Brief Paper Masyarakat Sipil
Briefing Paper ini disusun oleh kelompok masyarakat sipil sebagai basis argumentasi mengapa masyarakat sipil menolak rencana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi. Kami memahami bahwa pangan dan energi adalah kebutuhan dasar seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Sehingga pangan dan energi seyogyanya diletakkan dalam bingkai hak, bukan bisnis. Pangan dan energi sebagai hak, berarti negara harus memastikan akses dan kontrol terhadap sumber dan produksi pangan dijalankan melindungi hak dan menghormati martabat semua individu. Swasembada pangan dan energi yang diwujudkan melalui food estate dan energy estate tidak lebih dari bisnis, yang akan terus menempatkan rakyat dan alam sebagai komoditas sehingga dianggap layak untuk terus dieksploitasi.
Rencana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi akan menjadi proyek legalisasi deforestasi terbesar dalam sejarah Indonesia. Jika seluas 4,5 juta hektar saja hutan alam dibuka, akan melepaskan sebesar 2,59 miliar ton emisi karbon, maka dapat diakumulasi berapa besaran emisi yang akan dilepaskan dari 20 juta hektar hutan yang akan dibuka. Rencana ini bertentangan dengan komitmen global Indonesia dalam perlindungan keanekaragaman hayati, pengurangan emisi melalui skema Nationally Determined Contributions (NDC), serta pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Selain itu, rencana ini juga bertolak belakang dengan kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sendiri terkait FoLU Net Sink 2030, yang seharusnya menargetkan pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan lahan.
Selain itu, rencana ini akan meningkatkan eskalasi konflik dan bencana ekologis di Indonesia. Selama ini rakyat terus menjadi korban kriminalisasi saat konflik agraria berlangsung. Dalam konteks bencana, sejak 2015 hingga 2022 negara harus menanggung kerugian sebesar 101,2 triliun rupiah dari kejadian bencana hidrometereologi yang diakibatkan perubahan landscape ekosistem penting seperti hutan. Negara juga akan mengalami kerugian sebesar 3.000 triliun rupiah dari tegakan pohon yang hilang dari pembukaan 20 juta hektar hutan.
Rencana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi ini juga berisiko menimbulkan pelanggaran HAM berat berupa penyingkiran secara paksa masyarakat lokal/adat (eksklusi). Apalagi jika kedepan rencana ini dilekatkan status Proyek Strategis Nasional (PSN). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa pola pengambilan kebijakan terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) sejak awal telah mengabaikan hak atas informasi dan partisipasi masyarakat lokal/adat sebagai hak atas pembangunan yang paling mendasar.
Selengkapnya, silahkan unduh tautan berikut:
Bahaya Rencana Pembukaan 20 juta hektar Hutan untuk Pangan dan Energi