Hilirisasi Mineral berujung pada Kerugian dan Kriminalisasi Warga di Morowali

Siaran Pers
Koalisi Anti SLAPP

Mineral kritis memiliki peran dalam Transisi Energi, mineral kritis seperti lithium, kobalt, nikel, dan tembaga adalah komponen esensial dalam teknologi energi terbarukan dan kendaraan listrik. Ketika keadaan darurat iklim semakin meningkat, permintaan akan mineral yang penting untuk teknologi energi terbarukan seperti panel surya, turbin angin, dan kendaraan listrik (EV) meningkat.

Laporan Global Critical Minerals Outlook 2024 memperlihatkan bahwa implementasi teknologi energi ramah lingkungan di tingkat global telah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Sebagai contoh, kapasitas pemasangan Solar PV telah meningkat sebesar 85% dari tahun 2021 hingga 2023, sementara sektor kendaraan listrik juga menunjukkan pertumbuhan yang stabil, dengan peningkatan sebesar 60% dalam jumlah mobil listrik pada tahun 2023.[1]

Di Indonesia berkaitan dengan situasi ini menggambarkan peningkatan produksi keseluruhan, di mana terdapat tren peningkatan yang sangat signifikan dalam produksi nikel dari tahun 2020 hingga 2024. Pada tahun 2020, total produksi adalah sekitar 32 juta ton dan diharapkan meningkat hampir 120% menjadi 71.4 juta ton pada tahun 2024.[2] Kenaikan target produksi ini memiliki dampak yang luas.

Salah satunya adalah hadirnya kawasan industri nikel PT Huabao Industrial Park (PT IHIP) di Kecamatan Bungku Barat Kab. Morowali memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Praktek hilirisasi khususnya nikel menciptakan penurunan kualitas kesehatan warga, kehilangan keanekaragaman hayati, penurunan kualitas ekosistem laut, penurunan ekonomi warga. Apalagi operasi industri ini didukung dengan infrastruktur yang masih menggunakan PLTU captive.

Selain itu, konflik agraria dan kerusakan lingkungan mewarnai pembangunan kawasan industri nikel tersebut. Seringkali warga terlibat konflik dengan perusahaan akibat tanahnya dirampas paksa dengan berbagai macam modus. Konflik memuncak pada tahun 2022 hingga 2024 ketika lahan masyarakat seluas 14 Ha yang berisi sawit di Desa Ambunu, digusur pada malam hari tanpa sepengetahuan pemiliknya serta jalan desa, akses utama masyarakat ke kebun kini digunakan untuk jalan holing perusahaan.

Meningkatnya perlawanan masyarakat dalam mempertahankan haknya, membuat perusahaan melakukan upaya pembungkaman dengan cara, melakukan kriminalisasi dan gugatan hukum kepada orang-orang yang dinilai sebagai pelopor dalam perlawanan tersebut.

Tanggal 20 Juni 2024 lima orang warga Desa Tondo dan Topogaro atas nama Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, Safaat dan Sadam dilaporkan ke Polda Sulteng atas aksi blokade jalan yang mereka lakukan pada tanggal 11 Juni 2024 di Desa Topogaro. Pemanggilan tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 Pasal 162 tentang Pertambangan dan Minerba.

Tanggal 10 Oktober 2024 lalu, lima orang warga Desa Ambunu Abd Ramadhan A, Hasrun, Moh Rais Rabbie Ambunu, Makmur Ms dan Rifiana Ms. Juga mendapat surat panggilan dari Polda Sulawesi Tengah untuk dimintai keterangan No. B/989/X2024/Diretkrimsus tanggal 4 oktober 2024. Atas tindakan pidana terganggunya fungsi jalan yang digunakan oleh PT BTIIG berdasarkan peraturan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Pasal 63 ayat 1 (junto) Pasal 12 ayat 2.

Baca juga, Warga Ambunu Morowali Kembali Blokade Jalan Holing PT Huabao Industrial Park

Surat pemanggilan tersebut, atas aksi blokade jalan yang dilakukan oleh masyarakat pada rentetan waktu 11-23 Juni 2024, di Desa Topogaro dan Desa Ambunu. Blokade jalan yang dilakukan, sebagai bentuk protes terhadap PT BTIIG yang mengklaim sepihak jalan desa yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat.

