slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot pulsaslot pulsaslot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercayaagen slot gacorslot gacorslot gacor viralslot pulsaslot gacor maxwinslot danasitus slot gacor
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UUD 1945 Pasal 33 (3).   | WALHI

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UUD 1945 Pasal 33 (3).  

Siaran Pers Konferensi Rakyat Sumatera Selatan, Memperingati Hari Tani Nasional 2017-Koalisi Rakyat Sumsel Menggugat- Palembang, 02 Oktober 2016. Sejatinya tugas negara adalah memakmurkan rakyatnya, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun 72 tahun sudah Republik ini dibentuk, tanpa ada sedikipun amanat rakyat yang dicapai secara signifikan oleh penyelenggara Negara, yakni Pemerintah. Seperti halnya yang terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel), kegagalan-kegagalan tersebut antara lain; gagalnya pemerintah memastikan rakyat mendapat kehidupan yang layak. Kondisi ini ditengarai oleh luasan 8 juta hektar luas wilayah Sumsel yang saat ini dikuasai oleh korporasi-korporasi besar; sektor kehutanan dengan tanaman industri (kebun Akasia/ekaliptus) seluas 1,5 jt hektar, sektor perkebunan (di dominasi oleh kebun sawit) seluas 1 jt hektar, pertambangan 2,5 jt hektar, kawasan lindung 1,3 jt hektar. Setidaknya rakyat hanya menguasai tidak lebih dari 1 jt hektar dengan segala keterbatasan yang ada. Dengan lahan yang terbatas tersebut, petani dan masyarakat Sumsel masih harus berjuang dengan berbagai persoalan dan karakteristik yang ada. Di wilayah yang banyak dikuasai oleh izin pertambangan misalnya, kasus-kasus pencemaran dan krisis ekologi telah menghilangkan daya dukung lingkungan bagi petani yang disebabkan oleh watak industri energi kotor yang terus menghisap sumber daya alam.

Tidak heran banyak komoditi-komoditi lokal yang selama ini menjadi unggulan terus tergerus oleh konsesi (izin) pertambangan. Kondisi ini belum lagi ditambah pembangunan PLTU Mulut Tambang yang berdiri di tengah lahan pertanian dan pemukiman masyarakat. Sebagaimana kita ketahui keberadaan PLTU Mulut Tambang akan semakin mempercepat kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dimana lahan pertanian masyarakat merupakan wilayah yang paling rentan tercemar. Di Sektor industri berbasiskan lahan lainnya, yakni perkebunan kelapa sawit dan industri hutan melalui kebun akasia dan ekaliptus menjadi sektor terbesar perampasan wilayah kelola masyarakat. Tidak sedikit perampasan tanah yang merupakan lahan pertanian dan kehidupan masyarakat disertai kekerasan oleh pihak korporasi dengan menggunakan aparat (TNI-POLRI) sebagai alat kekerasan. Misalnya perampasan wilayah kelola rakyat yang terus terjadi dan berulang oleh PT. Musi Hutan Persada. Sedikitnya sebanyak 35 desa yang tersebar di 7 kabupaten terus mengalami perampasan tanah yang disertai kekerasan. Kasus-kasus tersebut dimulai sejak korporasi tersebut mendapat izin konsesi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa industri kehutanan (kebun akasia dan ekaliptus) oleh korporasi merupakan watak warisan penghancuran hutan alam di Sumatera Selatan oleh izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dimana industri ini telah memisahkan kehidupan petani dan masyarakat adat dari hutan, padahal dalam sejarahnya para petani hutan dan masyarakat adat sangat bijak dalam mengelola sumber daya alam. Selain itu, perampasan tanah dan konflik agraria yang mayoritasnya disertai dengan kekerasan, pelanggaran HAM dan kriminalisasi menimbulkan dampak berlapis bagi perempuan, termasuk  meningkatkan beban perempuan. Di sektor kehutanan tumpang tindih perijinan areal kawasan hutan juga merupakan salah satu faktor terjadi konflik agraria. Hilangnya akses dan kontrol masyarakat atas tanah sebagai sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga maupun untuk ekonomi keluarga, berdampak pada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan tersedianya pangan keluarga dan komunitasnya setiap hari. Atas dasar berbagai persoalan di atas kami Koalisi Rakyat Sumatera Selatan Menggugat, menuntut/mendesak Negara untuk:

  1. Melakukan review dan mencabut izin perusahaan-perusahaan yang selama ini terbukti merampas dan menggusur kehidupan masyarakat, sebab konflik yang terjadi saat ini adalah konflik yang terus mengulang. Karena tidak ada itikad baik dari korporasi untuk menghargai hak-hak masyafrakat.
  2. Mempercepat pelaksanaan reforma agraria di Sumatera Selatan, terutama wilayah yang selama ini dirampas oleh sejumlah korporasi antara lain di wilayah; Kabupaten Musi Rawas: Dusun Cawang, Desa Bumi Makmur, Desa Semangus, Desa Sungai Pinang, Desa Muara Rengas, Desa Anyar, Desa Semangus Lama, Desa Pendingan, Desa Mukti Karya, Desa Muara Megang. Kabupaten Muratara; Desa Tebing Tinggi. Kabupaten OKU Induk; Desa Merbau. Kabupaten Muba; Desa Simpang Bayat, Desa Simpang Tungkal/Belido. Kabupaten Muara Enim; Desa Sumber Mulya, Desa Karang Mulya, Desa Karang Agung. Kabupaten Muara Enim; Wilayah Adat Rimbo Sekampung.
  3. Memastikan pelaksanaan reforma agraria yang berkeadilan gender dengan memastikan keterlibatan perempuan maupun keterwakilan kepentingan perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan reforma agraria secara inkslusif; Perempuan sebagai subjek pemangku kepentingan dalam agenda reforma agraria, serta memastikan penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan prinsip-prinsip yang sensitif dan responsif gender."
  4. Segera membentuk kelembagaan reforma agraria yang independent dengan pelibatan masyarakat sipil.
  5. Moratorium izin perkebunan, hutan tanaman industri (HTI), dan pertambangan, dan segera melakukan pemulihan lingkungan hidup
  6. Menghentikan dan menarik pelibatan aparat negara (TNI-POLRI) di wilayah-wilayah yang rentan terjadinya konflik tenurial.

-Koalisi Rakyat Sumsel Menggugat- WALHI Sumsel, Lingkar Hijau, Solidaritas Perempuan (SP Palembang), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, AMAN PW Sumsel, WCC Palembang, LP3HAM, Komunitas Masyarakat Pengelola Rawa Gambut (KOMPAG Sumsel), IMPALM, Serikat Petani Sriwijaya (SPS), Mafesripala, Sahabat WALHI Sumsel, Green Student Movement (GSM), Serikat Petani Cawang (SPC), Masyarakat: Kabupaten Musi Rawas: Desa Bumi Makmur, Desa Semangus, Desa Sungai Pinang, Desa Muara Rengas, Desa Anyar, Desa Semangus Lama, Desa Pendingan, Desa Mukti Karya, Desa Muara Megang. Kabupaten Muratara; Desa Tebing Tinggi. Kabupaten OKU Induk; Desa Merbau. Kabupaten Muba; Desa Simpang Bayat, Desa Simpang Tungkal/Belido. Kabupaten Ogan Ilir; Desa Sri Bandung. Kabupaten Muara Enim; Desa Sumber Mulya, Desa Karang Mulya, Desa Karang Agung. Kabupaten Muara Enim; Masyarakat Adat Rimbo Sekampung