Reportase
FRI (Fraksi Rakyat Indonesia)
Bedah Pasal RUU Omnibus Law
Jakarta--Konferensi pers yang menyoal RUU (Rancangan Undang-Undang) Omnibus Law Cipta Kerja ini digelar pada tanggal 20 Februari 2020 di Kantor Eksekutif Nasional WALHI Jln. Tegal Parang Utara No. 14 Mampang Prapatan - Jakarta Selatan.
Narasumber yang hadir pada konferensi pers ini adalah Zenzi Suhadi Kepala Departemen Advokasi WALHI, Elena Ekarahendy (Ketua SINDIKASI), Mutiara Ika Pratiwi (Sekretaris Perempuan Mahardika), Fajar Adi Nugroho (Ketua BEM UI), Mona Ervita (LBH Pers), Akbar Rewako (Sentral Gerakan Buruh Nasional) dan Citra Referandum dari LBH Jakarta yang bertugas memandu diskusi.
Media yang hadir pada konferensi pers kali ini pun cukup banyak karena berkaitan dengan isu kritik terhadap Omnibus Law yang sedang mendapat perhatian publik. Ada 32 orang perwakilan media yang terdiri dari 15 orang perempuan dan 17 orang laki-laki yang datang untuk meliput konfrensi pers ini.
Konferensi pers ini dilakukan sebagai bagian dari diseminasi informasi terkait kajian atas RUU Omnibus Law. Mengingat RUU ini begitu banyak menggabungkan UU didalamnya, sehingga dianggap perlu untuk memberi penjelasan ke publik khususnya lapisan masyarakat menengah ke bawah yang tidak mendapatkan distribusi informasi. Selain itu, tujuan utamanya adalah kritik dan penolakan terhadap RUU ini yang dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat miskin tapi sebaliknya kepentingan segelintir kelas pemilik modal.
Dari enam narasumber yang hadir pada konferensi pers ini, ada berbagai isu yang disoroti. Pertama, khusus menyoal isu pekerja (labour) ada Elena dari SINDIKASI dan Akbar Rewako dari SGBN yang melihat RUU Omnibus Law ini adalah bagian dari rencana pemerintah untuk merevisi UU No. 13 terkait “Ketenagakerjaan.” Dimana hasil revisi terhadap UU tersebut ada di dalam draft RUU Omnibus Law. Secara substansi Omnibus Law dianggap akan melemahkan posisi buruh. Selain itu juga, RUU tersebut akan merubah upah harian menjadi per jam dan membuat fleksibilitas hubungan kerja menjadi legal dengan dihapusnya pasal terkait alih daya atau outsourching. Aturan alihdaya ini dianggap sebagai perbudakan modern karena ada orang yang hidup dari keringat atau kerja orang lain. Indikasinya dapat dilihat dalam hilangnya Pasal 59 dalam UU Ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law yang memuat “jenis pekerjaan apa saja yang dapat dikontrak atau tidak.” Parahnya, pasal terkait sangsi soal pengupahan juga dihilangkan sehingga memberi kemudahaan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pemberi kerja. logikanya, sekalipun pasal ini masih ada, ada banyak pelanggaran yang dilakukan apalagi pasal ini dihilangkan.
Kedua, Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardika yang menyoal aspek pekerja-perempuan di upah dibawah upah minimum. Ada 62,4 persen perempuan pekerja yang di upah sesuai UMP dan 26,8 persen di upah sesuai UMP, serta 10 persen yang tidak mampu mengidentifikasi pekerjaannya. Hal ini bertumpu pada kontrak yang tidak jelas melaui sistem borongan dan harian lepas. Menurutnya, jika RUU Omnibus Law ini disahkan malah akan melanggengkan “kuasa” atas perempuan.
Ketiga, ada Zenzi Suhadi dari WALHI yang mengatakan draft RUU ini tidak layak untuk dibaca karena diluar logika apa yang dinginkan oleh penyusun RUU Omnibus Law. Selain itu, dia menambahkan sedang terjadi proses re-install terhadap bangsa dan lingkungan hidup melalui Omnibus Law. Keempat, terkait kebebasan pers, Mona Ervita dari LBH pers mengungkapkan ada dua isu yang disoroti, pertama soal penanaman modal dan kedua soal pengaturan sangsi. Keterlibatan pemerintah pusat dalam penanaman modal ini dianggap akan meliberalisasi media yang selama ini menjunjung tinggi independensi. Dengan kata lain pemerintah ingin mengontrol media. Media juga diwajibkan untuk menjadi badan hukum. Kita tahu ada banyak media-media komunitas yang sangat tajam melakukan kritik dan independensinya terjaga dibanding media-media besar yang sudah berbadan hukum.
Paling terakhir ada Fajar Nugroho BEM UI yang menyatakan sikap tegas menolak RUU Omnibus Law. Dalam pernyataannya, dia menyebut RUU ini tidak menjawab persoalan di Indonesia. Didalam RUU ini terjadi pengamputasian hak-hak pekerja dan bahkan lingkungan hidup pun terancam. Kami melihat ada kesamaan pola yang terburu-buru dan tidak partisipatif seperti dalam perumusan RUU KUHP dan KPK dalam RUU Omnibus Law. []