slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercayaagen slot gacorslot gacorslot gacor viralslot pulsa
Berebut Ruang dengan Investasi | WALHI

Berebut Ruang dengan Investasi

Berebut Ruang dengan Investasi
Oleh: Ahmad Farid

Negeri Kie Raha
Berdiri di pesisir ternate yang menghadap ke pulau Tidore dan Maitara mengingatkan kita pada gambar di lembar alat transaksi resmi Indonesia. Keindahan ini seakan berpadu dengan perjalanan kesejarahan 4 pilar kerajaan penting di wilayah Maluku Utara yakni kerjaaan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan (Posisi pentingnya 4 kerajaan ini memunculkan satu istilah penyebutan lain bagi Maluku Utara yakni Kei Raha/empat gunung)  telah mengisi kolom-kolom sejarah panjang perjalanan nusantara.

Desa Gane Dalam merupakan salah satu dari 250 desa yang ada di kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) yang ber-ibukota di Bacan. Mayoritas penduduk bermatapencaharian petani kebun dan nelayan. Beberapa tanaman produktif bulanan dan tahunan yang dihasilkan adalah buah-buahan, sayur mayur, cabe, ubi, kelapa, pala, dan cengkeh.

Sejarah panjang perebutan/penguasaan wilayah antar 4 kerajaan tersebut disertai perluasan penguasaan pengaruh hingga wilayah Papua ( timur) dan Sulawesi (barat) yang pada akhirnya didominasi oleh 2 kerjaan utama yakni Ternate dan Tidore tidak terlepas dari perebutan ruang ekonomi berbasiskan hasil sumber daya alam berupa rempah-rempah. Dan bahkan pelibatan negara-negara penjajah (Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda) di negeri Kei Raha ini juga bagian dari perebutan ruang ekonomi ini.

Pemahaman akan sejarah perjalanan negeri Kie raha ini memberikan pemahaman tambahan bagaimana memahami situasi konflik yang terjadi di Maluku Utara terutama pada aspek sosialnya, mengingat relasi kekuasaan raja (Ternate dan Tidore) dengan wilayah-wilayah penguasaannya pada masa lalu masih memiliki pengaruh yang besar hingga saat ini, terutama bagi sebagian besar masyarakat yang hidup di pedesaan

Orang Gane dan wilayah kelolanya
Sebagai bagian dari paparan nusantara yang memiliki lebih 17.000 pulau, kabupaten Halmahera Selatan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki jumlah pulau terbanyak di Indonesia. Dengan jumlah hampir 1000 pulau dengan 7 pulau besar didalamnya yakni Bacan, makian, Kayoa, Kasiruta, Mandioli, Obi dan Gane.

Kondisi alam yang berpulau-pulau yang dikelilingi laut sebagai pemersatunya, menghasilkan kekhasan adat dan budaya, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Daratan kepulauan dan lautannya bagi masyarakat Gane adalah sumber penghidupan. Karena dari kedua ranah tersebut mereka mendapatkan sumber karbohidrat, protein, mineral, vitamin, kayu untuk rumah dan perahu serta obat-obatan herbal. Semua kekayaan tersebut didukung oleh kesuburan tanah dan laut yang ada di sekitarnya.

Dalam pengelolaan wilayahnya, secara makro masyarakat membagi 3 ruang yakni; 1). Wilayah pemukiman, pemukiman orang gane dalam terkonsentrasi di satu titik baik dalam administrasi dusun maupun desa yang saling berdekatan. 2). Wilayah perkebunan, lahan perkebunan masyarakat berada agak jauh dari lokasi pemukiman warga, untuk mencapai lokasi kebun, warga banyak yang menggunakan perahu dayung dan atau perahu mesin tempel. 3). Zona ketiga adalah wilayah perairan, secara umum masayarakat Gane Dalam memanfaatkan wilayah perairannya sebagai sarana mobiltas dan sumber protein dari ikan-ikan yang mereka tangkap secara tradisional lewat pancing dan bubu.

Secara umum, masyarakat memiliki lahan kelolanya  berdasarkan warisan turun temurun serta memiliki nilai sejarah, karena dalam proses pembukaannyapun  mereka menggunakan ritual adat yang disebut Tolagum. Sejarah panjang masyarakat Gane tidak terlepas dari perjalanan panjang kerajaan Ternate dan Tidore atau Kie raha pada umumnya. Karenanya mereka termasuk pada komunitas yang sudah cukup tua.

Beberapa hasil kebun utama yang menjadi penopang hidup masyarakat: buah kelapa yang sudah mereka olah menjadi kopra, kemiri, kenari serta hasil perkebunan semusim (cabai, terong, kacang). Sedangkan olahan siap konsumsi seperti keripik pisang, kerupuk popaco (sejenis kerang-kerangan yang ada di wilayah mangroove) masih dalam tahap ujicoba.

