotor,dan Posisi Indonesia

Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara yang tergabung dalam G20 (KTT G20) di Jepang telah dijadwalkan akan berlangung pada tanggal 28-29 Juni 2019. Forumyang mempertemukan pemerintahan dari 2/3 penduduk dunia dan 85%ekonomi duniarutin digelar untuk menyikapi situasi global terbaru.Sejumlah tema diagendakan untuk dibahas dalam pertemuan tersebut,diantaranya; ekonomi global, pembangunan, kesehatan, perdagangan daninvestasi, hingga lingkungan dan energi. Salah satu pokok bahasan yang mengundang perhatian, khususnya masyarakat sipil, adalah terkait lingkungan, energi, dan perubahan iklim. Kedaruratan situasi planet bumi terkait persoalan lingkungan membutuhkan aksi-aksi percepatan, ketegasan, dan berorientasi keadilan.
 
Kebutuhan untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celcius - sebuah tujuan ambisius yang dinyatakan dalam Perjanjian Paris 2015 yang ditandatangani oleh hampir 200 negara anggota PBB, adalah keharusan untuk menghindari situasi kekacauan iklim. Para ilmuwan mengatakan tujuan ini mengharuskan dunia sepenuhnya menghilangkan karbon sebelum 2050. Desakan masyarakat sipil kepada Negara-negara peserta untuk mengubah kebijakan terkait lingkungan dan energy terus digaungkan dalam ajang menyambut forum seperti G20. Walaupun prakteknya masih jauh dari harapan. Salah satu persoalan dasar yang perlu terus didorong oleh masyarakat adalah terkait kebijakan energi global yang masih didominasi dan mengandalkan pada sumber-sumber energi fosil; batubara, gas, minyak. Kebijakan energi tersebut telah mengakibatkan serangkaian masalah mulai dari menyumbang emisi CO2 hingga 40%, praktek korupsi, hingga menimbulkan persoalan lingkungan dan masyarakat di tingkat tapak. PLTU batubara misalnya, diidentifikasi menyumbang lebih dari 1/3 emisi terkait energi saat ini hingga tahun 2040. Di Indonesia, “kecanduan” energi fosil juga susah untuk dihilangkan dan digantikan. Bahkan Indonesia terus membangun proyek-proyek mercusuar pembangkit listrik tenaga fosil seperti batubara dan gas.
 
Proyek-proyek yang dibangga-banggakan karena kapasitasnya disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara seperti PLTU Batang (2 x 1000 MW) maupun PLTGU (2 x 880 MW) sedang dalam tahap konstruksi. Begitu pula dengan proyek PLTU dan PLTGU lain seperti Indramayu 2 (1000 MW), Cirebon 2 (1000 MW), Riau (275 MW), Semarang (779 MW). PLTU dan PLTGU tersebut banyak yang merupakan PMA dari negara Asia yang tergabung dalam G20, seperti China, Korea Selatan dan Jepang. Perusahaan-perusahaan seperti The Marubeni Corporation, The Mizuho Financial Group (MHFG), Shanghai Electric Corp (SEC), Sumitomo, Doosan Heavy Industries & Construction, dll., terus melakukan investasi di sector pembangkit listrik tenaga fosil. Situasi tersebut, tampaknya masih akan berlangsung lama. Hal itu dikarenakan subsidi dan pendanaan global terhadap energi fosil masih sangat besar. Tercatat, IMF dalam laporanya menyatakan subsidi atas energy fosil secara global mencapai 5,2 trilliun dollar atau setara dengan 6,5 % dari total GDP Global. Pada tahun 2017 juga tercatat, pendanaan dari pemerintahan G20 untuk proyek luar negeri setidaknya mencapai 13 milyar dollar dalam bentuk pinjaman, kredit dan jaminan. Indonesia merupakan negara penerima terbesar dari pendanaan proyek batubara luar negeri pada tahun 2017 (6.4 milyar dollar).
 
Hal tersebut menjadi ironis ketika dampak-dampak langsung yang dialami oleh masyarakat menjadi seolah diabaikan. Persoalan-persoalan yang timbul seperti masalah kesehatan akibat dari pencemaran air dan udara yang timbul baik dari tambang dan pembangkit listrik, perampasan lahan dan mata pencaharian, hilangnya situs-situs budaya, hingga masalah kasus kematian anak seperti dinafikkan baik oleh pemerintah maupun korporasi-korporasi tersebut. Belum lagi masalah plastik yang kini menjadi isu hangat di tingkat global, hanya berujung pada perubahan pola konsumsi individu tanpa ada advokasi secara fundamental terhadap kebijakan sektor energi fosil sebagai bahan pembuatan plastik. Maka, penggalian potensi kebijakan alternatif perlu didesakkan untuk mengatasi masalah tersebut.
 
Persoalan perubahan kebijakan sektor energi perlu didorong oleh masyarakat kepada para pemerintah Negara G20 tidak saja karena hadirnya masalah-masalah yang telah timbul seperti yang sudah diungkapkan di atas. Akan tetapi, secara lebih jauh, persoalan terkait demokratisasi energi dan keadilan energi menjadi salah satu dasar adanya kemendesakan transisi pola produksi dan konsumsi energi. Selama ini, investasi dan produksi energi banyak dipertanyakan terkait untuk siapa sebenarnya energi dikelola. Jika terkait kebutuhan dasar seberapa besar akses dan ketercukupan energi yang dimiliki masyarakat, terlebih bagi mereka yang berada pada kawasan sumber dan produksi energi? Jika merujuk pada berbagai temuan, bahwa produksi energi telah terjadi over produksi maka upaya mendorong investasi secara terus menerus, apakah itu dapat dikatakan hanya merupakan ajang mencari untung yang merusak sistem hidup di bumi atas nama mencukupi kebutuhan energi? #PulihkanIndonesia #AdildanLestari