Oleh: Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi
Perayaan hari raya Idul Fitri tahun ini terasa sangat istimewa karena momentumnya bertepatan dengan peringatan hari bumi yang telah menjadi gerakan global saat ini. Prosesi Idul Fitri tak lepas dari rangkaian ibadah Ramadhan, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial, selama sebulan penuh.
Ibadah puasa, yang menjadi inti selama bulan Ramadhan, memiliki pesan ekologis yang sangat kuat dan relevan dengan upaya-upaya penyelamatan planet bumi. Makna dasar puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan seksual yang dimulai sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan tujuan untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Di dalam Bahasa Arab, definisi itu sering digambarkan sebagai berikut: “al-imsāku ʻanil akli was syurbi wa ghasyayānin nisa min qabli thulūʻis fajri ilā ghurūbis syamsi ibtighāʼan mardhātillah.”
Frasa “menahan diri dari makan dan minum” dalam definisi puasa sesungguhnya membangun kesadaran tentang makna ekologis yang sangat dalam, dimana pelaku ibadah puasa harus menjaga keselamatan serta kelestarian planet bumi yang merupakan asal-usul makanan, minuman, oksigen, dan sumber-sumber kehidupan lainnya. Dalam bahasa lain, frasa tersebut mendorong kita untuk mengetahui dan peduli pada kondisi alam yang menjadi rumah kita bersama.
Dengan demikian, perayaan Idul Fitri harus dimaknai sebagai puncak dari kesadaran dan perjuangan untuk menyelamatkan alam dari hawa nafsu dan keserakahan yang selama ini telah membuat planet ini berdarah-darah. Idul Fitri adalah ruang untuk menghayati kembali bahwa manusia adalah makhluk ekologis, dalam arti bahwa manusia sangat bergantung pada keseimbangan dan kelestarian bumi yang telah diciptakan oleh Allah SWT dengan sempurna. Inilah makna terdalam dari rangkaian ibadah puasa dan prosesi Idul Fitri.
Penegasan tersebut di atas sejalan dengan pesan kitab suci al-Qur’an yang terus mengulang penyebutan kata bumi (al-Ardh) lebih dari 450 kali. Hal ini menegaskan bahwa penyelamatan planet bumi merupakan agenda penting yang harus dilakukan oleh para pengiman kitab suci al-Qurʼan.
Dalam pada itu, kitab suci al-Qurʼan mengulang-ulang kata fasād lebih dari 50 kali. Fasād didefinisikan oleh al-Isfahani, dalam kitab al-Mufradāt fī Gharībil Qur’ān, keluarnya sesuatu dari keseimbangan (khurūjus sya’i ʻanil iʻtidāl). Fasād bermakna krisis atau kerusakan. Pengulangan kata fasād itu menegaskan haramnya perusakan planet bumi dengan cara apapun dan dalam bentuk apapun. Lebih jauh, kita harus terlibat aktif dan tergabung dalam gerakan global untuk melawan beragam upaya perusakan planet ini.
Ancaman krisis
Dalam berbagai kesempatan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, menegaskan planet bumi terus berada dalam ancaman yang sangat serius akibat krisis iklim. Dengan mengutip laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), Guterres menyatakan dampak krisis iklim akan membahayakan kesehatan planet, umat manusia, dan spesies serta seluruh ekosistem yang menopang kehidupan di Bumi.
Sampai dengan tahun 2050, suhu bumi diprediksikan akan naik sebesar 2 derajat celcius. Dampaknya, akan ada 200 juta orang pengungsi akibat krisis iklim. Jika kita membaca sejarah, angka 200 juta adalah keseluruhan populasi manusia di dunia pada masa puncak kekaisaran Romawi. Selain itu, akan ada 400 juta orang yang kesulitan air bersih, bahkan kota-kota di daerah khatulistiwa akan menjadi tidak layak huni karena alamnya semakin hancur dan tidak memiliki daya dukung.
Belajar dari pengalaman sepanjang 2015-2019 lalu, Organisasi Meteorologis Dunia (WMO), sebuah badan khusus PBB untuk cuaca dan iklim, hidrologi dan geofisika yang pusat di Jenewa, Swiss, menyebutkan bahwa krisis iklim telah memberikan dampak buruk, diantaranya banjir dan kekeringan. Sepanjang 2015-2019, banjir dilaporkan telah menghantam China pada Juni-Juli tahun 2016. Akibatnya, sebanyak 310 orang meninggal dan secara ekonomi negara ini alami kerugian sebesar USD 14 triliun.
Pada Agustus 2017, banjir juga melanda sejumlah negara, yaitu India, Bangladesh, Nepal, dan Sierra Leone. Total orang yang meninggal di India, Bangladesh, dan Nepal, tercatat sebanyak 1200 orang serta 40 juta orang terdampak kesehatannya akibat penyakit yang menyebar pasca banjir. Sementara di Sierra Leone, banjir disertai longsor telah membunuh 1.102 orang.
