Siaran Pers
Eksekutif Nasional WALHI
Eksekutif Daerah WALHI Jawa Tengah
Jakarta, 24 Juli 2024 – Sejumlah nelayan tradisional dari Tambakrejo, Kota Semarang, Jawa Tengah mengunjungi kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menyampaikan agenda pemulihan mangrove berbasis masyarakat. Hadir dalam pertemuan tersebut, dua orang nelayan, yaitu Marzuki dan Aksis, yang didampingi oleh Iqbal Alma, Manajer Kajian dan Advokasi WALHI Jawa Tengah, serta Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional.
Dari Pihak KKP, turut hadir Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, MuhammAd Yusuf S.Hut, M.Si., bersama tim dari direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, di antaranya Heri Daulay.
Dalam kesempatan ini, Marzuki menyampaikan bahwa dirinya bersama masyarakat di Tambakrejo, khususnya nelayan tradisional mengalami kesulitan untuk melakukan penanaman mangrove karena ada klaim dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana dan Pertamina.
Selain itu, Pembangunan Jalan Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD) dinilai oleh Marzuki ikut berkontribusi pada kerusakan ekosistem mangrove di Pesisir Semarang, khususnya di Tambakrejo, yang dihuni oleh kebih dari 100 keluarga. “Kebijakan BBWS dan Pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak, menyebabkan kerusakan mangrove semakin parah,” ungkapnya.
Marzuki dan Aksis menyebut bahwa masyarakat pesisir, khususnya nelayan di Tambakrejo membutuhkan dukungan dari pemerintah pusat, khususnya KKP untuk menjalankan agenda pemulihan mangrove, karena hal tersebut telah menjadi agenda masyarakat sejak lama sekali.
Nelayan Tambakrejo, Jawa Tengah bersama WALHI Jawa Tengah dan WALHI Nasional, menyerahkan Kertas Posisi RPP Perlindungan dan Pengelolaan Mangrove kepada Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau Kecil, KKP.
Dalam kesempatan ini, Iqbal Alma menyebut bahwa di Jawa Tengah telah ada Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Tengah Nomor 24 Tahun 2019 tentang Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Tengah. Pergub ini, kata Iqbal menyebut, dalam rangka percepatan pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Provinsi Jawa Tengah di masing-masing Perangkat Daerah harus menetapkan kegiatan/rencana aksi paling lambatnya 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Gubernur ini.
“Ini Pergub yang kami dorong dan gunakan untuk pemulihan mangrove di Jawa Tengah, khususnya di Tambakrejo,” kata Iqbal.
Sementara itu, Parid Ridwanuddin menyebut bahwa berbagai upaya masyarakat pesisir di tingkat tapak untuk mengelola mangrove perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah pusat. “Pemerintah wajib mendukung dan melindungi inisiatif masyarakat pesisir untuk melindungi mangrove, termasuk yang dilakukan di Tambakrejo,”ungkapnya.
Hal lain yang Parid sampaikan adalah mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Mangrove yang saat ini digodok oleh pemerintah. Baginya, RPP memiliki sejumlah catatan serius, sebagai berikut[1]:
Pertama, RPP ini belum mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Dengan kata lain, pengakuan terhadap tata kelola lokal yang dibangun oleh masyarakat belum terlihat dalam RPP ini. Lebih jauh, tata kelola ekosistem mangrove yang terkandung dalam RPP ini masih sangat terpusat pada negara.
Kedua, RPP ini tidak memiliki posisi yang jelas untuk melindungi ekosistem mangrove dari berbagai kebijakan pemerintah yang berorientasi pada industri ekstraktif. Terdapat sejumlah pasal yang jelas jelas melegalkan perusakan ekosistem mangrove, khususnya Pasal 16 dan 18. Kedua pasal ini melegalkan konversi ekosistem mangrove.
Ketiga, RPP ini sangat terlambat jika melihat UU induknya, yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan kata lain, setelah UU itu disahkan pada 2009, baru 14 tahun kemudian ada aturan turunan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Keempat, RPP ini memiliki kelemahan yang serius dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan mangrove. RPP ini seharusnya menggunakan sanksi pidana jika merujuk kepada UU 32 Tahun 2009. Namun sayangnya, RPP malah menggunakan sanksi administratif yang sangat ringan dan menguntungkan para perusak mangrove. Dari sini, RPP ini sangat terlihat tidak merujuk kepada UU 32 Tahun 2009, tetapi merujuk kepada UU Cipta Kerja yang melihat sanksi pidana sebagai hambatan investasi.
Kelima, RPP ini tidak menempatkan mangrove dalam konteks mitigasi bencana yang melibatkan masyarakat lokal. Hal ini penting ditegaskan mengingat masyarakat lokal–baik laki-laki maupun perempuan–memiliki pengetahuan dan pengalaman lapangan karena mereka bersentuhan setiap hari dengan ekosistem mangrove. Pada titik ini, pendekatannya semestinya bukan hanya bersifat akademis dan teknokratis yang dilakukan di belakang meja, melainkan juga pendekatan berbasis pengetahuan lokal.
Respon Kementerian Kelautan dan Perikanan
Menanggapi hal tersebut, KKP menyambut baik apa yang disampaikan oleh nelayan Tambakrejo, WALHI Jawa Tengah, dan WALHI Nasional. Menurut Muhammad Yusuf, Direktorat Pendayagunaan Pesisir, mendukung upaya masyarakat pesisir, khususnya di Tambakrejo untuk melakukan pemulihan mangrove. Menurutnya, di beberapa tempat, timnya telah berhasil membuat jogging track mangrove yang sangat bermanfaat untuk masyarakat luas.
“Karena mangrove ini kewenangan kami, maka kami akan mendukung dan mendorong upaya-upaya pemulihan mangrove yang dikelola oleh masyarakat. Setelah pertemuan ini, ada potensi untuk mengembangkan mangrove bersama antara masyarakat Tambakrejo dengan KKP,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa KKP sedang mendorong pengarusutamaan pengelolaan mangrove berbasis masyarakat serta menyelesaikan tumpang tindih kewenangan pengelolaan mangrove supaya diakomodir dalam RPP Perlindungan dan pengelolaan mangrove.
Menurut M. Yusuf, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berharap finalisasi Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Mangrove atau RPP Mangrove tidak menarik semua kewenangan mengenai ekosistem tanaman tersebut ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Pembahasan RPP Mangrove sudah sampai ke Kementerian Sekretaris Negara, sebelum nantinya disahkan oleh Presiden Joko Widodo. Tim KKP sempat dipanggil oleh Deputi Perundang-undangan Sekretariat Negara untuk kebutuhan finalisasi beleid tersebut pada pekan lalu, namun ditunda,” ungkapnya.
Dengan total 3,44 juta hektar, wilayah mangrove yang dikelola BRGM seluas 2,59 juta hektar. Sedangkan luasan yang dikelola KLHK 596,6 ribu hektar. Yusuf menyebut KKP, lembaga pemerintah lain, dan regulator daerah, berwenang atas 246,82 ribu hektar.
“Atas dasar itu, masyarakat luas penting terus untuk menyuarakan persoalan tata kelola mangrove ini terbuka, akuntabel, dan berpijak pada kepentingan masyarakat pesisir,” pungkasnya.
Informasi lebih lanjut
Iqbal Alma, Manajer Kajian dan Advokasi WALHI Jawa Tengah, di nomor 0888-0606-1612
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional, di nomor 0812-3745-4623
[1] Selengkapnya, silakan akses: https://www.walhi.or.id/index.php/kertas-posisi-perlindungan-dan-pengelolaan-ekosistem-mangrove-di-indonesia