Klaim tersebut baru diketahui oleh masyarakat setelah beredar sebuah rekaman video pernyataan Legal Eksternal PT IHIP atas nama Riski, menyampaikan bahwa jalan desa yang sekarang digunakan sebagai jalan holing adalah milik sah PT BTIIG, bersarkan MoU tukar guling aset dengan Bupati Morowali yang ditandatangani pada tanggal 11 Maret 2024.

Padahal Jalan desa yang terhubung dari Topogaro ke Dusun Folili ke Dusun Sigendo dan Ambunu jauh sebelumnya, sudah digunakan oleh masyarakat masih berbentuk jalan tanah setapak untuk ke kebun. Serta akses menuju ke Gua Vavompogaro (situs budaya) bersejarah bagi masyarakat sekitar.

Upaya pembungkaman masyarakat terus dilakukan oleh PT BTIIG, lima orang warga Desa Topogaro yang sebelumnya dipanggil polisi, kembali digugat perdata dengan tuntutan 14 miliar atas kerugian penutupan jalan selama tiga hari dan pencemaran nama baik perusahaan.

Aksi yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Topogaro dan Ambunu, menuntut kepada pemerintah dan perusahaan untuk membatalkan MoU tersebut yang dinilai sepihak, mengembalikan fungsi jalan desa serta PT BTIIG memperlihatkan MoU yang disepakati pada tanggal 11 Maret 2024. Sampai saat ini MoU tersebut tidak pernah diperlihatkan oleh pihak perusahaan.

Kawasan Industri Huabao Industrial Park, merupakan kawasan industri yang dikendalikan penuh oleh PT Zhensi Holding Grup dengan wajah Bahosua Taman Industri Invesment Grup (BTIIG) komposisi sahamnya terdiri dari Zhensi Indonesia Industrial Park 51%, Beijing Shengyue Oriental Invesment Co., Ltd 10,28%, PT Kejayaan Emas Persada 27,45%, dan PT Himalaya Global Investment 11,27%. Dengan nilai investasi sebesar 14 triliun rupiah, untuk produksi blok besi nikel dan nikel hidroksida, merupakan bahan baku penting untuk stainless steel serta baterai energi baru kelas atas.

Luas kawasan PT IHIP sebesar 20.000 Ha di Desa Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Upanga, Larebonu dan Wosu dengan metode pembagunan dua tahap. Tahap satu yang sedang berjalan di Desa Tondo, Topogaro dan Ambunu. Pembangunan kawasan ini sebagai bagian dari zona percontohan kerja sama internasional berkualitas tinggi di bawah “One Belt, One Road Inisiative”.

Berdasarkan MoU tanggal 11 Maret 2024, yang dapat diakses menunjukan dalam point (b) bahwa ternyata jalan desa di Desa Wosu, Umpanga, dan Larebonu telah menjadi milik PT Huabao Industrial Park yang diuraikan dalam 10 pasal perjanjian. Kesepakatan ini akan meningkatkan konflik antar masyarakat dengan perusahaan nantinya, sebab MoU tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat sama sekali. Pembungkaman warga tentu akan terus dilakukan oleh perusahaan dengan berbagai macam cara.

Praktek perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, tidak ubahnya seperti zaman penjajahan. Masyarakat dibuat tidak ada pilihan lain, sementara pemerintah turut serta melindungi kepentingan perusahaan dan mengabaikan hak masyarakat.

Berdasarkan situasi di atas Koalisi Anti SLAPP yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil (WALHI Nasional, Greenpeace, WALHI Sulteng, Perkumpulan AEER, Jatam Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) dan Pengacara Hijau Sulawesi Tengah) menuntut perlindungan hak warga dan keamanan masyarakat serta kebebasan warga untuk menyampaikan haknya tanpa takut akan intimidasi atau ancaman hukum. Selain itu, pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan hilirisasi mineral, khususnya terkait peningkatan produksi nikel, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan warga. Pembatasan produksi perlu dilakukan untuk mencegah degradasi lingkungan yang lebih parah.

 

Narahubung:
Siti Zulaika (AEER): 0822 9612 7311
Yusman (WALHI Sulteng): 0853 4380 6525
Fanny Trijambore (WALHI Nasional): 0838 5764 2883
Moh Taufik (JATAM Sulteng): 0822 9209 5416

 

[1] https://www.iea.org/reports/global-critical-minerals-outlook-2024

[2] Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2020 Tentang Rencana KESDM Strategis Tahun 2020-2024