KERTAS POSISI WALHI Dalam KEDAULATAN PANGAN Fakta Pangan Indonesia
Berbicara pangan tidak bisa dilihat dari sisi ketersediaan dan keterjangkauan saja, menyerahkan persoalan pangan pada mekanisme pasar secara langsung ataupun tidak menyerahkan kedaulatan ke tangan pihak lain. Pada sisi lain produsen seperti petani, Nelayan, masyarakat adat, serta masyarakat desa, baik laki-laki dan perempuan sering kali tidak menjadi faktor penting yang dipertimbangkan, hal tersebut bisa terlihat bagaimana kebijakan menekan harga pangan lebih mendapatkan banyak perhatian daripada pemenuhan harga pangan yang layak untuk produsen. Memahami bagaimana kedaulatan pangan bisa dilihat dari sisi keadilan tata ruang, baik di darat dan di laut. Ancaman kedaulatan pangan terlihat dari alih fungsi lahan pertanian.
Merujuk pada penjelasan Peraturan Pemerintah RI No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, laju alih fungsi lahan diperkirakan mencapai 110.000 Ha/ tahun). Sementara menurut kepala BPN (2005), dari total 7,3 juta hektar lahan sawah beririgasi ada sekitar 42,4% atau 3,01 juta hektar yang terancam beralihfungsi ke penggunaan lain. Pemenuhan pangan tidak bisa dilihat dengan cara bias darat, dengan luas laut mencapai 70% luasan Indonesia, Presiden Jokowi menyatakan Indonesia bisa menjadi Poros Maritim Dunia berdasarkan 5 pilar.
Pada pilar kedua menyatakan : menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama. Hal ini didasarkan pada data 10 tahun terakhir, kontribusi subsektor perikanan tangkap terhadap kebutuhan pangan perikanan minimal 4,2 juta ton di mana 75 persennya adalah tangkapan nelayan kecil. Kebutuhan pangan laut tersebut dipenuhi oleh sekitar 13,8 juta orang yang menggantungkan langsung kehidupannya terhadap sektor perikanan, yang 90 persen di antaranya adalah pelaku usaha skala kecil. Fakta lainnya bahwa data hingga 2015 saja, potensi perikanan tangkap di seluruh wilayah laut Indonesia mencapai 6,2 Juta Ton Ancaman terhadap Kedaulatan Pangan Potensi pangan yang besar di Indonesia setidaknya menghadapi dua ancaman. Pertama, hilang atau berkurangnya sumber-sumber pangan yang disebabkan ekspansi industri ekstraktif.
Kedua, Hilangnya wilayah kelola rakyat dalam penguasaan sumber-sumber agraria dan pangan, rakyat dihadapkan pada ekspansi modal dalam industri pertanian dan industri ekstraktif. Pada periode 2003-2013 jumlah perusahaan pertanian bertambah 1.475 perusahaan. Dari 4.011 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013, sebaliknya pada periode yang sama terjadi penurunan jumlah petani mencapai 500.000 rumah tangga pertahun, berdasar BPS (Badan Pusat Statistik) per-Mei 2013 tercatat adanya penyusutan 5,04 juta keluarga tani dari 31,17 juta keluarga per-tahun 2003 menjadi 26,13 juta keluarga per tahun 2013. Ekspansi industri ekstraktif turut mengancam kedaulatan pangan. Industri besar monokultur berpengaruh besar pada ekosistem esensial seperti gambut, karst, dsb. Pada sisi lain juga terindikasi kuat berhubungan dengan kebakaran hutan, diindikasikan dengan adanya titik api yang sebagian besar berada pada di wilayah konsesi perusahaan, bahkan di area Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB), berakibat pada perubahan bentang alam yang berakibat terganggunya ekosistem. Begitu juga industri pertambangan yang turut terkait erat dengan pencemaran berat di lingkungan.
Belum lagi dampak sosial-ekonomi-budaya yang harus ditanggung oleh kelompok terdampak. Semua hal tersebut secara langsung atau tidak, berdampak pada kemampuan lingkungan dan masyarakat dalam menjaga kedaulatan pangannya. Sebagai contoh industri semen di pegunungan Kendeng mengancam daya tampung air sebagai salah satu faktor utama dalam pertanian, pada sisi lain kerusakan ekosistem juga mengancam kelelawar pada gua-gua karst, padahal kelelawar pada wilayah tersebut merupakan fauna pemakan serangga yang berfungsi sebagai pengendali hama alami, jika pengendali hama alami tersebut hilang dan digantikan pestisida, maka nilai valuasi yang harus dikeluarkan untuk membeli pestisida mencapai Rp 8.791.000.000. Ancaman pangan lainnya ialah perubahan iklim,yang sangat berpengaruh pada kedaulatan pangan, sayangnya Industri ekstraktif juga berpengaruh terhadap perubahan iklim, Data KLHK menunjukkan industri semen sebagai penyumbang emisi karbon terbesar, mencapai 48%. IFAD mencatat pada 2015 produksi pertanian Indonesia turun 21% akibat perubahan iklim. Analisis mengenai dampak perubahan iklim terhadap produksi padi di Jawa saja, menunjukkan bahwa produksi padi pada tahun 2025 dan 2050, masing-masing akan berkurang sebesar 1,8 juta ton dan 3,6 juta ton dibandingkan tingkat produksi padi saat ini.
Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada kondisi pangan di laut, meski 75% ketersediaan tangkapan laut disediakan oleh nelayan kecil, namun pada saat yang sama dihadapkan pada kebijakan yang makin memperkecil ruang gerak nelayan. Seperti : reklamasi, tambang pasir laut, akses pulau kecil yang diberikan pada investor swasta, bahkan pada tataran zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil tidak jarang memberi ruang lebih besar untuk korporasi dibandingkan wilayah kelola rakyat. Hal tersebut dari sisi implementasi bisa dilihat bagaimana pembagian proporsi wilayah yang diberikan pada korporasi pada banyak Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) pada tingkat nasional maupun propinsi. Sayangnya berbagai problem pangan justru dijawab dengan pendekatan korporasi, yang tidak meletakkan rakyat sebagai subyeknya, sebagai contoh adalah proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua, proyek yang dimulai pada zaman presiden SBY dirancang terlaksana bertahap selama dua dekade. Proyek MIFEE setidaknya mengakibatkan 5 problem mendasar.
Pertama, proyek ini menimbulkan problem agraria, setidaknya 2,5 juta Ha lahan menjadi wilayah konsesi berada sebagian besar pada wilayah ulayat Malind Anim. Kedua, penguasaan oleh modal swasta, Tercatat setidaknya ada Daewoo International Corp (Korea), Korindo Group (Korea), Sinar Mas (Indonesia), dan Genting Group (Malaysia) yang mendapatkan konsesi pada proyek ini. ketiga, Problem lingkungan, pada wilayah proyek MIFEE tersebut sebelumnya merupakan wilayah hutan alam dan ekosistem gambut, pada sisi lain terjadi karena penggunaan air berlebihan untuk pertanian skala industri yang mengurangi akses air masyarakat setempat. Pada perencanaannya 50% wilayah konsesi akan didistribusikan untuk industri pangan, 20% untuk industri sawit, dan 30% untuk industri tebu. Pembukaan lahan dalam skala masif bisa terlihat sejak 2011 Merauke menjadi “penyumbang” titik api yang rutin.Keempat, problem ketersediaan pangan, proyek ini justru berbanding terbalik dengan rencana pemerintah yang mendorong diversifikasi pangan dan pelibatan petani kecil.
Faktanya sebagian besar industri pangannya diisi oleh beras yang bukan merupakan makanan pokok bagi masyarakat papua, hal ini tentu tidak terlalu mengejutkan sebab pada awalnya proyek MIFEE diperkenalkan dengan nama Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) pada april 2006, kelima, keterlibatan aparat bersenjata, dalam banyak konflik keterlibatan aparatur bersenjata jamak terjadi, yang lebih ironis, dalam konteks ini, presiden jokowi justru menginstruksikan TNI untuk terlibat aktif dalam percepatan pembukaan sawah baru, termasuk di papua. Pada sisi lain, menyerahkan pemenuhan pangan pada skema industri justru membuat petani memiliki ketergantungan pada sarana produksi pertanian yang dikuasai oleh modal, hingga saat ini 90% oasar benih hanya dikuasai oleh 5 perusahaan multinasional. Penggunaan benih transgenik, serta saprodi kimiawi lainnya memiliki konsekwensi dampak lingkungan kedepan. Pendekatan industri dalam pemenuhan pangan bukan hanya menyebabkan kontrol pangan, namun juga merubah budaya konsumsi pangan, sehingga tergantung pada satu jenis pangan tertentu saja. pendekatan Industri juga menyebabkan terkonsentrasinya pemenuhan pangan dalam satu tempat saja, akibatnya muncul jarak distribusi pangan yang semakin jauh Jarak distribusi pangan yang semakin jauh akan meninggalkan jejak karbon yang makin besar, yang akan berdampak pada perubahan iklim. Padahal seperti disinggung di atas perubahan iklim punya peran besar terhadap pertanian, khususnya pangan.
Kedaulatan Pangan VS Ketahanan Pangan Persoalan pangan tidak bisa hanya dilihat dari sisi ketersediannya dan keterjangkauan saja. Ketahanan Pangan sebagai sebuah konsepmenekankan pada 4 pilar : [1] Ketersediaan (availability), [2] Pemanfaatan (utility) yang harus memenuhi unsur keamanan dan kemampuan konsumsi manusia, keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi, dan stabilitas (stability) yang harus tersedia dan terjangkau setiap saat dan setiap tempat. Dalam konsepsi ketahanan pangan lingkungan dan produsen tidak menjadi bagian dari pilar utama. Berangkat dari fakta bahwa meningkatnya korporasi pertanian skala besar yang memiliki dampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat terdampak, WALHI menggunakan pendekatan Kedaulatan Pangan yang didasarkan pada 10 prinsip :
- Pelaku/ subyek usaha utama dalam kedaulatan pangan adalah rakyat baik dalam bentuk koperasi, usaha kecil menengah, dimana negara juga didorong perannya dalam konteks ini.
