Siaran Pers
Jakarta, 5 Juni 2023- Memperingati hari lingkungan hidup sedunia, Walhi bersama ratusan dari berbagai unsur masyarakat mendiskusikan situasi kebangsaan terkini dan menggagas perubahan-perubahan untuk Indonesia ke depan yang lebih berkeadilan sosial-ekologis. Kegiatan ini merupakan rangkaian kedua dari Pekan Rakyat Lingkungan Hidup 2023 yang berlangsung di hotel Park Regis Arion, Kemang.
Bertepatan dengan bulan Pancasila, Walhi merefleksikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Diskusi terbagi secara paralel dengan 5 diskursus nilai Pancasila diantaranya, demokrasi, humanity, solidarity, interfaith, dan keadilan sosial-ekologis. Walhi menilai pentingnya merefleksikan kembali cita-cita bangsa dalam Pancasila untuk merumuskan gagasan penyelamatan lingkungan dan pemulihan sosial.
Dalam diskursus interfaith yang mengusung tema “Iman dan Penyelamatan Bumi” dengan narasumber yang hadir dari berbagai tokoh agama dan kepercayaan menyoroti, pentingnya keterlibatan aktif tokoh agama dan institusi keagamaan dalam penyelesaian persoalan sosial dan lingkungan secara struktural. Diskusi dengan narasumber dari berbagai macam tokoh diantaranya adalah Pdt. Binsar J Pakpahan, Bhikkhu Dhammasubho, KRHT P Astono Chandra Dana, Hening Parlan, dan Dr. Hayu Prabowo mengungkapkan bahwa seluruh ciptaan Tuhan YME bersifat utuh dan holistik, sehingga kerusakan pada satu bagian ciptaan adalah ancaman kerusakan pada ciptaan lain. Eksplotasi alam yang merusak keutuhan ciptaan, sesungguhnya telah melanggar nilai-nilai keimanan. “Seruan pesan ajaran agama yang berperspektif ekologis kepada umat atau jemaat ini harus dibarengi dengan keteladanan melalui berbagai tindakan nyata”, ujar mereka senada.
Bersamaan dengan itu, dalam diskursus humanity, para narasumber yang hadir di antaranya ada Suparlan dari Yayasan Sheep Indonesia, Dr. Raditya Jati dari BNPB dan M. Islah dari Walhi mengusung tema diskusi “Krisis Kemanusiaan dan Bencana Ekologis”, menyoroti akumulasi krisis ekologis. Suparlan mengungkapkan, “krisis ini disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan hancurnya pranata kehidupan masyarakat”. Apalagi ditambah dengan berbagai regulasi yang tidak berpihak saat ini menyebabkan bencana ekologis semakin meningkat. M. Islah dari Walhi dengan ini mengingatkan, penghilangan ruang hidup dengan pembiaran kerusakan lingkungan hidup skala besar yang terakumulasi menjadi krisis adalah kejahatan kemanusian (ekosida). Senada dengan itu, Dr. Raditya Jati selaku deputi bidang sistem dan strategi BNPB mengatakan, semua yang bersifat memberi dampak pasti ada interfensi manusia. Ia menekankan pentingnya pengurangan resiko bencana dengan model “ecosystem based”. “Bahwa saat ini gerakan pengurangan risiko bencana harus berpikir "ecosystem based", ini dapat menjadi model yang paling baik dengan membedakan aksi hulu, tengah dan hilir,” pungkasnya. Para narasumber menutup dengan menekankan bahwa, Indonesia perlu upaya serius untuk mendorong kebijakan pemerintahan yang berbasis lingkungan dan program penanggulangan bencana yang konkrit.
