slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot pulsaslot pulsaslot777slot 2025slot terbaik 2025slot terpercaya 2025slot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercayaagen slot gacorslot gacorslot gacor viralslot pulsaslot gacor maxwinslot danasitus slot gacor
171 organisasi Masyarakat Sipil dari 40 negara meminta Pemerintah Jepang untuk menghentikan dana publik untuk PLTU Batubara Cirebon dan Indramayu Jawa Barat | WALHI

171 organisasi Masyarakat Sipil dari 40 negara meminta Pemerintah Jepang untuk menghentikan dana publik untuk PLTU Batubara Cirebon dan Indramayu Jawa Barat

Kepada: Tuan Abe, Tuan Aso, Tuan Kono, Tuan Seko, Tuan Nakagawa, Tuan Kondoh, Tuan Kitaoka dan Tuan Bando   Kelompok dari seluruh dunia menulis untuk menunjukan dukungan kuat untuk komunitas Indonesia di Cirebon dan Indramayu Jawa Barat yang tidak pernah menyerah dan terus menjaga upaya mereka untuk melindungi kehidupan dan lingkungan mereka dari proyek batubara yang didukung Jepang. Pemerintahan Jepang harus menghormati penolakan terus menerus yang ditunjukan dengan berbagai cara, termasuk aksi protes dan gugatan hukum, meskipun pelanggaran HAM serius mengancam mereka. Kami meminta JBIC dan NEXI untuk tidak mendukung lagi perluasan pembangkit listrik batubara Cirebon (1000 MW) dan JICA untuk menolak pinjaman untuk perluasan pembangkit batubara Indramayu (1000 MW)   Kami sangat memperhatikan peran Jepang dalam mendorong pembangunan PLTU batubara baru di luar negeri, bahkan sesudah kesepakatan Paris yang diadopsi pada tahun 2015 dan memasuki tahap pelaksanaan ditahun 2016. Perbedaan antara de-karbonisasi secara cepat sektor energi global dan kebijakan Jepang yang terus mengespor PLTU batubara "efisien" sangat kontras. Sebagai contoh, Lembaga publlik Jepang, yang bernama JBIC dan NEXI, dan bank komersial Jepang tahun lalu memutuskan untuk mendanai pengembangan PLTU batuabra Tanjung Jati B (2000MW) di Jawa Tengah, dan mendukung juga pengembangan PLTU batubara Cirebon, sesudah bank komersial Prancis menarik diri dari konsorsium bank yang mendanai kedua proyek tersebut sebagai komitmen mereka untuk mengurangi pendanaan batubara.  Ini juga diikuti oleh kebutusan baru-baru ini JBIC dan bank komersial bank lain mendanai pengembangan PLTU batuabra Nghi Son (1200 MW) di Thanh Hoa Vietnam april lalu, sesudah bank komersial Inggris menarik diri dari konsorsium perbangkan. Menurut laporan Japang berencana untuk terlibat dalam banyak PLTU batubara baru di luar negeri, termasuk di Mynmar, Filipina, Mongolia, Bangladesh, Botswana, Afrika Selatan, Mesir, selain di Indonesia dan Vietnam.  Pendanaan semacam itu dari bank publik dan swasta Jepang untuk proyek batubara mengabaikan uapaya global untuk menurunkan emisi karbon yang sejalan dengan Perjanjian Paris. Untuk memenuhi sasaran suhu jangka panjang Perjanjian Paris, tidak ada pembangkit batuabra baru.