Terkait dengan dampak krisis iklim yang lain, yaitu kekeringan, sepanjang 2015-2018 tercatat cadangan air mengalami penipisan di cape Town, Afrika Selatan, yang menyebabkan kota ini hampir kehabisan air pada 2018. Di Afrika timur pada 2016-2017, 6,7 juta orang mengalami kerawanan pangan pada puncak kekeringan.
Bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki kerentanan tinggi, dampak krisis iklim memiliki dampak yang sangat serius, khususnya bagi masyarakat di tingkat tapak. Walhi mencatat, di antara dampak utama pada masa yang akan datang adalah meledaknya pengungsi iklim akibat hilangnya sumber-sumber pangan dan air bersih. Bagi masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pulau kecil, ledakan pengungsi iklim akan terjadi lebih cepat.
Saat ini, tak sedikit desa-desa pesisir di Sumatera bagian barat, Jawa bagian utara, serta pulau-pulau kecil di wilayah kepulauan Nusa Tenggara dan kepulauan Maluku terus terancam oleh kenaikan air laut yang sangat cepat. Krisis iklim juga mempercepat punahnya keanekaragamanhayati baik di darat maupun di laut yang menjadi ciri khas Indonesia selama ini. Inilah ancaman paling nyata yang akan dihadapi oleh Indonesia pada masa yang akan datang.
Sepanjang tahun 2017-2020, tercatat 5.416 kejadian banjir rob dan pada 2020 air laut merendam sebanyak 1.148 desa pesisir di seluruh Indonesia. Walhi memperkirakan terdapat 199 kabupaten dan kota pesisir di Indonesia yang akan terkena banjir rob tahunan pada 2050. Bila ini terjadi, sedikitnya 23 juta warga yang akan terdampak serius.
Menurut catatan Walhi, Indonesia berada di peringkat ketiga teratas negara dalam hal risiko iklim, dengan paparan tinggi terhadap semua jenis banjir, dan panas ekstrem. Indonesia menempati peringkat kelima tertinggi di dunia yang sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Tanpa adaptasi yang benar, populasi terdampak, terutama yang tinggal di kawasan pesisir akan meningkat. Misalnya, populasi yang terkena banjir sungai ekstrem akan mencapai 1,4 juta pada tahun 2035-2044, dan total populasi yang kemungkinan akan terkena banjir permanen di wilayah pesisir pada tahun 2070-2100 akan mencapai lebih dari 4,2 juta orang.
Dari mana harus memulai?
Ibu Khaldun, di dalam kitab Muqaddimah, sejak lama menyebut planet bumi diliputi oleh air laut (mahfufatun bi unsuril ma‘). Penegasan tersebut sejalan dengan penyebutan kata laut yang disebut lebih banyak di dalam al-Qur’an dibandingkan dengan kata darat. Jika kata darat disebut tak lebih dari 13 kali, maka kata laut disebut lebih dari 40 kali.
Dalam pada itu, planet bumi sering disebut sebagai planet biru karena laut adalah bagian yang paling utama dari planet ini. Melalui laut, semua kebudayaan di planet ini terhubung satu sama lain. Di Indonesia, sejak masa lampau laut lah yang mempertemukan barat dan timur, utara dan selatan.
Dari dulu sampai sekarang, laut adalah sumber pangan bagi lebih dari 8 miliar manusia yang menghuni planet bumi. Data The State of World Fisheries and Aquaculture (SOFIA) FAO 2022 menyebut sebanyak 157,4 juta ton ikan telah dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Angka ini mengalami kenaikan signifikan dibandingkan dengan tahun 2010, dimana hanya 143,2 juta ton ikan yang telah dikonsumsi.
Di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), konsumsi ikan masyarakat Indonesia tercatat sebanyak 55,37 kg per kapita pada 2021. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan 2010, dimana hanya 30,48 kg per kapita ikan yang dikonsumsi.
Tak hanya itu, laut adalah sumber oksigen penting bagi kehidupan planet bumi. Berdasarkan sejumlah penelitian terbaru, laut disebutkan merupakan penyedia lebih dari 50-80 persen oksigen bagi planet bumi. Penelitian yang dilakukan oleh Heidi Pearson, Ahli Biologi Kelautan, Universitas Alaska, menjelaskan sekitar 2,5 juta paus pada tahun 2010 lalu mampu menahan hampir 210.000 ton karbon mati (deadfall carbon) per tahun ke lautan dalam. Jumlah tersebut setara dengan menarik sekitar 150.000 mobil dari jalanan setiap tahunnya. Pearson juga menyebutkan bahwa dengan memakan bulu babi, berang berang laut berpotensi memerangkap 150.000 hingga 22 juta ton karbon per tahun di hutan rumput laut.