Krisis demokrasi yang mulai disoroti banyak pihak menjadi ulasan penting dalam diskursus demokrasi kali ini. Beberapa pegiat seperti, Bivitri Susanti, Dr. Reza Wattimena, dan Asfinawati menjadi narasumber diskusi yang mengusung tema “Demokrasi Kita?”. Para narasumber mengungkapkan, “situasi demokrasi kini semakin sesak”. Hukum kini dijadikan senjata aktor politik, banyak regulasi predatoris dilahirkan. Akibatnya, pihak-pihak aparat semakin sewenang-sewenang, lembaga yudikatif dilemahkan, dan KPK dilemahkan. Para narasumber menekankan, “saat ini perlu mendorong adanya etika dalam menjalankan mandat konstitusi menjadi suatu budaya yang didesak oleh masyarakat sipil”. Asfinawati mengungkapkan, kita tidak perlu ukuran yang sulit untuk mengukur demokrasi saat ini yang sudah mundur. “Refleksinya, kita memang perlu negara sebagai alat, namun yang kita perlukan sekarang adalah kekuatan kekompakan komunitas-komunitas untuk menyuarakan perjuangan demokrasi”, pungkasnya. Para narasumber lantas menekankan bahwa, “tujuan demokrasi sesungguhnya adalah pemenuhan HAM, termasuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”, tutup mereka serempak.
Dalam diskursus keadilan sosial ekologis, para narasumber dihadiri oleh Unang Sunarno, Yeni Rosa Damayanti dan Risma Umar, menyoroti hingga saat ini belum ada keadilan sosial bagi kelompok perempuan, minoritas seksual, pekerja dan penyandang disabilitas di Indonesia. “Ketidakadilan kepada kelompok perempuan, disabilitas dan buruh terjadi secara sistematis, misalnya, UU Cipta Kerja yang meningkatkan kerentanan perempuan, disabilititas (bisa di PHK sepihak kalau cacat saat bekerja), para pekerja rentan K3 dan serikat yang rentan diberangus”, ungkap mereka senada. Para narasumber juga menekankan pada dampak krisis demokrasi dan krisis ekologi dirasakan semua pihak sehingga perjuangan sosial membutuhkan persatuan semua pihak. “Perlu persatuan gerakan, interkseksionalitas dari semua pihak secara setara”, ungkap Risma, Yeni, dan Unang serempak. "Ini harus menjadi lintas gerakan, lintas generasi," tutup Risma.
Terakhir adalah berkenaan dengan diskursus solidarity. Dalam diskusi yang mengusung tema “Solidaritas Rakyat Menuju Indonesia berkeadilan Ekologis” turut hadir, Uslaini dari Walhi, Dinda Nuur Annisaa Yura dari Solidaritas Perempuan, dan Anwar Ma’ruf Sastro dari KPRI sebagai narasumber. Para narasumber merefleksikan bahwa saat ini solidaritas yang terbangun hanyalah pada sebuah kasus yang tujuannya untuk advokasi semata. “Perlu membangun solidaritas rakyat dari imajinasi, tidak hanya sebuah respon tetapi terdesain dari awal secara menyeluruh, sebab solidaritas rakyat adalah sebuah solusi menuju Indonesia Berkeadilan ekologis”, tutup Uslaini, Dinda, dan Anwar secara serempak.
Hasil refleksi diskusi publik ini terangkai menjadi sebuah gagasan bersama untuk Indonesia masa depan yang lebih adil secara sosial-ekologis. Refleksi nilai-nilai ke-Pancasila-an terangkum menjadi butir-butir gagasan memulihkan Indonesia. Nilai demokrasi, humanity, solidarity, interfaith, dan keadilan sosial-ekologis sangatlah penting menjadi substansi kepemimpinan pemerintahan kedepan. Sayangnya, hingga hari ini tidak ada satupun aktor politik partai yang mengusung gagasan perubahan mendasar bagi Indonesia. Dengan ini, Walhi menyerukan, tahun politik 2023 harus direbut menjadi ruang dan kesempatan dalam mengkonsolidasikan dan menghimpun gagasan-gagasan rakyat untuk mendesak pemimpin negara dalam mewujudkan cita-cita menuju keadilan sosial ekologis. Cita-cita tersebut tersusun melalui agenda penyelamatan lingkungan hidup, penyelamatan rakyat, dan upaya menuju keadilan intra dan intergenerasi sesuai cita-cita Pancasila.
Narahubung
Public Engagement Walhi–(+62 811-5501-980)
Link photo: https://drive.google.com/drive/u/0/folders/1Q31jXYxLNSMuc0veUJHvCPr8Vscybngy Informasi selengkapnya mengenai Pekan Rakyat Lingkungan Hidup 2023 bisa dilihat di walhi.or.id