Pers Rilis WALHI Bangka Belitung Pangkalpinang, 23 April 2018 Massa masyarakat sipil melakukan aksi demonstrasi memperingati hari bumi di depan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bangka Belitung dan depan kantor DPRD Provinsi Bangka Belitung pada senin, 24/4/18. Aksi digelar untuk menjawab kondisi Bangka Belitung yang diambang bencana Ekologi yang disebabkan oleh Pertambangan laut, tambang darat yang mengabaikan reklamasi pasca tambang, tambang di kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan kepada perusahaan besar untuk Hutan Tanaman Industri, hal ini secara langsung mengancam kelangsungan hidup petani dan nelayan di provinsi Kepulauang Bangka Belitung. Manager Advokasi dan Kampanye WALHI Bangka Belitung Zulpriadi mengungkapkan, aksi ini adalah “warning” bagi pemerintah yang mengabaikan keberlangsungan lingkungan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat di provinsi Bangka Belitung demi kepentingan korporasi besar tapi mengesampingkan kepentingan petani dan nelayan. Tata kuasa dan tata kelola lahan yang buruk di Provinsi Babel mengakibatkan ketimpangan penguasaan dan pengelolaan lahan antara masyarakat dan korporasi besar.
Data WALHI Babel mencatat sebanyak 41,83% atau 275.682 hektar kawasan hutan Produksi dikuasai oleh 9 perusahaan Hutan Tanaman Industri, 1,1 juta hektar dikuasai 1.343 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 250.000 hektar dikuasai pemilik Hak Guna Usaha (HGU) sawit sedangkan total luas daratan Provinsi Babel hanya 1,6 juta hektar, disini sangat terlihat sekali ketimpangan penguasaan lahan di provinsi Babel, ungkap Zulpriadi. Zulpriadi menambahkan, bukan hanya di darat, di pesisir laut rakyat/nelayan dipaksa berhadapan dengan perusahan pemilik IUP laut, hampir semua pesisir laut di provinsi Babel dikelilingi oleh IUP laut, data WALHI Babel mengungkapkan ada 298 IUP laut yang luasnya mencapai 595.381 hektar. Dokumen Rancangan Perda RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) yang sangat lamban untuk disahkan juga memuat aturan-aturan yang tidak memihak kepada kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir, dalam dokumen tersebut mengizinkan aktifitas pertambangan laut diatas 2 mil, hal ini tentu sangat tidak adil bagi Nelayan Tradisional yang wilayah tangkapnya hingga 12 mil laut serta bertentangan dari semangat Undang undang No 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang undang no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, yang merupakan rujukan Raperda RZWP3K. Kami juga mengkritisi vonis ringan pelaku kejahatan lingkungan PT. Stanindo yang telah melakukan aktifitas tambang timah laut ilegal di pantai Pasir Padi, Pangkalpinang, hal ini merupakan preseden buruk penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan. mengenai rendahnya tuntutan Jaksa yang hanya menuntut 1,6 Miliar, sebelum akhirnya menjadi 1,1 miliar saja ujar Zulpriadi. Mestinya tuntutan Jaksa maksimal, karena dalam Pasal 109 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) tuntutan maksimal mencapai 3 Miliar rupiah, dan pidana kurungan mulai 1 (satu) hingga 3 (tiga) tahun bagi subjek hukum bagi petinggi perusahaan yang bersama. Namun Jaksa juga melenyapkan tuntutan pidana kurungan tersebut.
Turut juga dalam Aksi hari bumi Ketua FK WKR (Forum Kerja Wilayah Kelola Rakyat), Romazon, menerangkan bahwa kami juga bertarung melawan perusahaan Hutan Tanaman Industri yaitu PT. BRS (Bangun Rimba Sejahtera) yang memiliki konsesi mencapai 66.460 hektar yang berada di 39 Desa di Kabupaten Bangka Barat, hal ini mengancam sumber penghidupan warga yang berprofesi sebagai petani, Hutan Produksi yang diberikan pengelolaan ke PT. BRS merupakan areal pertanian dan perkebunan petani di Bangka Barat yang telah dikelola secara turun temurun.sebanyak 75% dari luas lahan konsesi PT. BRS telah dikelola masyarakat untuk pertanian/perkebunan seperti lada, karet, sawit, buah buahan dan pemukiman sehingga keberadaan PT. BRS mengancam sumber sumber ekonomi masyarakat. Dari nelayan yakni Ali, Koordinator Persatuan Nelayan Tradisional dan Pesisir Kabupaten Bangka, mengungkapkan Nelayan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terancam kehilangan ruang hidup dan sumber penghidupan, dikerenakan wilayah tangkap ikan kami merupakan zona Wilayah Usaha Pertambangan. Hampir seluruh pesisir laut kami di Pulau Bangka dan Belitung dikelilingi oleh IUP (Izin Usaha Pertambangan). Aktivitas Kapal Isap Produksi (KIP) yang mengambil timah di laut menyebabkan kerusakan ekosistem dan terumbu karang, sehingga ikan-ikan semakin lama semakin berkurang. Kesengsaraan kami bertambah ketika Rancangan Peraturan Daerah tentang Zonasi Kawasan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) mengakomodir kegiatan pertambangan laut sehingga masa depan kami sebagai nelayan semakin suram di Provinsi Bangka dan Belitung. Contact Media Ali, Koordinator Persatuan Nelayan Tradisional dan Pesisir Kabupaten Bangka 0823 07531893 Romazon, Ketua FK WKR (Forum Kerja Wilayah Kelola Rakyat) +62 823-7831-7931 Zulpriadi, Manager Advokasi dan Kampanye WALHI Kep. Bangka Belitung 08117884394