Dalam buku Kepunahan Keenam karya Elizabeth Kolbert disebutkan bahwa dalam terumbu karang terdapat 9 juta spesies makhluk hidup yang hidup dan berkembang biak. Terumbu karang mirip dengan keberadaan hutan hujan tropis di darat. Di lautan dalam, terdapat makhluk hidup yang sangat banyak dan beraneka ragam jenisnya. Informasi ini menjelaskan bahwa laut adalah rumah besar bagi berbagai keanekaragaman hayati.
Dengan demikian, menyelamatkan planet bumi harus dimulai dengan menyelamatkan laut dengan cara menyelamatkannya dari dampak krisis iklim yang menghancurkan kelestariannya. Di Indonesia, upaya penyelamatan bumi harus dilakukan dengan cara menyelematkan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dari ancaman industri ekstraktif, dalam bentuk proyek reklamasi, pertambangan, penangkapan ikan terukur, industri pariwisata, serta proyek lainnya.
Tak hanya itu, upaya menyelamatkan bumi harus dilanjutkan dengan cara mendesak pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut seluruh peraturan perundangan yang melanggengkan kerusakan lingkungan hidup, di antaranya Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Mineral dan Batubara, Undang-Undang Ibu Kota Negara, serta aturan turunannya. Tanpa melakukan hal ini, upaya menyelamatkan planet bumi akan menjadi sia-sia belaka.
Mendorong Undang-Undang Keadilan Iklim
Upaya menyelamatkan planet bumi juga harus dilanjutkan dengan mendorong Undang-Undang (UU) Keadilan Iklim. UU ini sangat penting untuk didorong oleh seluruh lapisan masyarakat dalam rangka membangun mitigasi, adaptasi, serta membangun skema pemulihan loss and damage dari krisis iklim. Lebih jauh, UU ini harus digunakan untuk mendesak negara untuk menempatkan keselamatan lingkungan hidup dan keadilan iklim bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Dalam konteks yang lebih luas, UU Keadilan Iklim harus diarahkan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi yang selama ini telah mendapatkan keuntungan yang sangat besar dengan cara merusak lingkungan hidup.
Secara konseptual, keadilan iklim yang akan didorong dalam UU ini memuat sejumlah prinsip penting sebagai berikut:
Pertama, menegaskan kesakralan bumi, kesatuan ekologi dan ketergantungan semua spesies. Kedua, menegaskan masyarakat memiliki hak untuk bebas dari krisis iklim, dampak terkait, dan bentuk lain dari perusakan ekologis.
Ketiga, menegaskan hak-hak masyarakat adat dan komunitas yang terkena dampak untuk mewakili dan berbicara untuk diri mereka sendiri. Keempat, menuntut masyarakat yang terkena dampak untuk memainkan peran utama dalam proses pengambilan keputusan atau perumusan pembangunan, baik di tingkat nasional dan internasional, untuk mengatasi krisis iklim.
Kelima, menyerukan pengakuan prinsip utang ekologis yang harus dibayar oleh pemerintah, industri dan perusahaan transnasional kepada seluruh masyarakat yang terdampak krisis iklim; Keenam, menuntut agar bahan bakar fosil dan industri ekstraktif bertanggung jawab penuh atas semua dampak siklus hidup masa lalu dan saat ini yang berkaitan dengan produksi gas rumah kaca.
Ketujuh, menuntut sumber daya energi bersih, terbarukan, dikendalikan lokal, dan berdampak rendah demi kepentingan planet yang berkelanjutan bagi semua makhluk hidup.
Kedelapan, menyerukan moratorium pada semua yang baru eksplorasi dan eksploitasi bahan bakar fosil; moratorium pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir baru, dan penghentian penggunaan tenaga nuklir di seluruh dunia.
Kesembilan, menegaskan hak pemuda sebagai mitra sejajar dalam gerakan untuk mengatasi krisis iklim dan dampak yang terkait. Kesepuluh, keadilan iklim menyerukan pendidikan generasi sekarang dan mendatang, menekankan isu-isu iklim, energi, sosial dan lingkungan, sambil mendasarkan diri pada pengalaman hidup nyata dan apresiasi terhadap perspektif budaya yang beragam.
Menjelang pemilihan umum yang akan diselenggarakan tahun 2024 mendatang, UU Keadilan Iklim penting untuk didesakkan kepada para pemimpin politik dan mendesak mereka untuk memprioritaskan UU ini sebagai agenda utama penyelamatan Indonesia. Desakan tersebut harus dimulai tahun 2023 ini yang diinisiasi oleh generasi muda yang memiliki hak untuk mendapatkan planet bumi yang sehat dan selamat dari krisis iklim.
Selamat merayakan Idul Fitri 1444 H. Semoga Allah menerima seluruh amal dan ibadah kita. Aamiin ya Rabbal alamin. (*)
* Tulisan pernah dimuat di harian Ambon Ekspres, Jumat (28 April 2023)