Fakta dan Kelemahan Moratorium
Zenzi Suhadi - WALHI
Penghentian izin baru, sesungguhnya tidak terjadi karena penerbitan izin masih terjadi di wilayah moratorium dan wilayah luar moratorium. Begitupun penebangan pada hutan alam dan pembukaan lahan gambut.
Kebijakan kontradiktif
1. Review Kawasan Hutan untuk Tata Ruang
Hilangnya mainstream fungsi lingkungan sebagai penyokong kehidupan manusia dalam latar belakang dan tujuan moratorium, membuat proses kontradiktif dilakukan oleh pemerintah selama masa moratorium, seperti berlomba-lombanya kepala daerah mengajukan perubahan status kawasan hutan dalam proses penetapan RTRW daerah.
Selama masa moratorium terjadi pelepasan kawasan hutan untuk pemenuhan permintaan wilayah administrasi daerah dalam bentuk Area Peruntukan Lain (APL) seluas 7,7 Juta hektar di 20 Provinsi.
Pelepasan kawasan hutan untuk tata ruang ini biasanya ditunggangi oleh perusahaan kelapa sawit, baru mengemukan di publik setelah KPK menangkap Gubernur Riau, penggunaan skema review kawasan hutan menjadi modus korporasi untuk mendapatkan lahan murah atau menghilangkan bukti perambahan oleh mereka. Beberapa Provinsi lain yang kemudian terbukti mengakomodir kepentingan perusahaan perkebunan atau pertambangan seperti di Bengkulu, Kalimantan Tengah, Papua, Maluku Utara dan Sumatera Selatan.
Selama masa moratorium perubahan peruntukan kawasan hutan melalaui mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk RTRW cenderung mengalami peningkatan, Tahun 2011 terjadi pelepasan kawasan hutan 159.300 hektar, tahun 2012 mengalami peningkatan lebih dari 10 kali lipat atau sebesar 1,8 juta hektar, tahun 2013 dilepaskan 2,4 juta hektar dan puncaknya tahun 2014 terjadi pelepasan hingga 3,2 juta hektar.
2. Kebijakan Hutan Alam untuk HTI
Penghentian penebangan hutan alam sesungguhnya tidak terjadi, karena pemerintah menerbitkan perubahan kriteria kawasan hutan untuk HTI dari hutan kritis ke hutan alam, PP 06 Tahun 2007 jo 03 Tahun 2008 yang menjadi pintu perluasan penerbitan izin HTI di hutan alam. Selama masa moratorium penerbitan izin HTI dengan luas mencapai 1.131.165 hektar dari tahun 2011 hingga 2013.
Tingginya kepentingan pelaku usaha hutan tanaman industri terhadap hutan alam tidak bisa dilepaskan dari kegagalan mereka dalam menjalankan kewajibannya terhadap konsesi yang telah didapatkan, dimana kebutuhan akan kayu dari hutan alam meningkat karena realisasi penanaman pada konsesi tidak dilakukan, kebutuhan bahan baku tahun 2009 seharusnya dapat dipenuhi bila realisasi penanaman pada tahun 2000 hingga tahun 2004 sesuai dengan luas konsesi, pada faktanya dari luas penerbitan konsesi diterbitkan pada kurun waktu 4 tahun mencapai 1,5 juta hektar, relasi penanaman dari tahun 2000 hingga 2004 hanya mencapai 525 ribu Hektar atau 1/3 dari luas yang harus ditanam pemegang izin.
Pada tahun 2007 seharusnya pemerintah menerbitkan kebijakan sanksi atas kegagalan pelaku usaha hutan tanaman membantu pemerintah memulihkan kawasan hutan kritis, tetapi pada faktanya perubahan PP No.34/2002 menjadi PP No.06/2007 jo PP No.03 /2008 justru merubah posisi pemerintah yang seharusnya menjalankan tanggung jawabnya untuk mengontrol malah memfasilitasi kerusakan terhadap hutan alam yang masih tersisa. Kebijakan ini dalam konteks hutan sebagai kekayaan negara, telah merugikan negara dalam bentuk penebangan hutan alam dalam konsesi dan penebangan hutan alam diluar konsesi.
Latar belakang kebijakan HTI yang seharusnya memulihkan kawasan hutan kritis, justru kemudian membabat hutan alam primer.
3. Pelepasan Parsial Kawasan Hutan untuk Perkebunan
Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunanan/Pertanian melalui mekanisme permohonan langsung badan usaha, hingga tahun 2013 KLHK telah melepaskan kawasan hutan hingga 6.165.466 hektar terhadap 639 Perusahaan Perkebunan didominasi oleh sawit.
