Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2020; Melawan Kekerasan Sistematis terhadap Perempuan

Kertas Sikap
Aliansi Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan
(GERAK Perempuan)

“Melawan Kekerasan Sistematis terhadap Perempuan”

Kekerasan terhadap perempuan terjadi secara sistematis, baik terhadap perempuan biologis (cisgender) maupun individu yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan (transgender/nonconforming). Kekerasan tersebut dilandasi oleh nilai hetero-patriarki yakni nilai yang memberikan keistimewaan lebih pada laki-laki biologis (cisgender), heteroseksual, dan maskulin. Ia bekerja melalui institusi agama, budaya, dan negara. Kekerasan sistematis terhadap perempuan mewujud dalam kebijakan yang mengatur ranah publik dan privat, produk perundang-undangan, sikap politik, norma sosial, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem kepercayaan dan kesenian, yang dilanggengkan melalui cara-cara militeristik, manipulatif,  berulang dan tidak pernah putus.

Perempuan ditundukkan pikirannya, dihancurkan tubuh dan martabat kemanusiaannya, dijauhkan dari akses keadilan sehingga perempuan tidak memiliki ruang aman mulai dari dalam rumah, dunia pendidikan, dunia kerja, ruang publik, hingga dunia maya. Perempuan diperangkap dalam berbagai bentuk lingkaran kekerasan.

Bentuk Kekerasan
Bentuk kekerasan sistematis terhadap perempuan, ada yang langsung menyasar tubuh perempuan seperti kekerasan seksual,  kekerasan fisik, psikis, dan verbal. Selain itu, bentuk kekerasan menyasar ruang kehidupan perempuan sebagai basis operasinya seperti: kekerasan berbasis ekonomi, kekerasan berbasis lingkungan, kekerasan berbasis orientasi seksual dan identitas gender.

Tuntutan politik

  • Negara mengakui dan menuntaskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan mulai dari penghancuran gerakan perempuan 1965, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Marsinah, pemerkosaan Mei 98 hingga kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pasca-reformasi;
  • Negara harus mencabut segala produk dan rencana kebijakan dan atau perundanganundangan dari tingkat nasional hingga daerah yang mendiskriminasi dan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan;
  • Negara harus mendorong regulasi yang memberikan perlindungan terhadap perempuan baik dalam undang-undang maupun peraturan turunannya; • Negara mengakui keberagaman identitas gender dan orientasi seksual serta menghentikan segala bentuk upaya kriminalisasi terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang dilandasi oleh sikap homo-bi-transfobia;
  • Menjalankan sistem bernegara yang berkeadilan gender yang mengedepankan pemenuhan hak asasi manusia sebagai landasan pembangunan.

Sikap Politik
GERAK Perempuan meyakini bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah sistematis. Kami percaya bahwa kesetaraan, nirkekerasan, solidaritas, dan demokrasi adalah nilai dan prinsip yang  harus ada untuk membangun kekuatan politik guna menghentikan kekerasan sistematis terhadap perempuan.

---------------------

 

SIARAN PERS
GERAK Perempuan
Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2020

Melawan Kekerasan Sistematis terhadap Perempuan

Untuk segera diberitakan dan dikabarkan!
JAKARTA—Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020 menyebut bahwa sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terlaporkan pada tahun 2019. Angka ini naik 6% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 406.178. Masih menurut Komnas Perempuan, hingga kini semakin banyak peraturan di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah, yang mendiskriminasi perempuan. Mulai dari kewajiban berjilbab—anak sekolah maupun perempuan dewasa—sampai jam malam buat perempuan. Kewajiban berjilbab bisa menciptakan bullying/perundungan terhadap anak perempuan. Di berbagai kabupaten, jilbab juga dipaksakan kepada siswi yang tidak beragama Islam. Ini melanggar kebebasan beragama.

Pada 2017, setidaknya ada 420 peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan. Ini juga termasuk praktik “tes keperawanan” terhadap perempuan yang hendak melamar masuk ke Tentara Nasional Indonesia (TNI). Praktik memeriksa hymen/selaput dara ini, menurut World Health Organization (WHO), tidaklah ilmiah. Pemeriksaan hymen tidak bisa membuktikan perempuan pernah berhubungan seks atau belum. TNI harus meniru Kepolisian RI yang secara resmi telah menghentikan praktik—yang traumatik dan melanggar hak asasi—ini sejak 2015. 

Meski demikian, data tersebut masih berada di luar dari jumlah kasus kekerasan yang belum terlaporkan. Misal, kekerasan yang menimpa perempuan adat, perempuan nelayan, perempuan tani, perempuan buruh, perempuan miskin kota yang berjuang mempertahankan ruang hidup dan sumber kehidupan.