Jika dilihat dari perspektif budaya, orang Gane Dalam memiliki kultur dominan sebagai petani walaupun wilayahanya dikelilingi lautan. Kultur petani ini tercermin dari aktifitas ekonomi dan relasi dominan yang terjadi di masyarakat. Maka tidaklah mengherankan sumber daya kelautan yang dimiliki desa Gane Dalam masih terjaga dengan baik, masyarakat hanya mengambil ikan seperlunya untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga dan biasanya dilakukan dalam perjalanan pulang dari kebun, ikan yang diambil pun hanya ikan tertentu seperti cakalang, tongkol, tuna dan kerapu.

Kediaman yang mulai terusik
Kedamaian masyarakat gane (dalam dan luar) bersama anugrah sumber daya alam dan lingkungannya yang luar biasa mulai terusik ketika PT. Gelora Mandiri Membangun (GMM), anak perusahaan dari PT. KORINDO (Korea) berinvestasi di Halmahera Selatan dengan membangun perkebunan kelapa sawit. Luasan wilayah konsesi untuk budidaya sawit atas nama PT. Gelora Mandiri Membangun adalah 11.003, 90 Ha (SK Menteri Kehutanan No SK.22/MENHUT-II/2009 tentang pelepasan sebagian kawasan hutan produksi. Dari luasan tersebut yang sudah dibuka saat ini kurang lebih 1000 ha (250 untuk camp (2013), 500 ha realisasi dan 250 ha. Lahan pembibitan (2013).

Sejak perusahaan sawit beroperasi di wilayah Gane, masyarakat kini menghadapi berbagai tantangan selain persoalan lahan (wilayah kelolanya). Setidaknya akan ada 20 desa yang terancam wilayah kelolanya jika perusahaan ini sudah merealisasikan seluruh konsesinya yang meliputi 7 desa di kecamatan Gane Barat Selatan, 6 desa di kecamatan Gane Timur Selatan serta 7 desa di kecamatan kepulauan Joronga. Selain terkait lahan/wilayah kelola, masyarakat juga kini telah menghadapi masalah sosial dan lingkungan sebagaimana yang mereka ungkapkan dalam pertemuan warga yakni:

  1. Enam anak sungai sudah hilang (4 sungai tadah hujan dan 2 anak sungai bermata air) yang tertutup urugan tanah oleh perusahaan.
  2. Konflik internal di tingkatan warga mulai nampak, dengan munculnya kubu yang pro dan kontra terhadap kehadiran perusahaan.
  3. Keresahan karena proses intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang mengawal proses land clearing.
  4. Petilasan Sangaji Gane telah digusur oleh perusahaan.
  5. Biaya untuk ke kebun kini semakin meningkat, kini masyarakat harus membawa air dari kampung untuk k eperluan di kebun dan keterbatasan air ini memaksa mereka harus pulang per 2 hari dari biasanya seminggu (untuk sekali jalan ke kebun/PP, masyarakat membutuhkan BBM 5 lt. harga per lt Rp. 12.000)
  6. Debu dari aktivitas pembukaan lahan serta asap dari pembakaran kayu dan serasah selama proses land clearing.
  7. Banyaknya pohon yang sudah ditebang perusahaan, kini warga kesulitan mendapatkan kayu untuk kepentingan domestiknya
  8. Pencurian kayu dan hasil kebun masyarakat (cabe dan pisang) kini sudah mulai terjadi. Kejadian pencurian ini sebelum beroperasinya perusahaan belum pernah terjadi.

Keteguhan sikap orang Gane
Ancaman yang sudah nyata dihadapi oleh masyarakat Gane tidak menyurutkan langkah mereka untuk mempertahankan kondisi wilayah kelolanya. Pro kontra yang terjadi di masyarakat, intimidasi yang berakhir di penjara bebera orang masyarakat Gane, mereka fahami sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Namun jauh lebih penting dari itu, tanah Tolagum (warisan leluhur) harus mereka pertahankan.

Dalam upaya mempertahankan wilayahnya, mereka tetap mengusahakan hak atas wilayah kelolanya, upaya ini telah dikuatkan juga dengan salah satu butir kesimpulan Komnas HAM pada bulan Januari 2014 bahwa “Masyarakat Gane Dalam dsk adalah masyarakat adat dengan ciri mempunyai struktur adat, wilayah adat, tanah ulayat yang dikelola secara kolektif maupun perseorangan dan hukum adat yang masih dipatuhi oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan UU No. 39 l/1999 pasal 6. Sebagai masyarakat adat yang hidupnya sangat bergantung pada SDA, maka hal tersebut harus diperhatikan oleh pemerintah maupun perusahaan ketika melakukan investasi”.

Dalam menjaga dan mengembangkan model kelola wilayahnya, masyarakat juga melakukan berbagai upaya perbaikan lingkungan dan pengkayaan vegetasi berupa: penanaman bakai di sepanjang pantai yang kondisi vegetasi mangroove nya sudah rusak, melakukan pembibitan tanaman ekonomi keluarga dll.[]