Selama masa moratorium Pemerintah telah melepaskan kawasan hutan secara parsial untuk perkebunan seluas 1.277.996 hektar. Selain untuk perkebunan kelapa sawit, pelepasan kawasan hutan secara parsial ini juga untuk komoditas tebu.
Pelepasan kawasan hutan untuk transmigrasi hingga 2013 diberikan kepada 275 unit koperasi dengan luas 859.733, yang mana kemudian lokasi transmigrasi ini di beberapa tempat seperti Kalimantan Tengah, Jambi, Sulawesi Tengah menjadi perkebunan kelapa sawit.
4. Proyek Infrastuktur
Paket kebijakan ekonomi di sektor infrastruktur yang diklasifikasikan menjadi Proyek Strategis Nasional, diberikan fasiltas kebijakan berupa kemudahan perizinan, memberikan dampak langsung dan mengkatalis deforestasi dan degradasi hutan.
Inpres Nomor 3 Tahun 2016, memuat substansi fatal terhadap perlindungan hutan dan lingkungan, seperti proses izin pinjam pakai kawasan hutan yang hanya 30 hari, tidak memberi ruang proses kajian akan mendapatkan informasi yang memadai untuk mengeluarkan kesimpulan yang objektif.
Inpres ini juga memberi celah tehadap pelepasan kawasan hutan yang lebih besar melalui mekanisme review tata ruang, karena adanya klausul yang mewajibkan penyesuai tata ruang terhadap arah dan wilayah projek infrastruktur.
Inpres No 1 Tahun 2016, yang mengatur pendelegasian wewenang lintas Kementerian menjadi salah satu pemicu pelepasan kawasan hutan masih terjadi selama pemerintahan Jokowi, ini dibuktikan dengan terbitnya izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat kurun waktu 2015 hingga 2016. Kebijakan yang kontradiksi dengan komitmen Presiden untuk memoratorium sawit dan menghentikan kerusakan ekosistem gambut.
5. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk Tambang
600 izin keluar melalui BKPM.
Kelemahan Mendasar Moratorium
a. Berorientasi pada Waktu
Masa waktu 2 tahun tidak dapat menyokong target pemulihan ekosistem dan fungsi lingkungan.
Masa waktu 2 tahun dengan periode revisi 2 kali setahun, merubah makna penghentian penerbitan izin menjadi kontrol dan seleksi izin, dimana selama masa moratorium pada proses revisi terjadi pengurangan wilayah moratorium.
b. Berbasiskan Peta
Penundaan izin terhadap suatu wilayah berbasiskan peta menurunkan peluang moratorium untuk dapat mencapai target berkontribusi terhadap pemulihan atau perlindungan fungsi lingkungan.
Penghentian penerbitan izin baru kedepannya harus berbasiskan target pemulihan dan perlindungan daya dukung lingkungan.
c. Kekuatan Hukum
Inpres moratorium walau menjadi perhatian Pemerintah Daerah dalam penerbitan izin, tetapi sedikit kepala daerah yang tetap menerbitkan izin di wilayah moratorium, karena tidak ada sanksi dan kekuatan hukum untuk menjerat pelanggar.
Kata Kunci Rekomendasi: Moratorium: Bukan Hibernasi tetapi Recovery
Moratorium harus hadir dengan performa baru, dengan penghentian total terhadap penerbitan izin baru dan pelepasan kawasan hutan di sektor perkebunan skala besar, tambang, HPH serta HTI.
- Diperpanjang: Dilanjutkan untuk mempertahankan fungsi hutan dan lingkungan.
- Diperlama: Untuk memberi waktu pemulihan alam terhadap fungsi dan kekayaannya, perbaikan tata kelola, mengembalikan daya dukung dengan review perizinan.
- Diperluas: Untuk melindungi wilayah kelola rakyat dan menjangkau wilayah kritis yang mestinya dikembalikan fungsinya.
- Diperkuat: (1) Untuk menjamin kepatuhan pemerintah daerah dan korporasi atas moratorium, dengan membentuk mekanisme dan sistem evaluasi serta sanksi terhadap pelanggaran moratorium. (2) Penegakan hukum dan penyelesaian konflik untuk meningkatkan capaian selama moratorium.
Rekomendasi: Berbasis capaian (Indikator Perbaikan Tata Kelola)
Contoh: penyelesaian tata batas, sinkronisasi peraturan, penyelesaian konflik dan review izin lama.
----------------------
[1] Statistik Kehutanan 2014[2] Statistik Kehutanan 2012 dan Statistik Kehutanan 2014