- Alat Produksi, termasuk di dalamnya tanah dan kawasan perairan ditekankan pada pengelolaan rakyat, dan pengelolaan negara dengan tujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
- Penggunaan Benih lokal yang dapat memastikan pertanian yang berkelanjutan
- Model Produksi menggunakan Agro Ekologi,
- Skala Produksi kecil dan menengah,
- Target Distribusi diutamakan untuk pasar lokal dan nasional.
- Level Distribusi Pangan diutamakan untuk jarak dekat dan menengah.
- Orientasi Pasar diutamakan untuk kebutuhan domestik, pada dasarnya tiap komunitas memiliki kemampuan untuk menyediakan pangan yang beragam
- Perdagangan Internasional dalam konteks kedaulatan pangan tetap dimungkinkan dengan mempertimbangkan nasib petani dan proteksi tanaman pangan di negara tujuan.
- Terkait Energi, inisiatif membangun alternatif bahan bakar non migas saat ini menggunakan tanaman, dalam konteks kedaulatan pangan ialah tidak menggunakan tanaman pangan.
Rekomendasi Pertama, Kedaulatan pangan harus menjadi prinsip dalam kebijakan dan pemenuhan pangan. Kedaulatan pangan didefinisikan juga sebagai hak rakyat, komunitas dan negara untuk menentukan kebijakan dan strategi mereka sendiri atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk bumi, berdasarkan produksi yang berskala kecil dan menengah, menghargai kebudayaan mereka sendiri dan keberagaman kaum tani, dan bentuk-bentuk alat produksi pertanian, serta menghormati pengelolaan dan pemasaran di wilayah pedesaan, di mana perempuan memainkan peran yang mendasar. Jadi, kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari sebuah ketahanan pangan.
Ketahanan pangan baru akan tercipta kalau kedaulatan pangan dimiliki oleh rakyat. Kedua, penerapan kedaulatan pangan harus menggunakan prinsip-prinsip keadilan ekologis. Secara sederhana agroekologi bisa diartikan sebagai ilmu lingkungan pertanian, yaitu penerapan pengetahuan-pengetahuan ekologi ke dalam desain pengelolaan pertanian. Dalam praktiknya, kini agroekologi diterjemahkan sebagai penerapan ekologi ke dalam studi, perancangan, dan pengelolaan sistem pertanian pangan. Ketiga, Pemenuhan pangan harus mempertimbangkan prinsip keadilan ekologis, Keadilan ekologis adalah hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, laki-laki maupun perempuan, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Keadilan ekologis adalah sebuah perjuangan keseimbangan alam dan manusia tanpa penguasaan untuk kepentingan intra dan antar generasi.
Dalam Jangka pendek, langkah cepat menghentikan kerusakan lingkungan yang menyebabkan ancaman pada kedaulatan pangan, setidaknya dilakukan dengan 3 langkah. [1] Moratorium pemberian izin konsesi untuk industri ekstraktif maupun industri pertanian skala besar. Upaya ini akan memberi jeda pada lingkungan untuk memulihkan dirinya. [2] Review Izin yang sudah diberikan (baik di darat maupun di wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil), tidak sedikit Industri ekstraktif dan industri pertanian skala besar yang jelas-jelas merusak lingkungan namun tetap beroperasi, hal yang sama juga harus dilakukan di laut, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. [3] Penegakan Hukum, hingga saat ini penegakan hukum justru jarang menyasar pada korporasi besar yang punya dampak meluas dan massif, padahal dalam pasal 88 UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan : “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsurkesalahan”.
Padaprinsipnya lingkungan hidup yang baik dan sehat akan berdampak terhadap jaminan kedaulatan pangan.Dalam konteks ini desa ekologis sebagai sebuah sistem kelola pedesaan yang terpadu dan melibatkan seluruh pihak (tata kuasa, kelola, produksi, dan konsumsi) adalah desa yang rakyatnya berdaulat atas pangan. Dalam jangka panjang, penyusunan kebijakan terkait pangan, termasuk didalamnya kebijakan tata ruang (darat dan laut), serta kebijakan terkait lainnya, harus melibatkan Rakyatdan memberikan pengakuan pada Wilayah Kelola Rakyat. Pada satu dekade terakhir menunjukkan, bahwa komunitas lokal, komunitas adat, baik laki-laki dan perempuan, memiliki kemampuan bertahan dan daya adaptasi dari krisis, pangan yang beragam lebih mampu menjawab krisis dibandingkan korporasi monokultur skala besar. Dalam konteks pengakuan Wilayah Kelola Rakyat kehadiran negara menjadi penting, program Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) harus dimaknai sebagai peluang bukan sebagai tujuan, hal utama lainnya ialah upaya penegakkan Reforma Agraria yang harus diawali dengan upaya penyelesaian konflik. Untuk Versi English klik link berikut ini : https://bit.ly/2XMvd0j