Perempuan adat yang bertaruh nyawa mempertahankan tanah wilayahnya dari cengkraman ekspansi perusahaan sawit dan tambang semakin diperparah dengan dibatasinya mereka dalam pengambilan keputusan. PEREMPUAN AMAN mencatat bahwa sebanyak 67.4% dari 1116 responden di 44 desa serta melibatkan 31 komunitas adat mengaku tidak dilibatkan dalam pembangunan yang berlangsung di wilayah adat. Kondisi mereka juga diancam dengan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan mempidana warga negara yang menikah namun tidak tercatat. Terkait itu, sebanyak 43,3% perempuan adat dari penelitian tersebut tidak memiliki akta nikah.

Pada saat yang sama, perempuan dan anak di tanah Papua bertahan hidup di tengah-tengah konflik kekerasan militeristik di Papua. Di Nduga misalnya, pada Desember 2019, tercatat sebanyak 37.000 warga mengungsi dengan 241 diantaranya tewas dan jumlah korban nyawa didominasi oleh perempuan; antara lain: 21 perempuan dewasa, 21 anak perempuan, 14 balita perempuan, 8 bayi perempuan, 20 anak laki-laki, 17 bayi laki-laki dan 12 balita laki-laki (Tirto.id).

Sementara itu, kondisi kerja yang dialami oleh perempuan buruh pun semakin memburuk. Upah yang tidak setara, jam kerja yang panjang dan berlebihan, ruang kerja dan cara kerja yang tidak aman dan manusiawi, terpapar bahan-bahan kimia tanpa pengaman, cuti haid dan melahirkan yang jarang diberikan, menjadi beberapa persoalan yang dihadapi oleh mayoritas perempuan buruh. Sejak tahun lalu hingga rilis ini diturunkan, banyak perempuan mengalami keguguran akibat kondisi kerja yang buruk. Sebagai ilustrasi, sebanyak 14 perempuan buruh yang bekerja di PT Alpen Food Industri (PT AFI) Bekasi mengalami keguguran dan 6 orang lainnya mengalami kehilangan bayi yang baru dilahirkan.  Kondisi buruk ini akan berakibat fatal dengan adanya rencana pemerintah yang secara tergesa-gesa mendorong penyederhanaan perundang-undangan melalui Omnibus Law dalam bentuk Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Omnibus Law yang pro investor akan semakin mengancam hak buruh/pekerja serta mengancam masa depan lingkungan hidup.

Kondisi tersebut diperparah dengan masifnya proyek-proyek yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang berdampak pada hidup dan kehidupan perempuan. Pencemaran air, perampasan tanah, pencemaran udara, penggusuran untuk proyek investasi berbasis SDA, serta ketimpangan penguasaan tanah, telah mengakibatkan perempuan semakin terpinggirkan, dibatasi akses dan kontrolnya atas SDA dan menambah beban hidup perempuan. Kondisi ini mendorong perempuan untuk mencari sumber penghidupan lain dengan menjadi buruh migran. Ketika menjadi buruh migran, mereka juga terjebak dalam rantai kekerasan perdagangan orang. Pada tahun 2018, Bareskrim Polri menerima laporan bahwa 297 orang telah menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). 190 diantaranya adalah perempuan, 18 anak perempuan dan 10 anak laki-laki. Mereka adalah warga negara yang berburu kerja di luar negeri sebagai pekerja rumah tangga, buruh konstruksi bangunan, dan buruh perkebunan malah diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual.

Bentuk kekerasan lain yang secara khas menimpa kelompok warga negara dengan orientasi seksual dan identitas gender yang dianggap berbeda dan melanggar norma pun banyak terjadi. Catatan Kelam: 12 Tahun Persekusi LGBT di Indonesia yang diluncurkan oleh Arus Pelangi pada 2019 menyebut bahwa sebanyak 1.850 individu LGBTI mengalami persekusi dalam 17 bentuk tindakan persekusi. Mulai dari pemukulan, penyiksaan, perkosaan, pembunuhan, dan lain-lain. Mayoritas korbannya adalah kelompok transpuan. 34% kekerasan tersebut dilakukan oleh negara, baik aparat penegak hukum maupun aparatur negara lainnya. Selain mengalami kekerasan, keberadaan mereka pun terancam dengan hadirnya rencana kriminalisasi baik melalui perundangan-undangan khusus mulai dari tingkat daerah hingga tingkat nasional.

