Siaran Pers
Tim Advokasi untuk Demokrasi (Taud)
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengecam keras penangkapan sewenang-wenang dan dugaan kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah (POLDA) Banten terhadap Masyarakat dan Santri (anak) di Kampung Cibetus, Kecamatan Padarincang, Banten.
Berdasarkan informasi yang kami terima, tindakan brutal Polisi tersebut terjadi pada hari Jum’at tanggal 7 Februari 2025 sekitar pukul 00.30 WIB dini hari. Dalam kasus penangkapan tersebut, puluhan anggota Kepolisian dari Polda Banten langsung menggeruduk dan mendobrak rumah-rumah Masyarakat tanpa menunjukkan surat tugas dan menjelaskan permasalahan, bahkan pada saat kejadian berlangsung sejumlah anggota Polisi sempat menodongkan senjata api kepada Masyarakat.
Tidak hanya memasuki rumah warga tanpa dasar yang jelas, Kepolisian juga membombardir Pondok Pesantren tradisional dan menangkap beberapa santri di dalamnya yang sedang beristirahat.
Tindakan tersebut menimbulkan trauma di Masyarakat Kampung Cibetus, Kecamatan Padarincang, Banten. Diketahui bahwa sampai dengan sekarang situasi di Kampung Cibetus, Kecamatan Padarincang, Banten masih mencekam karena masih banyak anggota Polisi dengan jumlah yang masif dan dipersenjatai dengan senjata lengkap yang masih berkeliaran di Kampung Cibetus.
Alih-alih membenahi tindakan arogan yang telah dilakukan dengan menyampaikan permintaan maaf dan menarik seluruh aparat yang berjaga di Desa Cibetus, Kecamatan Padarincang justru berdasarkan informasi yang kami terima pihak kepolisian berusaha untuk mengintimidasi beberapa warga agar membuat pernyataan klarifikasi guna memframing publik agar tercipta narasi tindakan tersebut adalah hoax atau bohong.
Diketahui bahwa sampai dengan sekarang sudah ada 8 (delapan) orang Masyarakat yang ditangkap, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan secara sewenang-wenang oleh Polda Banten dengan rincian 2 laki-laki dewasa atas nama Samsul Ma’arif dan Cecep, 1 perempuan atas nama Hj. Yayat dan 5 santri yang berstatus anak-anak berinisial DP, F, U, FR dan S.
Saat ini kedelapan Masyarakat dan Santri (anak) ditahan di Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Banten oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Subdit III Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras). Berdasarkan informasi kedelapan Masyarakat dan Santri (anak) yang dilakukan penangkapan dan penahanan dituduh melakukan tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama sama sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP Jo. Pasal 55 KUHP.
Berdasarkan informasi yang kami terima, sampai dengan sekarang Polda Banten tidak membuka akses bantuan hukum atau pendampingan oleh Pengacara terhadap semua Masyarakat yang ditangkap ataupun didampingi oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum sesuai amanah Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Oleh karena itu kami mendesak:
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan Kapolda Banten untuk membuka akses bantuan hukum dan membebaskan semua masyarakat yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka secara sewenang-wenang;
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan Kapolda Banten agar memerintahkan semua anggota kepolisian yang berada di sekitar Kecamatan Padarincang, Banten meninggalkan tempat karena menimbulkan ketakutan terhadap Masyarakat dan berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang selanjutnya;
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan Polda Banten untuk memulihkan kondisi masyarakat baik yang menjadi korban fisik maupun psikis sebagai dari tindakan anggota Polisi yang bertugas termasuk namun tidak terbatas pada saat penangkapan berlangsung;
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan Divisi Propam untuk memeriksa Kapolda Banten dan semua anggota Polisi yang terlibat melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat Padarincang, Banten;
- Komisi Kepolisian Nasional, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama memberikan perlindungan dan pemulihan kepada Masyarakat Kecamatan Padarincang, Banten baik yang menjadi korban maupun berpotensi menjadi korban dalam peristiwa tersebut;
Hormat kami,
Tim Advokasi untuk Demokrasi
Narahubung:
Astantica Belly Stanio, LBH Jakarta
Teo Reffelsen, WALHI
Ihya Roza Yahya, KontraS
Rizal Hakiki, LBH Pijar