Jepang telah menandatangani perjanjian Paris harus bertanggung jawab mengganti arah secepatnya. Kalau tidak Jepang akan menghadapi lebih banyak kritik Internasional   Proyek PLTU tersebut di Cirebon dan Indramayu telah menarik perhatian internasional karena terpengaruh oleh penolakan terus menerus dari masyarakat setempat. Masyarakat terdampak mengakat masalah lingkungan dan sosial, seperti dampak buruk pada mata pencaharian dan kesehatan. pelanggaran terhadap lingkungan dan pedoman sosial , yang JBIC, NEXI dan JICA sendiri, yang dapat  ditunjukkan seperti penjelasan di bawah ini. Pertama, kedua proyek itu mengandung cacat fatal  dalam izin lingkungan mereka. masyarakat mengajukan tuntutan adminastrif, mengklaim bahwa izin untuk proyek tidak seharusnya dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten, pengadilan bandung menyatakan pembatalan kedua izin lingkungan, masing-masing pada bulan April 2017 untuk kasus Cirebon dan pada bulan Desember 2017 untuk kasus Indramayu. Terlepas dari putusan-putusan yang mendukung masyarakat, perjuangan mereka melalui jalur hukum masih berlangsung. Masyarakat  Cirebon telah mengajukan banding ke pengadilan tinggi, setelah pengadilan bandung menolak permintaan mereka atas pembatalan izin lingkungan ke-2 bulan ini (mei), yang mana dikeluarkan pada bulan juli 2017 tanpa diketahui oleh masyarakat setempat. Masyarakat Indramayu telah juga mengajukan banding ke Mahkamah Agung, setelah penolakan gugatan mereka di Pengadilan Tinggi Jakarta pada bulan April 2018. JBIC, NEXI, dan JICA tidak boleh memberikan dukungan apa pun untuk kedua proyek, kecuali dan hingga keputusan pengadilan final, jika pembatalan izin lingkungan dikonfirmasi oleh keputusan hukum tetap, akan menjadi jelas bahwa proyek melanggar Panduan mereka sendiri, yang membutuhkan "kepatuhan terhadap hukum lingkungan negara tuan rumah" dan "pengajuan sertifikat izin lingkungan. "Harus juga diperhatikan bahwa tim pengacara dan LSM untuk gugatan masyarakat memperingatkan bahwa situasi saat ini mengindikasikan bahwa undang-undang dan peraturan untuk melindungi lingkungan diabaikan, menyerah pada kepentingan pembangunan. Kedua, kasus hukum yang sedang berlangsung ini adalah salah satu bentuk jelas yang menunjukkan komunitas secara terus menerus menolak proyek-proyek di Cirebon dan Indramayu. Jelas tidak ada "Penerimaan Masyaakat" untuk kedua proyek telah dilakukan, yang oleh Panduan diperlukan. Ketiga, tidak tindakan yang tepat dan efektif untuk meningkatkan atau setidaknya memulihkan mata pencaharian petani lokal dan nelayan, misalnya jaring ikan yang disediakan oleh pemrakarsa proyek tidak efektif untuk mengembalikan mata pencaharian nelayan skala kecil di Cirebon, tetapi sebaliknya memecah belah masyarakat lokal atau masyarakat, demikian juga ternak yang disediakan untuk petani penyewa dan buruh tani harian tidak akan menggantikan hilangnya lahan pertanian di Indramayu, program-program tersebut bukan solusi yang tepat untuk dampak besar pada penghidupan masyarakat.

Apa yang dibutukan komunitas adalah lingkungan pesisir yang sehat untuk memancing dan lahan irigasi yang subur untuk pertanian. Pelanggaran yang jelas dari Pedoman yang menetapkan bahwa "Para pendukung proyek harus melakukan upaya untuk memungkinkan orang yang terpengaruh oleh proyek untuk meningkatkan standar hidup mereka, peluang pendapatan, dan tingkat produksi, atau setidaknya untuk mengembalikannya ke tingkat pra-proyek". Terakhir, pelanggaran hak asasi manusia terhadap anggota komunitas yang lantang menolak tidak boleh diabaikan. Terutama kriminalisasi yang sedang berlangsung di Indramayu sangat mengkhawatirkan. Pada Desember 2017, beberapa anggota masyarakat secara keliru ditangkap oleh polisi setempat dan masih dalam status tersangka sampai saat ini, bahkan setelah mereka dibebaskan. Para anggota masyarakat lainnya, termasuk salah satunya penggugat  dalam gugatan tersebut, telah dipenjara sejak April lalu.

Insiden ini dapat menyebabkan efek yang mengerikan, ini dapat juga mencegah masyarakat untuk bebas mengekspresikan pendapat mereka di Cirebon seperti halnya di Indramayu, sangat memperihatinkan bahwa kedua proyek tidak dapat memastikan "partisipasi bermakna dari orang-orang yang terkena dampak, "yang diperlukan oleh Pedoman. Terakhir tapi bukan paling akhir, kami ingin menarik perhatian Anda ke margin cadangan listrik di jaringan Jawa Bali yang sudah mencapai 32 persen lebih. Menurut laporan pemerintah terbaru, angka ini harus tetap pada 29 persen pada 2027. Permintaan listrik pada tahun 2017 untuk seluruh Indonesia hanya meningkat dengan 3,57% dan tidak konsisten dengan pertumbuhan ekonomi sangat jauh dengan asumsi perencanaan. Dipertanyakan apakah kedua proyek di Cirebon dan Indramayu diperlukan, dengan mengorbankan kehidupan lokal dan lingkungan serta iklim global. Kami sekali lagi menuntut agar pemerintah Jepang untuk itu tidak mendukung lagi Pembangkit listrik tenaga batu bara Cirebon dan Indramayu, Jepang harus mengakhiri pembiayaannya untuk proyek-proyek batubara dan bergeser ke proyek energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan yang akan meningkatkan akses ke listrik tanpa mengotori udara dan air setempat atau berkontribusi terhadap perubahan iklim.