Dalam persoalan kesehatan, perempuan juga masih mengalami peminggiran akses. Di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia, setiap tahunnya sekitar 67,9 ribu perempuan meninggal karena menjalani praktik aborsi tidak aman. Kondisi ini mengambil porsi sebesar 13% dari angka kematian ibu di seluruh dunia. Kemudian, sejumlah 5,3 juta perempuan pun menderita

lukas fisik-baik sementara maupun permanen—akibat aborsi yang tak aman (Tirto.id). Di Indonesia layanan aborsi aman tidak dapat diberikan, karena Negara belum menunjuk klinik sesuai mandat Permenkes 3/2016. Padahal dengan adanya akses aborsi aman dapat mengurangi risiko kematian pada perempuan, infeksi menular seksual dan penguatan pada perempuan dan pasangan untuk membangun relasi yang setara dan bertanggungjawab, sehingga mencegah terjadinya Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) berulang. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mencatat, pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 21,35% dari 4857 perempuan yang mengalami KTD sebanyak 21,35% berusia 12 sampai dengan 24 tahun.

Perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS juga mendapat stigma negatif. Mereka menanggung beban stigma saat berjuang bertahan hidup. Ditambah lagi, akhir-akhir ini stok obat ARV bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) kembali mengalami krisis kelangkaan. Hal ini diakibatkan sistem dan mekanisme pengadaan yang tidak efisien serta dugaan adanya korupsi pengadaan obat ARV. Situasi ini membahayakan kesehatan ODHA, merusak upaya untuk menghentikan epidemi dan mendiskreditkan upaya untuk mengoptimalkan proses pengadaan obat-obatan esensial khususnya ARV.

Rantai kekerasan yang melilit perempuan mulai dari dalam rumah hingga ruang publik tak kunjung berakhir. Tentu saja ini karena negara yang turut andil dalam melembagakan segala bentuk kekerasan. Negara juga gagal melindungi dan memenuhi hak perempuan. Tidak hanya itu, di dalam rumah dan kehidupan bermasyarakat perempuan juga menghadapi kekerasan yang dilembagakan dalam norma sosial. Itulah mengapa setiap perempuan yang melakukan perlawanan akan ditundukan dengan beragam cara. Salah satu bukti nyata adalah penghapusan gerakan perempuan secara massif pada masa ‘65. Pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Marsinah yang mengorganisir pemogokan menuntut upah layak pun menjadi contoh lain dari hal tersebut.

Perempuan ditundukkan pikirannya, dihancurkan tubuh dan martabat kemanusiaannya, dijauhkan dari akses keadilan sehingga perempuan tidak memiliki ruang aman mulai dari dalam rumah, dunia pendidikan, dunia kerja, ruang publik, hingga dunia maya. Itulah yang kami, GERAK Perempuan namai sebagai KEKERASAN SISTEMATIS TERHADAP PEREMPUAN. Atas kondisi tersebut di atas, maka kami menuntut negara untuk: 

  1. Tangani dan tuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan;
  2. Bangun sistem perlindungan komperhensif bagi perempuan, anak dan kelompok minoritas;
  3. Cabut produk perundang-udangan dan batalkan rencana perundang-udangan yang diskriminatif, tidak berkeadilan gender, dan melanggar hak;
  4. Hentikan agenda pembangunan yang berpihak pada investor;
  5. Batalkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, RUU Ketahanan Keluarga, dan RKUHP!
  6. Bahas dan sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja!

 

Kami yang bersikap:
GERAKPerempuan: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty Internasional Indonesia, Arus Pelangi, Lingkar Studi Feminis Tangerang, Perempuan Agora, Konfederasi KASBI, PurpleCode Collective, Perempuan Mahardhika, Perkumpulan Lintas Feminist Jakarta (JFDG)-Women’s March Jakarta, Hollaback! Jakarta, perEMPUan, PKBI, SGRC, Gender Talk-UIN Jakarta, BEM STHI Jentera, Girl Up, SINDIKASI, Jaringan Nasional Advokasi – Pekerja Rumah Tangga, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, PUSKA GENSEKS UI, Solidaritas Perempuan, LBH APIK Jakarta, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) / Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), FAMM Indonesia, KOPRI Jabar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, BEM IKJ, Space UNJ, Gerakan Perempuan– UNJ, LMND-DN, LPM Aspirasi - UPN Jakarta, Migrant CARE, Indonesia Feminis, Konde dot Co, SEMAR UI, Mawar Merona, Sanggar SWARA, Social work sketch-SWS, API Kartini, Himpunan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), On Women Indonesia, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, Koalisi Perempuan Indonesia KPI-DKI, Asia Justice and Rights (AJAR), Kalyanamitra, Aliansi Satu Visi, Pamflet Generasi, BEM FH UI, AKAR, BEM TRISAKTI, HIMAPOL IISIP, Lentera Sintas, Never okay, KitaSama, SamaSetara.id, Gartek Serang, KSPN, SPN, Pamflet, Waktu Perempuan, Swara Saudari - Purwakarta, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Greenpeace Indonesia.

 

Narahubung: 
Mutiara Ika P. 0822-1358-7565
Lini Zurlia 0811-1717-201
Nining Elitos 0813-1733-1801
Ega 0812-8879-4813
Nura 0812-2980-8814